Mohon tunggu...
fatma ariyanti
fatma ariyanti Mohon Tunggu... Buruh - Citizen

Point of view orang ke-3

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menulis Puisi Susah

2 September 2024   11:31 Diperbarui: 2 September 2024   11:48 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu saat masih kuliah saya pernah memberikan seminar beberapa kali di bidang sastra. Setiap sesi tanya jawab, pertanyaan yang paling banyak ditanyakan adalah bagaimana cara menang lomba sastra, entah puisi atau cerpen. Jujur saja, jika anda bertanya cara untuk menang kompetisi literasi, saya tentu tidak tahu apa jawabannya. Karena dalam kompetisi terdapat syarat dan penilaian yang peserta tidak ketahui. Apalagi juri kompetisi yang tidak bisa kita tebak kriteria mana, yang bagaimana, yang mereka sukai. Saya bukan master dalam sastra, saya hanya ingin membagikan cara menulis puisi ala diri sendiri.

Jadi menulis sastra itu tidak seperti makan, kamu lapar, kamu ambil makanan. Imajinasi adalah hal yang paling penting. Sayangnya ide tidak muncul dengan begitu mudahnya. Bahkan banyak yang mengatakan kalau sengaja dicari, malah idenya semakin tidak ketemu. Nah, yang saya pakai adalah tekhnik brainstorming. Anda bisa cari sendiri apa itu di Google. Brainstorming, pengimajinasian, pengembangan ide, lalu eksekusi ke dalam bentuk diksi pilihan, merupakan proses panjang dari sebuah puisi.

Ada tiga cara yang bisa kamu lakukan agar puisi jauh lebih hidup.

1. Prolog dan epilog adalah kunci

Yang paling kita ingat dalam puisi biasanya adalah baris awal dan baris akhir. Sangat penting memilih diksi yang tepat dan mampu menghidupan alam bawah sadar pembaca dengan kata-kata yang luar biasa. Jadi tidak perlu setiap baris, setiap bait. Cukup perhatikan prolog dan epilog puisi kamu. Pastikan baris terakhir membuat pembaca merasakan something hingga bergetar perasaannya.

2. Sarkasme yang dibumbui realita

Karena suka sarkasme, saya lebih memilih ini. Tamparan keras mana lagi yang bisa menamparmu kecuali kata-kata pedas? Namun kamu mungkin bisa mengganti sarkasme dengan pesonifikasi atau majas yang lainnya. Sarkasme ini mirip dengan intimidasi yang mengandung kebaikan/kebenaran. Semakin dekat dengan realita, puisi akan semakin hidup.

3. Diksi dan Rima

Banyak penulis yang tidak terlalu mempedulikan rima. Tetapi saya sendiri menyukai rima atau kata yang berakhiran sama. Ya terdengar estetik saja begitu, hehe. Sedangkan diksi adalah pilihan kata yang tepat, tidak terlalu tinggi, terlalu rendah, namun pas dengan topik dan target audiens.

Dari tiga cara ini mungkin terdengar terlalu luas dan tidak mendetail. Namun sense akan puisi akan semakin tumbuh jika kamu sering mengungkapkan ide dan gagasan ketika brainsorming atau saat tiba-tiba mendapat imajinasi untuk menulis. Karena itu jangan hindari dan sia-siakan emosi sedih, bahagia, trauma, marah, kesal dan emosi lainnya. 

Lewati emosi-emosi tersebut dengan brainstorming dan pengimajinasian lalu hidupkan melalui diksi, kemudian tulis apa saja yang lewat dari otak kamu pada bentuk tulisan-tulisan. Jikalau terlihat rancu dan klise, tak apa. Lakukan terus agar kamu bisa memvalidasi emosi kamu sendiri. Semakin peka terhadap emosi diri sendiri, maka semakin tinggi sense terhadap seni, tidak hanya sense menulis namun juga semua hal di sekeliling kamu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun