Mengenai freemasonry, mungkin banyak yang menganggapnya hanyalah fiksi. Pembahasan mengenai freemasonry sendiri tidak pernah termuat dalam teks buku sejarah sekolah. Bahkan, di dunia akademis pun sangat jarang disinggung.
Sejauh ini, literatur yang diterbitkan mengenai sejarah pergerakan freemasonry juga sangat minim. Jika pun ada, kebanyakan akan menggandeng pembahasan mengenai Zionisme.
Pergerakan freemasonry di Nusantara diceritakan oleh Hakiki Haria, sejarawan yang memfokuskan studinya pada penelitian tentang freemasonry di Indonesia, diawali dengan berdirinya sebuah Loji di Batavia. Sosok yang paling berperan atas kegiatan Loji tersebut adalah Radermacher.
Lahirnya freemasonry sendiri disebutkan oleh Hakiki pada tahun 1717. "Gerakan freemasonry internasional secara resmi dibentuk pada 1717 di London. Pada masa itu Eropa sedang mengalami masa pencerahan (age of enlightement)", katanya.
Pada masa ini secara drastis, Eropa yang awalnya religius, berubah menjadi sekuler. Para cendekiawan yang sekuler pun kemudian banyak yang tertarik untuk menggabungkan diri dengan freemasonry. Hal ini pula yang membuat Freemason memiliki nilai prestisius tersendiri bagi pengikutnya. Mereka yang tergabung akan dapat berinteraksi dengan kalangan intelektual yang ada ketika itu.
Gerakan freemasonry hadir dengan menawarkan sebuah persaudaraan universal. Dalam ajaran tersebut tidak ada diskriminasi terhadap perbedaan suku bangsa, warna kulit, maupun agama. Bagi freemasonry, agama adalah pemisah antar agama (Th. Stevens: xv, 2002).
Masuknya gerakan freemasonry di Nusantara sendiri tidak dapat dipastikan. Hakiki hanya menjelaskan jika waktunya mungkin bersamaan dengan Politik Etis. "Pada masa pergerakan nasional, Pemerintah Belanda sudah mengimplementasikan Politik Etis meski tidak sepenuh hati, nah waktu itu dikriminasi Pemerintah Kolonial kerasa banget, kedatangan gerakan kebatinan Yahudi ini tentu menarik perhatian dari kaum bangsawan dan cendekiawan lokal," terangnya.
Dalam penyebarannya, freemasonry tidak luput dari pertentangan. Tentangan paling keras berasal dari para pemuka agama, baik itu Islam maupun Kristen. Hal ini pun serupa dengan yang terjadi di Eropa.Â
Akan tetapi freemasonry tetap memikat cendekiawan pribumi dengan gagasannya soal persamaan, dan penolakannya terhadap sikap diskriminatif. Selain itu, prestise untuk dapat berkumpul dengan kaum intelektual juga menjadi faktor penarik, sama seperti di Eropa.
Beberapa nama yang kemudian tertarik untuk bergabung dengan Freemason adalah tokoh-tokoh dari Budi Utomo. Mereka adalah Rajiman Wediodipura/Wediodiningrat, Sultan HB VII, keturunan dari Paku Alam, dll. Mereka aktif di Loji Mataram yang berlokasi di Yogyakarta.
Cukup menarik, ketika Hakiki menyebutkan bahwa ada satu hal yang tidak terjadi di Eropa tapi terjadi di Hindia Belanda, yaitu penyebutan Loji Mason sebagai Gedong Setan. Terdapat dua kemungkinan mengapa hal tersebut dapat terjadi.
Pertama, menurut Ridwan Saidi, Budayawan Betawi, yang kerap dilakukan oleh para Mason di loji adalah ritual pemanggilan arwah, semacam paranormal activity. Kedua, menurut para Mason yang ditanyai oleh Bung Karno, masyarakat pasti salah dengar ketika para Mason sedang menyebut nama Sint Yan, yang terdengar menjadi setan.
Demikianlah pembahasan mengenai pergerakan freemasonry periode awal di Nusantara. Sesuatu yang cukup sulit untuk dipercaya ada, karena memang pergerakannya dipraktikkan secara tertutup. Semoga ke depannya akan bertambah banyak literatur yang membahas mengenai pergerakan kebatinan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H