"Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?" tutur Kartini membuka dialog dengan Kiai Sholeh Darat setelah berbasa-basi lazimnya orang Jawa.
Kiai Sholeh malah balik bertanya, "Mengapa Raden Ajeng mempertanyakan hal ini? Kenapa bertanya demikian?"
Dijawab lagi oleh Kartini, "Kiai, selama hidupku baru kali ini saya berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Alqur'an. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku."
Kartini lalu menyampaikan rasa syukurnya kepada Allah diberi kesempatan memahami Al Fatihah. Kyai Sholeh tertegun. Kiai kharismatik itu tak kuasa menyela.
"Namun, saya heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Alqur'an ke dalam bahasa Jawa. Bukankah Alqur'an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?" ucap Kartini.
Dialog berhenti sampai di situ. Kiai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali bertasbih,Â
 Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar, menerjemahkan Alqur'an ke dalam Bahasa Jawa.
Dalam konteks ini, pandangan Kartini terhadap Islam dan Alqu'ran agar lebih dipahami masyarakat awam telah menabrak kebijakan kolonial yang melarang penerjemahan Alqur'an dalam bahasa Jawa dan Latin. Larangan ini adalah upaya menjauhkan masyarakat jajahan dari Islam. Maka tidak heran jika seorang Snouck Hugrogonje memandang pemikiran Kartini perlu didekati karena bisa berbahaya bagi sistem kolonial Belanda.
Tetapi pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Alqur'an. Kiai Sholeh Darat melanggar larangan ini, beliau menerjemahkan Alqur'an dengan ditulis dalam huruf arab gundul (pegon) sehingga tak dicurigai. Setelah pertemuan itu, Kiai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.
Menemukan Cahaya
Surat yang diterjemahkan Kiai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikut, karena Kiai Sholeh meninggal dunia. Kitab tafsir dan terjemahan Alqur'an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.