Kemudian aku berbaring didalam tenda. Hanya beralaskan terpal dan berbantal tas sudah mampu membuatku nyaman. Aku sudah melepaskan kaos kaki serta sepatu PDL dan berharap saat jam 3 nanti akan kering karena aku benar-benar tidak nyaman dengan rasa lembap pada kakiku ini.
Aku berbaring kesamping, mengarah pada deretan tempat tidur para Pelatih. Tempat tidur mereka mirip sekali dengan tempat berbaringnya pendonor darah, aku tidak tahu apa sebutannya untuk tempat tidur tersebut. Mataku mencari keberadaan Pelatih Didi yang sejak makan malam tadi tidak terlihat.
Lama kelamaan aku memejamkan mata, aku sudah tidak bisa membuka mataku yang semakin terasa berat. Padahal aku masih belum menemukan Pelatih Didi dengan mataku.
Sambil sesekali mengerjapkan mataku, aku masih dapat melihat keadaan sekitar yang kelihatan seperti berbayang. Beberapa detik kemudian aku menyadari bahwa saat itu udara semakin dingin namun aku terlalu malas untuk bangun dan meminjam selimut. Aku sengaja tidak memasukkan selimut kedalam tasku mengingat beratnya tasku hanya dengan berisi pasir.
Aku yakin bisa tidur walaupun kedinginan. Aku dijuluki “tukang tidur” oleh teman-temanku karena dalam kondisi apapun ketika mengantuk aku bisa tidur.
Aku mengeratkan pelukan pada tanganku semakin dalam, berharap kehangatan menghampiri.
Masih sambil mengerjapkan mataku, aku sangat yakin melihat Pelatih Didi dari kejauhan. Aku yakin melihat siluet tubuhnya. Hal itu membuatku tersenyum.
Benarkah yang kulihat adalah Pelatih Didi?
Kenapa semakin lama dia bergerak ke arahku? Ada apa ini?
Aku sengaja menutup mataku sepenuhnya saat Pelatih Didi berada kurang lebih 3 langkah dari tendaku. Kemudian aku merasakan kehangatan pada kedua kakiku.
Apa ini?