Kulihat Alexander Christie coklat ditanganku. Sudah pukul 22.30, gumamku.
"Sayang, aku pulang ya. Udah jam setengah sebelas." Kataku kepada kekasihku yang masih asyik memeluk pinggangku dari belakang.
Lima belas detik berlalu tanpa jawaban. Ku lirik bahu kananku dengan ujung mata. Ah, sudah ku duga.
Aku mencoba melepas tangannya yang melingkar di pinggangku.
"Ughh... kenapa sih... kok di lepas..." Akhirnya dia menjawab. Masih dengan setengah ngantuk. Memang ini cara paling ampuh membangunkannya.
"Udah jam setengah sebelas, Sayang. Udah malem banget nih. Mama udah sms suruh pulang." Kataku berbohong.
"Tumben Mama kamu sms, Sayang." Katanya sambil menciumi telinga dan turun ke leherku.
Aku langsung balik badan dengan gerakan cepat sehingga kami berhadapan. "Ya gimana lagi, anak nya kan 'lembur' tiap hari." Kataku sambil tersenyum menyindir.
Dia yang mengerti maksudku hanya tersenyum saja masih dengan tangannya melingkar dipinggangku.
"Kapan kita nikah? Aku pengen terus sama kamu. Tidur semalaman sambil peluk kamu."
"Makanya kamu harus semangat cari modal nikahnya dong, Sayang. Ini selalu ngeluh kalau panas atau hujan, padahal kerjaan kamu memang selalu di luar ruangan."
"Kamu enak kerja di dalam ruangan, nyaman pake AC. Nah aku harus keliling cari alamat orang. Belum lagi kalau alamatnya gak ketemu-ketemu." Keluhnya.
Makanya cari kerja yang lain. Pikirku dalam hati.
"Aku pengen banget cari kerja yang lain. Tapi kamu tau kan Oom ku yang masukkan aku tempat kerja sekarang. Lagipula baru dua bulan aku kerja disini dan hampir satu tahun aku pengangguran. Susah cari kerja, Sayang." Jawabnya seolah mendengar apa yang aku pikirkan.
Akupun memahami alasannya. Mungkin belum rezeki nya dapat pekerjaan bagus.
"Antarin aku pulang ya."
"Oke, Sayang." Lalu mengecup keningku.
***
Pukul 11.10 aku sampai dirumah. Mama sepertinya sudah tidur dikamarnya. Aku agak merasa bersalah karena meminta Handy mengantarkan pulang karena di pertengahan jalan mulai gerimis dan dia tidak membawa jas hujan. Padahal aku bisa saja memesan taksi.
Aku segera mengganti baju kerja ku dengan daster pink kesukaanku. Kemudian bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan sisa make-up dan gigiku. Terlalu malam untuk mandi.
Setelah menepukkan serum ke wajah, aku segera kembali ke kamar tidur dan menyelimuti badan dengan selimut. Terkena gerimis di jalan pulang sukses membuatku kedinginan.
Gerimis... aroma tanah... dan dingin.
**
"LAMBAT-LAMBAT KALIAN!!! CEPAT JALAN SAMBIL YEL-YEL. MACAM KEONG PULAK JALAN KALIAN!!!"
Kami pun mempercepat jalan kami. Sengatan terik matahari membakar kulit wajah. Butiran keringat sudah membasahi sekujur tubuh.
Ya Tuhan, kapan penderitaan ini selesai?
Sudah cukup beberapa hari ini dipenuhi dengan panas-panasan, mandi keringat, mandi lumpur, lari marathon... Ahh aku lelah sekali, ingin pulang rasanya. Ditambah dengan hukuman-hukuman kecil yang membuat nafas ngos-ngosan seperti push up, sit up, maupun lari keliling lapangan! Dan sekarang kami sedang mendaki Bukit Piayu menuju tempat 'pembantaian' lainnya ditemani tas berisi pasir dan sepatu PDL hitam yang berat.
"Kak, kalau gak kuat mending minta di antar Pelatih pakai motor. Muka kakak udah pucat loh." Kata Agung, cowok yang barisannya tepat disebelah kananku.
"Hmm... punya minyak kayu putih gak?"
"Pelatih Didi punya tuh kak. Minta aja. Pelatih ada di barisan paling belakang." Lalu ada dua tangan yang memegang bahuku kemudian menggeser tubuhku kekiri, orang itu adalah Wuri.
"Kamu ke belakang aja, kami gak kuat kalo harus angkat kamu pingsan." Diikuti dengan gerakan yang artinya mengusir, husssh hussshhh...
Duh... gerutuku dalam hati. Aku hanya berdiam di tempatku saat ini, menunggu barisan pejalan kaki ini lewat, karena aku perlu bertemu orang yang beris paling belakang.
Dan orang yang dimaksud akhirnya terlihat batang hidungnya.
"Pelatih, ada minyak kayu putih?" Kataku tanpa memberi jeda waktu untuk orang ini bertanya lagi. Kami berdua akhirnya berjalan sejajar.
Dia merogoh saku sebelah kanannya. "Nih..." Sambil memberikan sebotol minyak kayu putih. Akupun segera mengusap pelipis dan belakang leherku dengan minyak tersebut.
"Sini tas nya." Katanya.
"Gak usah, nanti aku kena marah sama Pelatih Chandra." Kataku.
"Kalau gitu kamu naik motor aja sama Pelatih Memet ya, bentar aku telfon dulu." Katanya lagi.
"Eh.. gak usah. Gak apa-apa aku jalan aja." Aku tuh pengen jalan berdua aja sama Pelatih Didi.
"Ya udah sini tasnya." Katanya lagi.
Aku pun menyerahkan tasku dengan sukarela. Ahh, akhirnya bisa berjalan dengan tegak.
Dia menggendong ransel berisi 10 liter pasir dan berjalan tegak seperti biasa. Terlihat gagah.
Ya, dia kelihatan gagah. Memiliki badan yang tinggi, tebakanku sekitar 180 cm. Usia sekitar 20an, tidak jauh berbeda denganku. Senyum yang menawan, tatapan mata yang tajam, serta humoris, sukses membuat aku dan beberapa teman-teman wanita seangkatanku tertarik pada laki-laki satu ini.
Namanya Didi Prasetya. Seorang TNI Angkatan Darat yang ditugaskan menjadi salah satu pelatih yang di sediakan Yonif Raider Tuah Sakti 134 untuk kami. Aku dan teman-temanku adalah siswa On the Job Training (OJT). Kami bukan anak sekolahan yaaa! Kami menjadi siswa OJT setelah lulus seleksi salah satu perusahaan BUMN di Kota Batam. Setelah lulus seleksi administrasi, akademik, psikologi, kesehatan dan wawancara, tahap terakhir adalah kesamaptaan. Jika lulus sampai tahap terakhir maka kami dapat di angkat menjadi pegawai. Horraaayyy!!!!
Menurut jadwal dari bagian SDM, kami akan melaksanakan kesamaptaan selama 15 hari. Peraturan disini adalah semua harus dilakukan dengan cepat. Gimana mau cepat, energi aja udah terkuras habis...
Walaupun kami disuruh cepat dan sering mendapat hukuman yang melelahkan, tapi asupan makanan kami sangat-sangat terjaga alias banyak. Jatah makan sehari 3x; sarapan, makan siang, dan makan malam. Dan extra fooding setiap jam 11 pagi berupa susu dan roti. Semua makanan yang diberikan hukumnya 'wajib' dihabiskan. Kalau ketahuan tidak menghabiskan hukumannya bukan hanya dilaksanakan oleh diri sendiri, tetapi satu angkatan yang kena hukum. Sudah terbayangkan alasan mengapa aku ingin cepat-cepat pulang?
Asupan makanan yang banyak bukan berarti badan semakin melebar. Setelah 10 hari kami mengikuti kesemaptaan dan aku merasa badanku tidak mudah lelah serta perut terasa 'datar' dan keras.
Tolong jangan katakan perutku six-pack karena sangat jauh dari kesan seperti itu. Aku tau ini pasti efek dari rajin menjalani 'hukuman' lain yang sangat membakar kalori.
Yang memiliki perut sixpack adalah laki-laki yang sedang disampingku dan menggendong ranselku.
"Kamu sering sakit ya?" Katanya membuyarkan lamunanku.
"Gak juga kok. Cuman cepat lelah aja."
"Darah rendah?"
"Iya..." Jawabku agak malu-malu.
Jalan yang sedang kami lewati merupakan jalan pintas menuju hutan Duriangkang yaitu melalui gerbang perusahaan penyedia air di Batam. Tidak tampak aktivitas pekerja di sini, hanya satu-dua security yang terlihat membuka dan menutup gerbang untuk kami.
Terlihat danau buatan yang hampir mengering airnya di kanan-kiri. Menyuguhkan pemandangan yang menyenangkan untuk dilihat. Ditambah lagi udara sejuk merambat karena kami sudah memasuki kawasan hutan.
Terdengar suara yel-yel penyemangat yang diserukan oleh teman-teman yang ada di barisan depan. Aku pun tersenyum kecil.
Berada di tempat yang sejuk dengan pemandangan indah, diiringi seruan semangat dari teman-teman, bersama seseorang yang disukai.
Pelipisku sedikit mengernyit karena pemikiranku barusan.
Orang yang disukai? Apa tidak salah?
Aku pun menepis pemikiran itu. Tidak seharusnya aku merasakan suatu perasaan kepada orang yang berada disampingku ini. Karena aku sudah memiliki kekasih yang pasti sedang merindukanku karena sudah hampir dua minggu kami tidak berkomunikasi. Aku sudah pernah mengkhianati mantan kekasihku dulu karena berpaling darinya dan memilih orang yang kusukai. Dan aku tidak ingin mengkhianati orang yang menyayangiku lagi.
***
Tutt... tutt... tutt..
"Iya sayang." Jawab seseorang di seberang sana.
"Kamu udah sampai rumah?" Tanyaku khawatir karena butiran air yang turun dari langit tampak lebih deras dari sebelumnya.
"Udah kok. Kayaknya aku mau mandi dulu sebelum tidur, lumayan basah badanku. Hujannya semakin deras."
"Oke sayang."
Klik.
Sambungan telepon pun dimatikan.
Aku menghempaskan badan ke kasur dan memeluk boneka beruang biru yang ku beri nama Bae Blue. Sambil merasakan empuknya boneka ku, lagi-lagi aku mengingat kejadian itu.
***
"Nih..." Katanya sambil menyodorkan lilitan bunga ditangannya.
"Apa nih?" Kataku bingung. Sudah sejak beberapa menit lalu pria disampingku ini dengan kreatifnya melilitkan bunga dan daun kering yang didapat selama perjalanan kami menyusuri hutan.
"Simpan ya, itu kenang-kenangan."
Aku menerima nya dengan pandangan bingung, namun aku tersenyum padanya sedetik kemudian.
Kenapa jadi baper gini sih....
BERSAMBUNG
27 April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H