Mohon tunggu...
Fatma Eka Ramadani
Fatma Eka Ramadani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

History

Selanjutnya

Tutup

Politik

Terkekang di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan: Pers Indonesia di Era Orde Baru

21 Desember 2024   01:00 Diperbarui: 21 Desember 2024   01:33 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebebasan pers merupakan salah satu pilar utama dalam demokrasi. Namun, dibawah pemerintahan Orde Baru (1966-1998), pers Indonesia berada dalam tekanan hebat akibat adanya kontrol ketat pemerintah. Melalui berbagai kebijakan represif, pemerintah membatasi ruang gerak media, membungkam kritik, dan memonopoli narasi publik. Keadaan ini menciptakan kondisi di mana masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang objektif serta independen. Artikel ini akan menjelaskan bagaimana pers di Indonesia dikekang oleh kekuasaan di era Orde Baru, Strategi yang digunakan dalam melawan pembungkaman, dan dampak dari represi tersebut terhadap perkembangan pers nasional

Pada awalnya, pemerintah Orde Baru memberikan kebebasan pers dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers. Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa pers nasional tidak dapat disensor serta dikendalikan, dan kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak dasar warga Negara serta penerbitan yang tidak memerlukan surat izin apapun. Kebebasan pers tidak lagi terwujud, setelah terjadinya Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). Peristiwa ini merupakan salah satu aksi gerakan mahasiswa yang melakukan perlawanan terhadap rezim Orde Baru untuk menuntut perubahan, karena dianggap terlalu berpihak pada investasi asing. Aksi ini diwarnai dengan kerusuhan, kekerasan, dan penjarahan bahkan menelan korban jiwa. Dari peristiwa ini, pers dibredel oleh penguasa rezim Orde Baru, hanya beberapa setelah terjadinya Peristiwa Malari, karena dianggap oleh pemerintah terlalu berpihak pada aspirasi serta gagasan mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Sekitar 14 media massa dicabut surat izin cetak hingga pencabutan surat izin terbit.

Dibawah kekuasaan Orde Baru, kebebasan pers bukanlah suatu hak, melainkan sebuah privilege yang diawasi ketat oleh pemerintah. Pemerintah menggunakan instrument hukum seperti Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) guna mengatur dan mengontrol media. Media yang diangap menyampaikan kritik terhadap pemerintah atau meliput isu sensitive, seperti korupsi atau pelanggaran Hak Asasi Manusia, akan  mengahadapi ancaman pembredelan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, 14 media massa dibredel, contoh yang paling menghebohkan adalah pembredelan harian Indonesia Raya pada tahun 1974, serta pembredelan tiga media besar, yaitu Tempo, Editor, dan Detik pada tahun 1994. Selain itu, pemerintah memanfaatkan Departemen Penerangan sebagai alat utama dalam mengendalikan narasi yang disampaikan oleh media. Wartawan diwajibkan menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang di mana organisasi ini dikontrol oleh pemerintah. Maka dari itu, pemerintah dapat memastikan bahwa media hanya dapat menyampaikan informasi yang mendukung stabilitas politik dan ekonomi yang menjadi prioritas rezim Orde Baru.

Pemerintah melakukan beberapa strategi dalam mengontrol pers, selain adanya pembredelan dan sensor, pemerintah juga melakukan Indoktrinasi melalui media. Dengan membungkam media independen dan memanfaatkan media milik Negara untuk meyebarkan propaganda. Televisi Republik Indonesia (TVRI) serta Radio Republik Indonesia (RRI) menjadi alat utama untuk menyampaikan narasi pemerintah kepada masyarakat. Melalui media ini, pemerintah berusaha menciptakan citra stabilitas dan keberhasilan pembangunan pada era Orde Baru. Selain itu, tekanan terhadap wartawan dan media juga dilakukan oleh pemerintah, dengan melakukan intimidasi hingga penahanan terhadap wartawan yang mencoba melawan pembungkaman. Seperti kasus Udin, seorang wartawan harian Bernas yang dibunuh pada tahun 1996, hal tersebut menjadi contoh nyata bagaimana wartawan menjadi korban dari kebijakan represif ini. Tekanan yang dilakukan oleh pemerintah ini memunculkan suasana ketakutan yang melumpuhkan keberanian wartawan untuk melaporkan fakta.

Tak hanya diam, di tengah represi, berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, jurnalis, dan aktivis, melakukan perlawanan dari adanya pembungkaman pers. Berbagai upaya dilakukan untuk melawan, seperti adanya pers alternatif. Ketika media arus utama dibungkam, pers alternatif berfungsi sebagai saluran informasi independen. Bulletin bawah tanah serta pers kampus menjadi instrumen penting untuk menyuarakan kritik terhadap rezim Orde Baru. Publikasi seperti Balairung dari Universitas Gadjah Mada dan Gelora Mahasiswa dari Institut Teknologi Bandung menjadi salah satu wadah bagi kaum muda untuk melawan hegemoni informasi pemerintah. Demonstrasi juga bentuk perlawanan yang nyata terhadap pembungkaman pers. Setelah pembredelan Tempo, Editor, dan Detik, mahasiswa dan aktivis mengorganisir aksi besar-besaran untuk menuntut kebebasan pers. Selain itu, bentuk perlawanan masyarakat adalah dengan didirikannya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tahun 1994. Organisasi ini berkomitmen untuk memperjuangkan kebebasan pers dan melindungi hak-hak jurnalis. AJI menjadi symbol perlawanan terhadap otoritarianisme di bidang media.

Dampak dari adanya pembungkaman pers di era Orde Baru membuat perubahan terhadap perkembangan demokrasi dan kebebasan informasi di Indonesia. Media hanya menyampaikan informasi yang telah disensor, masyarakat kehilangan akses terhadap berita yang objektif dan kredibel. Hal ini memunculkan kesenjangan informasi yang memengaruhi kemampuan masyarakat untuk membuat keputuasan yang tepat. Adanya ancaman pembredelan serta tekanan terhadap wartawan menciptakan budaya takut dikalangan media yang menghambat keberanian media untuk melaporkan fakta. Terdapat banyak media yang memilih untuk menghindari isu-isu sensitive demi menjaga kelangsungan operasional mereka. Selain itu, proses demokratisasi juga terhambat, mekanisme checks and balances dalam pemerintatahan menjadi lemah. Ketidakadilan serta korupsi merajalela tanpa ada pengawasan yang memadai dari media.

Setelah tumbangnya masa kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998, kebebasan pers mulai bangkit kembali. Regulasi yang membatasi media, seperi SIUPP telah dihapuskan. Media baru mulai bermunculan, dan wartawan memiliki kebebasan dalam melaporkan berbagai isu tanpa takut terhadap pembredelan. Namun, ancaman terhadap kebebasan pers masih ada dalam bentuk lain, seperti tekanan ekonomi dan serangan digital.

Pers Indonesia di era Orde Baru hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan yang mengekang kebebasan informasi. Dengan berbagai kebijakan represif, pemeritah berhasil membatasi ruang gerak media dan menciptakan monopoli narasi. Namun, di tengah represi tersebut, muncul perlawanan dari berbagai elemen masyarakat yang memperjuangkan kebebasan pers sebagai hak fundamental. Pengalaman di era Orde Baru memberikan pelajaran berharga mengenai pentingnya kebebasan pers dalam menjaga demokrasi. Meskipun Orde Baru telah berakhir, ancaman terhadap kebebasan pers masih ada dalam bentuk yang berbeda. Maka dari itu, perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers harus  terus dilanjutkan agar suara rakyat tetap didengar dan demokrasi tetap terjaga.

Referensi

Adi, P. (45). Demokrasi Dan Kebebasan Pers. Jurnal sentris pusat pengkaji pers.

Berliani, R. (2022). Riwayat Surat Kabar Lokal Aman Makmur. Warisan, 115-119.

Eddyono, A. (2021). Pers Alternatif pada Era Orde Baru: Dijinakkan hingga Dibungkam. Komunika, 53-60.

Efendy, A. (2010). Perkembangan Pers Indonesia. Semarang: Alphrin.

Jum'at, M., & Firdaus, D. (2022). Pemberedelan Pers Pasca Peristiwa Malapetaka 15 Januari (MALARI) 1974. FKIP Universitas Siliwangi.

Maulana, R., Septiyana, D., Br. Ginting, A. F., & Angelica, S. (2023). Rahasia Terungkap: Menganalisis Dinamika Keamanan Pers Pada Masa Orde Baru (1966-1998). Jurnal Ilmiah Sosial Dan Humaniora, 89-96.

Padiatra, A. M., & Sanusi, A. (2020). PERS PASCA ORDE BARU: SEBUAH TINJAUAN SEJARAH KONTEMPORER. Khazanah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, 41-50.

Sahrasad, H., & Ridwan, M. (2020). The Malari 1974, Press and the Soeharto’s New Order: A Historical Reflection on Student Movement in the Authoritarian Era. Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal), 2796-2806.

Sari, R. W., & Darmawan, W. (2021). PERKEMBANGAN SURAT KABAR DALAM PUSARAN POLITIK: KAJIAN SURAT KABAR SINAR HARAPAN 1961 – 1986. FACTUM, 173-186.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun