Wina mengangkat bahu. "Mungkin hari ini aku emang nggak niat jalan-jalan di bawah hujan."
Zidan menganggukkan kepala. Lalu menatap birunya langit. "Kamu pasti bingung dengan maksudku kemarin."
Tepat sekali. Itu yang ingin ditanyakan Wina. Namun, dia memilih diam, menanti kelanjutan dari kata-kata Zidan.
"Kemarin kamu nggak salah dengar ataupun salah paham. Aku emang mulai suka ibukota Austria, kota Wina."
Wina sedikit kecewa dalam hatinya. Padahal dia mengira bahwa Zidan menyukainya. Ternyata hanya menyukai kota Wina, sebuah tempat, bukan dirinya. Ah, mengapa juga menumbuhkan harap yang lebih pada hatinya? "Oke. Kamu bebas suka sama kota Wina. Aku nggak punya urusan dengan itu."
"Tentu itu termasuk urusanmu."
Kalimat itu membuat langkah Wina terhenti. Niatnya yang ingin pergi mendadak hilang begitu saja.
"Kenapa? Kenapa hal itu termasuk urusanku?"
Zidan tak menjawab. Hanya tersenyum lalu pergi. Wina kebingungan dibuatnya. Sebenarnya maksud Zidan apa?
Besoknya lagi ternyata hujan. Seperti kemarin Wina tidak beranjak dari warung kecil itu. Dia menunggu sampai hujan reda.
Orang-orang yang melihat itu menatap aneh dirinya. Punya payung tapi tidak dipakai. Malah terlihat bukan seperti orang yang terjebak dalam hujan tapi terjebak dalam kebodohan.