Saya mulai merasakan ingin menangis, dan teringat bila saya meninggal saya akan meninggalkan dua anak yang masih kecil dan seorang suami. Bibir saya mulai komat kamit membaca kalimat istighfar, kalimat "Laa ilaa ha illallah", sungguh rasanya saya sudah berada di ambang batas sadar dan tidak.
Begitu sampai di IGD, saya merasakan petugas mendorong tubuh saya ke brangkar. Sayup-sayup saya mendengar petugas berteriak2, mendorong saya ke ruang isolasi, dan saya langsung diperiksa 2 petugas medis berhazmat yang tidak saya tahu siapa. Saya merasakan jempol saya diperiksa saturasi oksigennya, dan tak lama saya dipasang oksigen dan diinfus.Â
Tak lama saya mulai merasakan diri saya mulai "hidup" lagi, dan akhirnya saya berhenti muntah. Suami saya kemudian izin untuk pulang sebentar untuk mengambil pakaian yang bersih di rumah. Perawat mulai mengambil darah untuk mengecek pemeriksaan lain yang diperlukan.
Sambil menunggu hasil lab, saya menatap ke langit-langit IGD, membayangkan betapa tadi adalah menit2 mengerikan dalam hidup saya. Tiba-tiba saya berpikir, siapkah kalau tadi pada akhirnya saya meninggal?Â
Bekal apa yang akan saya bawa? Sanggupkah saya mengingat Tuhan hingga detik akhir hidup saya? Lalu bagaimana dengan keluarga saya? Akankah saya dikenang sebagai ibu atau istri yang baik?
Sungguh saya jadi ingat kata seorang ustadz. Tuhan tidak butuh alasan untuk "mengambil kita". Bila sudah waktunya, kita akan meninggal, tak peduli di situasi apa. Dunia ini fana.
Pertanyaannya, siapkah kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H