Hujan rintik menyertai perjalanan panjang ku menuju puncak Panderman.Kalau saja tidak terlanjur janji, aku takkan mampu terus mendaki.Â
  " Berhenti dulu Dik, capek," ajakku pada Dika rombongan pendaki yang sengaja temani aku.
"Emh...sebetulnya jalan agak pelan  lebih baik daripada sering berhenti gini Mbak," "bentar lagi kita sampai di pos 2 latar ombo, kita bisa ngopi - ngopi , nyemil sambil selonjoran kaki."
"Iya...iya... maafin udah merepotkan," aku jawab agak malu.( Hehe... bersyukur sih masih punya malu ...coba lihat para koruptor itu, sudah ketangkap, eh malah ketawa-ketawa ke kamera ... duuh, sadis,Astagfirullah  .)
Panderman...o, Panderman kamu sih terlalu menanjak . (Sorry, cemen amat sih.)
" Wajburni yaa Jabbar...(ya Rab, hiburlah hamba. Hanya Engkau yang bisa menghiburku.)"
Aral pendakian gunung ini, sedikit bisa alihkan perhatian dari sedihku ini. Sedih yang menggulung-gulung di rasa. Kecewa yang memuncak melebihi tanjakan gunung Panderman ini. Â
Kembali kuseka air mata ini, dengan memelas menatap pepohonan yang rimbun. Beruntung jalanan setapak, jadi  jalannya musti satu- satu. Kalo nangis gini, bakal gak ketahuan...(haha...) Ups. girimis lembut ini juga menolongku.
Sebetulnya nggak musim hujan, tapi hujan jatuh tipis tipis. Lagi pula tidak disarankani mendaki di sini di musim hujan. Sebab jalanan jadi licin, aku juga beberapa kali terpeleset.
Alhamdulillah, akhirnya sampai di latar Ombo ,duh, ...terasa sekali pendakian ini setelah beberapa tahun absen tentu saja.
Sebetulnya aku sudah pernah ke Panderman ini dulu sekali, tapi gak pernah nyampai ke puncak bahkan gak sampai ke pos 3 di Watu Gede . Haha...malu- maluin. Tapi, gak berkecil hati, ternyata bukan cuma aku yang punya pengalaman kayak gini. Itulah Panderman meskipun nggak setinggi Semeru, tantangan nya berat juga. jadi banyak pendaki yang hanya puas di Latar Ombo  atau Watu Gede
Hemm, Â udara dingin makin menusuk belukar. Kami bersiap menapak pos 3 Watu Gede Ah, dingin dan lapar makin terasa. Namun, keinginan untuk sampai ke puncak Basundara mengalahkan segala rasa.
Masih pukul 23.32 huf, kantuk sudah di ujung mata, setelah tenda terpasang, segera kurebahkan punggung dan kepala ku.Â
Meski fakta mengatakan, stres , galau dan semacamnya cukup diademkan dengan istighfar, merendah, minta ampun pada Pemilik hati. Namun, aku masih cari alasan menghibur diri.
Karena capek aku lelap.Â
"Selamat datang Sofia, jangan sedih lagi ya, ini cincin yang kujanjikan itu," Azizi  Muhamad menghampiriku
" Kamu percaya kan, Zizi tidak seperti yang kamu tuduhkan, Zizi tetap setia meski kamu khianati cinta kita. Zizi hanya heran kenapa Sofiaku berubah begitu drastis, tapi tenang...Zizi yang salah tidak segera kasih kabar. Karena sakitku mendadak. Bahkan aku kehilangan ponselku." Lanjutnya.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Pikiranku berkecamuk tak karuan, bukankah Azizi sudah meninggal karena sirosis itu? Lalu cincin ini?Â
Aku jadi makin bersalah, mengapa aku percaya begitu saja pada Juan hingga aku alihkan cinta padanya. Tanganku masih terus pegangi cincin ini.
" Hai...mbak Sofi...bangun dong..itu matahari paginya udah mulai pamer lho...
ntar nyesel lho...! teriak Gilang dan Dika bersautan...
Aku makin heran sambil ngucek- ngucek- mataku...dan beranjak ke luar tenda.
Lho, jadi aku mimpi. Lalu mana Zizi
dan cincin ini...
Fd,18032019
Pujon, rehat siang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H