Di pundak pemimpin yang bebas korupsi, disitulah masa depan negeri. - Najwa Shihab
Memimpin negeri butuh komitmen tinggi. Akan banyak perjuangan dan pengorbanan yang harus dilakukan. Kalaulah kacamata yang dipakai masih untung rugi materi, maka tak pantas baginya menduduki jabatan pemimpin negeri. Dengan semua alasan dan muslihat pasti ia akan melakukan korupsi.
Sinergi Berantas Korupsi
Tanggal 9 Desember ditetapkan sebagai Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Adanya peringatan hari Antikorupsi menunjukkan sadarnya manusia akan kebahayaan korupsi bagi negara. Setiap tahun diusung tema pemberantasan korupsi. Tahun 2023 ini, Indonesia mengusung tema Sinergi Berantas Korupsi untuk Indonesia Maju.
KPK ingin semua lembaga pemerintahan juga masyarakat untuk berpartisipasi meningkatkan kesadaran dalam memberantas korupsi di Indonesia. Kemenkeu, Kemenag, BPJS, dan lembaga pemerintah lainnya menyatakan siap bersinergi untuk memberantas korupsi. Mirisnya, pada perayaan Hakordia tahun ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tanpa ketuanya, Firli Bahuri, yang saat ini telah diberhentikan sementara karena menjadi tersangka dugaan pemerasan.
Sungguh pilu, Ketua lembaga pemberantasan korupsi justru jadi tersangka kasus korupsi. Lantas, benarkah sinergi pemberantasan korupsi ini sungguhan atau hanya pencitraan? Apalagi mengingat pemilu yang akan datang.
Berantas Korupsi dari Akar
Bukan sekali ini rakyat disuguhi fakta yang mencengangkan. Deretan pejabat tinggi negeri banyak yang berlenggang masuk jeruji besi karena terjerat korupsi. Pada era Presiden dengan jajaran menterinya saat ini sebutlah Jhonny G. Plate, Juliari Batubara, Edhy Prabowo, Imam Nahrawi, Idrus Mahram, dan Syahrul Yasin Limpo. Bahkan, dua hakim agungnya pun terjerat korupsi, yakni Gazalba Saleh dan Sudrajat Dimyati. Â
Fenomena korupsi bagaikan gunung es. Yang nampak tidak semuanya. Adanya solidaritas tinggi para pelaku korupsi membuat rakyat yakin masih banyak para koruptor yang beruntung. Mereka melakukan korupsi tapi belum terdeteksi hukum atau punya backing yang kuat.
Wajar jika sulit menghapus korupsi di masa kini. Para tikus berdasi ini ada di setiap jabatan, mulai dari daerah hingga pusat pemerintahan. Semuanya saling berkaitan dan melindungi. Harusnya pemerintah mengevaluasi ulang akar masalah hingga bisa memberantas korupsi secara tuntas. Cita-cita 0 pada kasus korupsi pun tidak lagi hanya angan dan mimpi.Â
Penyebab Korupsi
Ada banyak faktor yang menyebabkan para pejabat negeri ini hobi melakukan korupsi. Beberapa diantaranya adalah pertama, jauhnya agama dari kehidupan. Mungkin nampak tidak nyambung, tapi dengan jauhnya agama dari kehidupan, maka manusia tak akan paham konsep benar salah, halal haram dengan pemahaman yang sebenarnya bukan sekedar tahu tanpa pelaksanaan.Â
Jauhnya agama dari kehidupan telah mengikis keimanan manusia. Sehingga manusia bertindak sesuai nalar dan nafsu mereka sendiri. Tidak hadir rasa takut akan dosa atau azab yang menanti di hari pembalasan kelak.Â
Kedua, demokrai yang mahal berpeluang membuat orang melakukan korupsi. Sudah diketahui bersama bahwa praktik demokrasi memerlukan dana yang tak sedikit. Kendaraan, rumah, semuanya habis dikorbankan agar bisa maju menjadi pejabat negara. Wajar jika penghuni Rumah Sakit Jiwa bertambah setelah pemilu usai karena tak terima kekalahan karena sudah berkorban harta yang banyak. Hasilnya, hadir politik transaksional antara pejabat dan pengusaha. Pengusaha menjadi sponsor agar kontestannya bisa menjabat. Setelah terpilih, para konstentan yang menjabat akan membalas budi para pengusaha dengan memberikan kebijakan yang pro pada kepentingan mereka.Â
Sudah banyak rakyat rasakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah namun tak berpihak pada kepentingan rakyat, tapi sangat berpihak pada kepentingan para pengusaha. Salah satunya proyek KCIC.Â
Ketiga, sanksi yang tidak membuat jera para koruptor. Betul KPK berhasil membongkar banyak kasus korupsi. Banyak pula koruptor yang akhirnya masuk bui. Tapi, rakyat pun tahu bahwa para koruptor itu masih bisa hidup nyaman di dalam bui asal ada dana. Belum lagi grasi potongan hukuman yang diberikan pada para koruptor, bahkan hak untuk kembali melenggang menjadi pejabat setelah keluar dari bui. Terakhir, salah seorang koruptor justru dimakamkan di taman makam pahlawan, bersanding dengan makam para pahlawan negeri.Â
Wajar jika kasus korupsi bukannya tambah sedikit malah semakin tinggi. Bukannya jera malah mendapat perlakuan istimewa.Â
Keempat, adanya tebang pilih dalam menangkap para koruptor. Ada banyak megaskandal yang belum terusut tuntas, dibiarkan begitu saja hingga menguap seiring berjalannya waktu. Diantaranya ada megaskandal Bank Century, KTP-el, dan BLBI yang hingga kini tidak bisa terusut tuntas. Lembaga Antikorupsi hanya bisa menangkap koruptor kelas teri, tak bisa naik level menangkap kelas kakap. Karena link kekuasaan yang lebih tinggi dan kepentingan yang lebih banyak.Â
Inilah wajah buruk hasil penerapan sistem sekularisme kapitalisme. Sistem yang menjauhkan manusia dari agama. Sistem yang berasaskan manfaat duniawi dan materi semata. Sistem ini menghasilkan kehidupan yang korup.Â
Islam Berantas Korupsi
Islam turun sebagai sistem kehidupan. Islam memiliki mekanisme untuk memberantas korupsi. Karena dalam Islam praktik korupsi merupakan aktivitas yang haram dilakukan. Maka, harus ada seperangkat metode untuk memberantas korupsi.Â
Pertama, penanaman akidah Islam pada setiap insan. Dengan adanya penanaman keimanan, manusia akan sadar bahwa setiap aktivitasnya akan dimintai pertanggungjawaban. Jika berbuat baik akan mendapat pahala, jika berbuat maksiat akan mendapat dosa dan siksa. Maka, lahirlah para pejabat yang takut melakukan maksiat, melakukan kezaliman pada umat.Â
Kedua, sistem politik Islam sangat sederhana dan tak mahal. Kepemimpinan dalam Islam bersifat tunggal. Lihatlah masa kepemimpinan Rasulullah saw dan para Khulafaur Rasyidin. Pengangkatan dan pencopotan pejabat menjadi wewenang pemimpin negara. Sebagaimana Rasul dulu mengangkat juga mencopot sahabat menjadi pejabat negara. Sehingga takkan ada transaksi antara pejabat dan pengusaha. Pejabat terbebas dari hutang budi dana yang diberikan pengusaha. Pengusaha pun tak bisa minta tanda jasa dengan kebijakan yang pro pada mereka.Â
Ketiga, Islam memberikan sanksi yang tegas bagi para koruptor. Sanksi ini akan memberikan efek pencegahan dan jera. Hukum sanksi bagi koruptor berbentuk takzir, yaitu sanksi yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ijtihad khalifah atau hakim. Bisa disita seperti yang dilakukan Khalifah Umar. Bisa juga dengan tasyhir (diekspose), dipenjara, hingga hukuman mati. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi kepada koruptor dengan hukuman cambuk dan ditahan dalam waktu yang sangat lama.
Keempat, Islam menetapkan harta yang diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan, dan sebagainya. Sekalipun diberinama hadiah, haram untuk diambil. Sebagaimana sabda Rasul, "Siapa yang kami pekerjakan atas satu pekerjaan dan kami tetapkan gajinya, apa yang diambil selain itu adalah ghulul." (HR Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah).Â
Audit dilakukan untuk mengontrol uang para pejabat. Jika ada kelebihan yang tidak wajar, pejabat tersebut wajib membuktikan perolehan hartanya secara legal. Jika tidak bisa dibuktikan, hartanya akan disita dan dimasukkan ke Baitul mal. Ini dilakukan untuk semua pejabat, baik kelas teri atau kakap.Â
Inilah seriusnya Islam dalam memberantas korupsi. Bukan hanya pencitraan tapi juga terbukti pernah diaplikasikan saat Islam menjadi sistem kehidupan.Â
Wallahua'lam bish shawab.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H