Mohon tunggu...
fatrisia
fatrisia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Menulis fiksi ringan sebagai hobi selingan. Ig @inifatrisia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seribu Cara Mengejarnya

22 Juni 2024   21:22 Diperbarui: 22 Juni 2024   21:23 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejak awal menginjakkan kaki di gedung fakultas, sungguh aku telah cinta pada anak tangga paling ujung menuju lantai tiga. Di situlah perjuangan terakhir mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris sebelum akhirnya merdeka dari napas yang ngos-ngosan, serasa baru saja berjuang hidup dan mati padahal hanya melewati undakan tangga. Namun, bukan karena itu alasannya jadi istimewa, melainkan di situlah pertama kalinya aku bertemu dia.

Gadis itu ... aku tak pernah melihatnya bahkan saat ospek jurusan. Mungkin saja aku yang terlalu tak acuh. Olehnya aku sangat berterima kasih pada anak tangga menuju lantai tiga. Waktu itu dia yang ternyata seangkatan denganku sedang buru-buru, takut terlambat masuk kelas hingga tak sengaja kami bertubrukan.

Tidak ada yang jatuh selain hatiku terhadapnya. Dia tampak polos meminta maaf berulang kali sebelum akhirnya berlari naik ke atas. Tingkahnya menimbulkan debaran aneh di dada. Sejak saat itu kuputuskan untuk mengejarnya.

Kami beda kelas, satu semester aku berusaha mati-matian mengakrabkan diri dengan teman sekelasnya hanya agar bisa ke kelasnya dan berusaha cari perhatian. Satu semester pula usahaku sia-sia. Dia bahkan tak pernah melirikku.

Namanya Ranisa, gadis berkulit hitam manis dengan postur tinggi. Ranis, begitulah dia disapa, tipe orang yang tidak menonjol. Dia bahkan menghindari keramaian. Aku semakin susah menggapainya.

Di semester-semester selanjutnya aku mengontrak mata kuliah di kelas yang sama dengannya. Meski hanya bisa puas pada status teman. Setidaknya kami mulai dekat. Setidaknya aku juga tahu bahwa dia tidak punya pacar.

Di semester enam ini, aku berencana mengungkapkan perasaanku.

"Nis, kamu ingat kapan pertama kali kita ketemu?" tanyaku.

Ranis tampak berpikir. Kami sedang berada di koridor kelas. "Pas aku nggak sengaja nabrak kamu di tangga, kan? Soalnya kalau versi aku, sebelumnya aku udah kenal kamu, siapa sih yang nggak kenal Andra si mahasiswa baru paling cool abis?" Dia tertawa renyah.

"Kamu harus percaya kalau aku udah suka ke kamu sejak detik itu sampai sekarang."

Ranis terdiam. Aku segera berbesar hati, berkata bahwa aku tidak menuntut apa pun. Bahkan memaklumi bahwa dia ternyata tak punya perasaan apa pun.

Untungnya dia tidak menjauh. Meski aku berusaha menghilangkan rasa ini, nyatanya sulit sekali. Aku malah makin terpesona padanya dan segala kesederhanaannya.

Jujur sejak jatuh cinta padanya, ada banyak hal yang berubah dariku. Aku tipe orang yang selalu datang terlambat sejak zaman sekolah, tapi demi melihat dan kadang menyapa dirinya aku berusaha datang lima belas menit sebelum kelas dimulai.

Aku rela mengontrak mata kuliah yang diampu oleh dosen killer hanya agar bisa sekelas dengannya. Selalu berharap bisa satu kelompok saat ada tugas berkelompok.

Di jurusanku selain pengajaran dan sastra, kami juga belajar linguistik. Demi apa pun itu susahnya bukan main. Kulihat Ranis kadang mengeluh karena dia kesulitan memahami. Mulai dari Introduction to Linguistic, Phonetic & Phonology, Morphology, Semantic & Pragmagtic, Psycholinguistic, Sociolinguistic, bahkan Syntax, semuanya kupelajari lebih dalam dan serius hanya agar bisa mengajarkan lagi pada Ranis.

"Nis, kita sekelompok, yuk," ajakku saat dosen  meminta kami membentuk kelompok. Namun, Ranis malah menolak. Alasannya dia sudah punya kelompok.

Sungguh aku sangat merasakan perubahan sikapnya. Dia mulai menjauh, tidak mau lagi berdekatan denganku. Dia bahkan tak lagi menyapa dan membalas senyumku. Menghindar sejauh-jauhnya.

Kudengar dia sedang dekat dengan teman beda jurusan. Mereka bertemu di UKM (Unit kegiatan mahasiswa) Beladiri sejak semester tiga. Sungguh aku patah hati. Aku berusaha tegar, tapi melihatnya yang segera memutar jalan lain saat tak sengaja berpapasan denganku sungguh sakitnya bukan main.

Menjelang semester tujuh, UKM Beladiri membuka rekrutmen. Sayangnya kriterianya maksimal semester lima. Aku kebingungan harus bagaimana lagi agar bisa dekat dengan Ranis. Apalagi kami akan berjauhan karena akan KKN (Kuliah kerja nyata) dan PLP 2 (Pengenalan Lapangan Persekolahan).

Saat mengurus berkas di jurusan, kami bertemu lagi. Aku pun segera menghampirinya sebelum dia menghilang. Setidaknya dia tak perlu menjauhiku. Kalau memang tidak nyaman, biar aku saja yang menjauh meski masih menyimpan rasa untuknya.

"Nis, maaf kalau perasaanku bikin kamu nggak nyaman. Please berhenti lari tiap ketemu aku."

Ranis menunduk entah sedang memikirkan apa. "Maaf udah bikin kamu nggak nyaman juga, aku kira kamu nggak bakal 'ngeh' soalnya temenmu banyak."

"Perasaanku se-mengganggu itu ya? Terus yang di UKM Beladiri itu pacarmu?"

"B-bukan! Ya masa dia pacarku sih. Sebenarnya aku menghindar karena aku ternyata mulai suka ke kamu, Ndra. Sejak kamu nyatain perasaan, aku jadi merhatiin kamu banget. Tapi aku sadar diri aku nggak pantes buat kamu."

"Kamu suka sama aku?" Aku kaget.

"I-iya tapi aku udah sadar diri kok." Dia buru-buru menjelaskan. Seperti takut aku akan salah paham padahal senyumku sudah tertarik lebar mendengarnya.

Demi apa pun, Ranis suka padaku?

"Aku cinta sama kamu, Nis. Aku juga ngerasa nggak pantes buat cewek sebaik kamu. Tapi  sekarang kita kan udah sama-sama saling suka dan saling tahu, kita bisa jadi yang terbaik untuk masing-masing. Kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin coba?"

"Mmm ... aku malu aja sih." Ranis tampak malu-malu dan dia menunduk membuatku gemas dengan tingkahnya.

Aku akhirnya bisa tertawa lepas setelah satu semester ini uring-uringan karena dijauhi Ranis. Aku harusnya tak pernah menyesal pernah menyatakan cinta padanya, karena sejak itulah dia mau melihatku lebih dari teman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun