Dimas tidak pernah melakukan kontak fisik  sebab rupanya dia pemalu. Bahasa tubuhnya merefleksikan sikap jatuh cinta yang sering salah tingkah. Tak ayal Siti dibuatnya berbunga-bunga.
Lalu Siti menuntut kejelasan hubungan mereka. Ingin Dimas segera melamarnya, takut jika tiba-tiba saja dia dijodohkan dengan orang lain. Namun, Dimas cukup sadar diri. Pekerjaannya serabutan. Bagaimana bisa dia menghidupi Siti? Baginya lebih baik mereka menderita karena perpisahan daripada melarat oleh cinta.
Perbedaan yang kontras itu membuat Siti kesal. Dalam hatinya sebenarnya dia paham. Dia hanya ingin dibujuk sekali lagi, lalu setelah itu dia akan melupakan permintaannya dan mereka bisa berbahagia lagi. Namun, Dimas malah menghilang, tidak bilang-bilang bahwa dia akan pergi besoknya.
Kemarahan Siti memuncak. Tidak bisakah Dimas mengerti perasaannya? Padahal dia hanya berharap untuk dibujuk lagi. Ini memalukan. Apa yang harus dia jawab pada orang-orang yang menanyakan mengapa mereka berpisah? Alhasil Siti membuat komitmen bahwa dia akan bungkam selama seratus hari. Dia percaya bahwa setelah hari itu tidak akan ada lagi yang bertanya.
Dia kira semuanya akan berjalan mulus. Namun, tanpa bicara rupanya harinya suram. Dia hanya ingat bagaimana Dimas memberinya cokelat dengan senyum manis lalu tiba-tiba saja air matanya meleleh. Hari-harinya berlalu dengan mengingat Dimas. Sikap diam dan air matanya, lalu kesedihan yang tiada akhir membuat orang-orang akhirnya percaya bahwa dia patah sedalam-dalamnya.
Namun, kini sudah hari ke seratus satu. Penampilan Siti yang ceria dan senyum lebar sontak menghebohkan satu kampung. Seolah-olah sudah menjadi kesepakatan bersama, orang-orang tidak bertanya lagi tentang Dimas dan bagaimana bisa kandasnya hubungan mereka. Itu semua demi menjaga Siti yang tumbuh kembali menjadi bunga mekar.
Di hari itu juga, Siti mendatangi seorang yang katanya sakti. Dia sudah berjanji akan melakukan ini. Jika Dimas tidak kunjung datang setelah hari ke seratus, dia akan mengirim santet pada lelaki itu.
Siti menceritakan maksudnya dan dukun kampung yang sedang komat-kamit merapal mantra kadang berdeham paham. Tidak ada foto, rambut, atau hal-hal yang berkaitan dengan target, Siti hanya menyebut bahwa dia ingin menyantet seorang laki-laki. Dukun kampung itu lama-lama meradang sebab ia tidak tahu bagaimana sihir akan bekerja jika klien-nya ini tidak mau menyebut nama tujuan. Malahan, dukun ini jadi penasaran, siapakah gadis gila yang penuh dendam ini?
Siti akhirnya pulang, ia sudah menuliskan nama di kertas sebab tak mau menyebutnya. Begitu membacanya, dukun kampung itu langsung memaki-maki. Di dunia ini, siapakah lelaki yang bernama kenangan itu? Harusnya gadis gila tadi menulis puisi, bukan datang padanya dengan perihal tidak masuk akal. Meskipun dukun itu baru sadar bahwa dia menangani 'hal-hal yang tidak masuk akal' juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H