Saya tidak pernah meminta untuk dikasihani, kata gadis berkerudung hitam tatkala sayup matanya dianggap bercorak kesedihan. Barangkali orang-orang mulai berani menghardik dirinya yang dalam kurun waktu ini sukar sekali melebarkan senyum.
Bukan salahnya jika dia ditinggalkan. Cinta selalu memberi opsi, menjadi keluarga atau pisah, atau kedua-duanya, dan bahkan tidak kedua-duanya. Dalam hal ini, gadis yang sering disapa Siti tersebut berakhir luka, pisah. Mungkin dalam bahasa koran, paling-paling akan ditulis bahwa dia adalah korban putus cinta yang hatinya tewas mengenaskan.
Sementara orang-orang gemas sekali ingin menyadarkan, kalau boleh menggoyangkan bahunya sekeras mungkin dan ditambah satu tamparan di pipi agar Siti sadar. Bagaimana bisa gadis yang harum namanya di kampung ini tiba-tiba saja menjadi bunga layu yang suka menutup diri?
Jika tahu bakal seperti ini, pastilah orang-orang akan melarang kedatangan Dimas, lelaki tulen dari daerah sebelah yang kulitnya kecokletan, tapi kesannya seakan ditumpuki daki sebab ronanya yang pucat dan tak terawat. Bisa-bisanya dia jatuh cinta lalu pergi tanpa ada kata pisah hingga Siti jadi mempertanyakan diri sendiri. Sebegitu burukkah dia bersikap selama ini hingga Dimas enggan memberi satu kesempatan lagi untuk hubungan mereka?
Jangankan keluarga, bahkan sekampung merisaukan nasib Siti. Sudah berapa banyak ustaz yang dipanggil ke rumah untuk meruqyah, semuanya tidak berhasil, malah memperkuat rumor bahwa ada setan yang teramat kuat yang menempel di tubuh gadis itu.
Kakaknya, Jumriah, yang sudah menikah dan tinggal di kampung sebelah, bahkan mulai rajin datang ke rumah sebab mengkhawatirkan kondisi Siti. Dibawa ke puskesmas, katanya tidak ada yang sakit. Dipanggilkan dukun kampung, katanya ini sulit disembuhkan. Sebenarnya apa yang menimpa Siti? Bahkan kakak tertua mereka, yang pernah menjanda dan disakiti sedemikian rupa oleh mantan suami pertamanya, sakitnya tidak seperti ini. Masih bisa makan, tertawa, mengumpat, bahkan menjelek-jelekkan mantan suaminya yang suka main tangan itu. Lalu sebenarnya ada apa dengan Siti?
Sudah tiga bulan berlalu. Orang-orang mencoba mendatangkan Dimas, tetapi lelaki itu rupanya telah berpindah ke pulau seberang tanpa tahu bahwa seseorang yang pernah dia cintai sedang dikhawatirkan oleh seluruh warga kampung.
"Apa yang dia lakukan padamu, huh? Benarkah dia melakukan itu?" tanya Jumriah, sebab ibu mereka tak sanggup lagi menghadapi diamnya Siti. Ada rumor bahwa Dimas telah mengambil sesuatu yang berharga bagi perempuan dalam diri Siti, sehingga ketika ditinggalkan itu seperti aib memalukan, manalah sudi lelaki lain mendapat bekasnya. Rumor itu lebih dipercaya sebab biasanya para gadis akan kehilangan rasa percaya diri jika dirinya sudah tidak suci lagi.
Siti menggelengkan kepala. Jumriah sampai melotot, baru kali ini adiknya mau merespon. Dalam hatinya berucap syukur sebab apa yang dikhawatirkan ternyata bukan. Lantas apa? Selanjutnya Siti diam.
Suatu malam, Siti menepis air matanya. Sudah cukup seratus hari-kah dia menangisi Dimas? Dia teringat awal pertama mereka bertemu. Dimas seperti anak kecil jatuh ke got dan tidak dimandikan ibunya. Salah satu alasan ia bisa jatuh cinta adalah, Dimas terang-terangan menyatakan rasa suka.
Bagi Siti, gadis manis yang kerap ditatap malu-malu oleh para lelaki, baru Dimas yang pertama kali menyuarakan kata cinta. Tidak peduli bahwa setelah itu mungkin saja Ayah Siti yang mendengarnya akan mendatanginya dengan parang yang selama ini menjaga anak perempuannya dari lelaki nakal.
Dimas tidak pernah melakukan kontak fisik  sebab rupanya dia pemalu. Bahasa tubuhnya merefleksikan sikap jatuh cinta yang sering salah tingkah. Tak ayal Siti dibuatnya berbunga-bunga.
Lalu Siti menuntut kejelasan hubungan mereka. Ingin Dimas segera melamarnya, takut jika tiba-tiba saja dia dijodohkan dengan orang lain. Namun, Dimas cukup sadar diri. Pekerjaannya serabutan. Bagaimana bisa dia menghidupi Siti? Baginya lebih baik mereka menderita karena perpisahan daripada melarat oleh cinta.
Perbedaan yang kontras itu membuat Siti kesal. Dalam hatinya sebenarnya dia paham. Dia hanya ingin dibujuk sekali lagi, lalu setelah itu dia akan melupakan permintaannya dan mereka bisa berbahagia lagi. Namun, Dimas malah menghilang, tidak bilang-bilang bahwa dia akan pergi besoknya.
Kemarahan Siti memuncak. Tidak bisakah Dimas mengerti perasaannya? Padahal dia hanya berharap untuk dibujuk lagi. Ini memalukan. Apa yang harus dia jawab pada orang-orang yang menanyakan mengapa mereka berpisah? Alhasil Siti membuat komitmen bahwa dia akan bungkam selama seratus hari. Dia percaya bahwa setelah hari itu tidak akan ada lagi yang bertanya.
Dia kira semuanya akan berjalan mulus. Namun, tanpa bicara rupanya harinya suram. Dia hanya ingat bagaimana Dimas memberinya cokelat dengan senyum manis lalu tiba-tiba saja air matanya meleleh. Hari-harinya berlalu dengan mengingat Dimas. Sikap diam dan air matanya, lalu kesedihan yang tiada akhir membuat orang-orang akhirnya percaya bahwa dia patah sedalam-dalamnya.
Namun, kini sudah hari ke seratus satu. Penampilan Siti yang ceria dan senyum lebar sontak menghebohkan satu kampung. Seolah-olah sudah menjadi kesepakatan bersama, orang-orang tidak bertanya lagi tentang Dimas dan bagaimana bisa kandasnya hubungan mereka. Itu semua demi menjaga Siti yang tumbuh kembali menjadi bunga mekar.
Di hari itu juga, Siti mendatangi seorang yang katanya sakti. Dia sudah berjanji akan melakukan ini. Jika Dimas tidak kunjung datang setelah hari ke seratus, dia akan mengirim santet pada lelaki itu.
Siti menceritakan maksudnya dan dukun kampung yang sedang komat-kamit merapal mantra kadang berdeham paham. Tidak ada foto, rambut, atau hal-hal yang berkaitan dengan target, Siti hanya menyebut bahwa dia ingin menyantet seorang laki-laki. Dukun kampung itu lama-lama meradang sebab ia tidak tahu bagaimana sihir akan bekerja jika klien-nya ini tidak mau menyebut nama tujuan. Malahan, dukun ini jadi penasaran, siapakah gadis gila yang penuh dendam ini?
Siti akhirnya pulang, ia sudah menuliskan nama di kertas sebab tak mau menyebutnya. Begitu membacanya, dukun kampung itu langsung memaki-maki. Di dunia ini, siapakah lelaki yang bernama kenangan itu? Harusnya gadis gila tadi menulis puisi, bukan datang padanya dengan perihal tidak masuk akal. Meskipun dukun itu baru sadar bahwa dia menangani 'hal-hal yang tidak masuk akal' juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H