Bagi masyarakat Jawa dan besar dengan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu, pasti tidak asing pada yang namanya basa ngoko. Di Jawa ada 3 tingkatan kesopanan dalam berkomunikasi, yaitu:
1. Basa Ngoko (informal)
2. Krama Madya (semi formal)
3. Krama Inggil (formal/sangat sopan)
Basa ngoko disebut-sebut kasar jika digunakan dalam komunikasi kepada orang tua. Orang tua di sini yang paling utama adalah ayah dan ibu , disusul orang sepuh yang lebih tua seperti guru, kiai dan lainnya.
Saya setuju kalau basa ngoko memang sebaiknya dihindari jika digunakan kepada orang sepuh, namun saya tidak setuju kalau itu disebut kasur. I mean we even do not curse or say something bad.Â
Kita bahkan tidak mengumpat atau berbicara buruk, jadi saya pikir menyebutnya 'kasar' agak gimana begitu, sedang saya sendiri menggunakan ngoko dengan bapak ibu saya. Pernah mencoba menggunakan krama inggil, mereka bilang "halah gak usah sok-sokan". Jadi malah dikira bercanda begitu.Â
Sedang satu rumah saya memang isinya orang lawak semua, gak ada serius-serius nya sama sekali. Sepertinya bukan cuma saya, banyak anak yang menggunakan basa ngoko kepada orang tua mereka. Apakah anda setuju kalau itu disebut bahasa yang kasar?
Saya akan mencoba membuktikan bahwa basa ngoko tidak selalu kasar.
Anda pernah chattingan? Tentu saja pernah.
Di sebuah chit-chat melalui pesan whatsaap, apakah anda merasakan emosi si lawan bicara? Bisa, tapi tidak semudah saat bicara langsung. Apakah anda bisa membaca emoticon?Â
Bisa, tapi mungkin emoticon tersebut tidak sesuai dengan ekspresi yang sebenarnya digambarkan lawan bicara. Melalui chat, apa anda bisa tahu kalau lawan sedang marah? Sedih? Atau tidak nyaman? Tentu bisa, tapi tidak sebaik saat berbicara secara langsung.
Jadi, mengapa chat lebih rentan menimbulkan salah paham ketimbang berbicara langsung? Jawabannya karena mereka berintonasi. Yap, intonasi adalah hal paling penting dalam percakapan, saya tekankan sekali lagi, ini adalah bagian paling penting.Â
Mari kembali ke basa Jawa. Kita ambil contoh, anda berbicara menggunakan krama inggil tapi intonasi anda meninggi dengan mata memicing, apakah itu sopan? Tentu saja TIDAK. Yang ada gesture seperti ini malah menimbulkan pertengkaran, padahal memakai krama inggil loh.
Kemudian anda berbicara menggunakan basa ngoko dengan sesekali menunduk sopan, tersenyum ramah dan gesture yang bersahabat. Apakah itu disebut kasar? Sepertinya anda sudah tahu jawabannya. Kesimpulan dari saya, menggunakan bahasa formal itu penting, namun lebih penting lagi memperhatikan unggah-ungguh yang baik.Â
Unggah-ungguh bisa disebut sebagai gesture, ekspresi wajah dan intonasi berbicara. Unggah-ungguh yang menghargai, lebih baik dari pada menggunakan krama inggil namun hanya untuk merendahkan lawan bicara.
Di sini saya tidak mengajak untuk menggunakan basa ngoko, namun menjelaskan bahwa tidak semua basa ngoko yang digunakan pada orang tua itu selalu buruk. Dan memang lebih bagus jika berkomunikasi kepada orang tua menggunakan bahasa yang sopannya tingkat tinggi. Maka dari itu belajarlah krama inggil, anak muda zaman sekarang sangat minim pengetahuan mengenai krama inggil.Â
Saya sendiri, jujur lebih nyaman menggunakan bahasa inggris dari pada krama inggil (huhu maafkan saya) namun saya tidak berhenti belajar untuk meningkatkan ketrampilan berkomunikasi menggunakan krama inggil. Karena bagi orang Jawa sendiri, krama inggil itu susah, biasanya cuma orang-orang sepuh yang paham. Orang keraton berkomunikasi dengan krama inggil yang sangat tinggi bahkan yang berbicara ngoko perlu terjemah. Menurut saya, Bahasa Indonesia lebih mudah dari pada krama inggil.
Namun coba bayangkan anda berbicara dengan krama inggil ditambah unggah-ungguh yang baik. Wow! Saya pikir anda pasti jadi maestro dalam berkomunikasi.
Sekian, terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H