Momen Idul Fitri jadi momen yang ditunggu semua orang, termasuk para penghuni lapas. Pasalnya ada dua jenis remisi khusus Idul Fitri ini. Yakni pengurangan masa tahanan 15hari hingga 2 bulan dan pengurangan masa hukuman yang langsung bebas setelah menjalani masa tahanan.
Remisi Narapidana
Di Jawa Barat sendiri, sebanyak 16.336 Narapidana mendapatkan remisi Idul Fitri. Dilansir dari laman CNN Indonesia (10/4/2024), 128 orang diantaranya langsung bebas saat lebaran kemarin. Sementara Lapas Sukamiskin, ada 240 Narapidana korupsi yang mendapatkan remisi Idul Fitri.Â
Pemberian remisi merupakan salah satu bentuk hak bagi Narapidana. Dasar hukum remisi adalah UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 14 ayat (1) yang menyatakan bahwa remisi adalah hak Narapidana. Pemberian remisi ini diharapkan memotivasi Narapidana untuk berperilaku baik, juga menekan tingkat frustasi Narapidana.Â
Menghilangkan Efek Jera
Korupsi menjadi salah satu kejahatan luar biasa yang terjadi di Indonesia. Gurita Korupsi kian melilit negeri ini. Dari level bawah hingga atas semua terlibat korupsi. Dari dana pendidikan sampai dana Bansos semua tak luput dari korupsi. Besar kerugian yang diderita rakyat dan negara akibat tindak kejahatan ini.Â
Sayangnya, justru para koruptor mendapat remisi hukuman. Sudahlah hukumannya tidak setimpal, mendapat potongan hukuman pula. Wajar jika hukuman tahanan bagi koruptor tak memberi efek jera.Â
Faktanya, banyak koruptor yang masuk ke tahanan tapi tak mengurangi tindak korupsi. Bahkan, yang ada malah semakin besar nominal dan kerusakannya, semakin banyak pula para koruptor. Belum lagi privilege bagi para koruptor yang bisa membeli fasilitas mewah di dalam rumah tahanan. Atau bahkan bepergian keluar lapas.Â
Problematis
Sistem sanksi yang tidak menjerakan ini merupakan bagian dari sistem pidana yang Problematis. Sebagaimana diketahui bersama bahwa sistem pidana negeri ini adalah warisan Belanda. Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) merupakan warisan Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS) yang kemudian dinaturalisasi menjadi UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. KUHP saat ini sudah direvisi berdasarkan UU 1/2023 tentang KUHP. Namun tetap saja hakikatnya sistem pidana ini buatan manusia, hasil dari pemikiran manusia.Â
Oleh karena itu, wajar jika sistem pidana ini bersifat tidak baku, mudah berubah dan mudah disalahgunakan. Muncul fenomena hidup mewah dalam lapas. Masa hukuman didiskon besar-besaran hingga berkurang banyak dari keputusan pengadilan. Setelah keluar tahanan pun, para koruptor diperbolehkan kembali mencalonkan diri menjadi pejabat negeri. Lalu, dimana efek jeranya? Bagaimana kita berharap pemberantasan kejahatan korupsi dengan sistem pidana Problematis ini?Â
Inilah potret aturan buatan manusia yang serba lemah dan terbatas. Solusi yang diharapkan hadir malah menjadi problematika baru.Â
Sistem Sanksi Ala Islam
Allah berfirman dalam quran surat Al An'am ayat 160"Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi)." (QS Al-An'am: 160).
Dalam Islam, hukuman yang ada bersifat preventif dan kuratif. Islam memiliki tiga pilar penerapan sistem sanksi. Pertama, ketakwaan individu. Ketakwaan ini menjadi benteng bagi setiap diri untuk menahan diri dari perbuatan dosa, apalagi mengambil hak orang lain, dan dzalim. Kedua, masyarakat yang saling mengingatkan dalam kebaikan, mencegah dari yang munkar. Ketika terdeteksi dosa atau kemaksiatan, maka masyarakat akan mengingatkan dan menjaga agar tetap ada dalam kebaikan dan rida Allah.Â
Ketiga, pemberlakuan sistem sanksi yang adil oleh negara. Adil dalam artian sesuai dengan ketetapan Allah, Sang Pencipta dan Pengatur. Salah satunya, hukuman takzir berupa penyitaan harta ketika pelaku tidak bisa membuktikan dari mana harta kekayaannya.Â
Hukuman penjara tidak menjadi satu-satunya jenis hukuman. Kalaupun hukumannya, penjara, tidak ada pengurangan hukuman dari masa yang sudah hakim putuskan. Abdurrahman al-Maliki dalam Nizham al 'Uqubat menyampaikan bahwa hukuman sanksi bagi koruptor, yaitu dapat dikenai hukum ta'zir 6 bulan hingga 5 tahun. Apabila jumlah yang dikorupsi dapat membahayakan ekonomi negara, maka koruptor tersebut dapat dijatuhi hukuman mati.
Inilah sempurnanya sistem Islam yang Allah turunkan. Hukuman yang ditetapkan akan membuat efek jera dan mencegah terjadinya kejahatan yang serupa. Sementara bagi pelaku yang ikhlas menjalani hukuman di dunia insyaallah terbebas dari hukuman di akhirat.Â
Wallahua'lam bish shawab.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H