Mohon tunggu...
Fatima Hutabarat
Fatima Hutabarat Mohon Tunggu... Guru - Mengajar di sebuah sekolah daerak DKI Jakarta Utara

Jangan takut bermimpi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku dan Cerita Hidupku

1 Juni 2023   10:03 Diperbarui: 1 Juni 2023   10:08 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku dan Cerita Hidupku

Aku adalah Nisa, seorang gadis yang lemah, aku terlahir dari keluarga yang sederhana. Ibuku bekerja setiap paginya sebagai penjual kue. Beliau sendiri harus menafkahi aku dan kedua adikku karena ayahku sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Aku anak pertama dari 3 bersaudara. 

Dengan semangat ibu bekerja, aku tamat dari Akademi Keperawatan. Sebelum aku tamat  kuliah, aku selalu bertekad untuk membantu ibu pergi merantau ke negri orang untuk mencari pekerjaan agar bisa meringankan bebannya, dan ibuku pada saat itu tidak mengizinkanku pergi, beliau merasa bahwa aku tidak bisa mandiri, beliau selalu bilang kalau di negri orang itu kehidupan keras, lebih keras dari ibu tiri. Tapi itu tidak menyurutkan semangatku untuk pergi. Setiap hari aku selalu meyakinkannya dan karena aku terus meminta akhirnya aku diizinkan oleh ibu.

"Percaya samaku Bu, aku pasti bisa membahagiakanmu!" kataku kepada ibu.

Ibuku hanya bisa menangis, memelukku dengan penuh kasih sayang, dalam hati penuh harap aku berkata, aku pasti akan menggantikan tangisnya dengan tawa kebahagiaan.

Sesampaiku di perantauan, aku langsung mencari tempatku untuk tinggal, dan tidak terlalu sulit bagiku untuk mencarinya karena kebetulan yang kutanya itu ada satu kamar yang kosong sehingga aku bisa langsung membereskan barang bawaanku. Merasa sangat bersyukur karena Tuhan memberi aku kemudahan. Aku mandi dan langsung beristirahat. Hari pertama di perantauan suasana dan cuaca sangat jauh berbeda, sehingga membuatku aneh, tapi dalam hati lama kelamaan pasti juga aku akan terbiasa.

Keeseokan harinya aku mempersiapkan lamaranku ke rumah sakit sebanyak-banyaknya. Setelah aku melamar di berbagai rumah sakit, aku sempat putus asa dan putus harapan karena selama sebulan tidak ada satu pun panggilan. Dan aku menyembunyikan semua ini dari ibu karena aku takut beliau mengkhawatirkanku. 

Di sela-sela penantianku,  aku terus mencoba untuk tetap semangat, menguatkan diri dengan berdoa, dan tetap melamar di rumah sakit yang lain. Dan puji Tuhan selama penantian satu bulan lebih akhirnya aku dipanggil di satu rumah sakit yang katanya terkenal di kota ini. Aku diterima dengan gaji yang cukup membuatku mengelus dada, dan pada saat itu juga aku langsung mengabari ibu di kampung.

"Ibu, aku sudah diterima bekerja di satu rumah sakit". Kataku dengan bahagia

Ibuku mendengarnya sangat senang dan berpesan "Ia nak, ibu sangat senang mendengarnya, bekerjalah dengan baik dan setulus hati!"

Kata-kata ibu membuatku terharu dan aku pasti akan melakukan pesan ibu, aku tidak akan mengecewakannya.

Hari pertama bekerja, aku merasa sangat lelah karena mungkin tidak terbiasa dengan jam kerja dengan waktu 8 jam dan juga harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan teman sekerja. Aku harus terbiasa merawat pasien selama itu. Tapi itu semua itu tidak menyurutkan semangatku karena ibu dan kedua adikku, karena aku sudah berjanji untuk membahagiakan mereka.

Setiap akhir bulan aku selalu mengirimkan uang kepada ibu untuk membantu sekolah adik-adikku dan biaya hidup di kampung. Aku selalu bilang sama ibu agar berhenti saja bekerja sebagai penjual kue, tapi ibuku ngotot tidak mau, beliau tetap bekerja setiap paginya menjajakan kue dari rumah ke rumah sebelum matahari menampakkan wajahnya dan sampai pulang ke peraduannya. Aku kehabisan akal untuk merayunya, dalam hati mungkin ibu sudah terlalu terbiasa dan terlalu nyaman dengan pekerjaan yang digelutinya sedari dulu.

Setelah 3 tahun lamanya aku bekerja, banyak pengalaman yang aku dapatkan, banyak pujian dan banyak juga omelan dari pasien yang terkadang membuatku tidak enak hati. Tapi apa dayaku, aku hanya bisa berdiam diri dan berusaha memperbaiki diri karena ini sudah menjadi profesiku. Aku akan terus berjuang untuk menjadi yang terbaik di mata ibuku, saudara-saudaraku, teristimewa di mata Tuhan. Bersyukur pada Tuhan yang tidak berhenti untuk memberiku ujian dan masalah sehingga membuatku belajar untuk selalu pasrah kepada-Nya.

Di tengah pekerjaanku, suatu hari ada seorang ibu yang sudah lima hari aku rawat, dia sudah terbiasa melihatku, kami pun mengenal satu sama lain.  Karena beliau sudah mengenalku dengan baik, mengetahui latar belakangku sehingga dia pun tidak ragu untuk mengenalkanku dengan seorang laki-laki.  

Dia berkata, "Suster, mau gak aku kenalkan sama saudaraku?"

Aku terdiam dan sempat ragu mau menjawab iya atau tidak.

Aku bilang,"Hmm..., boleh bu."

Beliau pun langsung minta nomor teleponku dan juga memberikan nomor laki-laki itu yang sama sekali aku belum tau wujudnya tapi aku mencoba untuk berpikir positif.

Selama dua minggu kurang lebih kami hanya berkenalan melalui telepon dan sosial media karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga tidak bisa menyempatkan waktu untuk bertemu muka dengan muka.

Pada hari Minggu sepulang ibadah, dia langsung menjemputku ke kos karena aku libur tidak ada shift, sehingga memudahkan kami untuk bertemu. Aku bersalaman dengannya sambil dia menyebut namanya Erri meskipun aku sudah tahu sebelumnya.. Pada pandangan pertama entah kenapa aku gak suka melihatnya. Tapi pada saat mengobrol untungnya masih bisa nyambung. Kami saling menceritakan kehidupan keluarga, pengalaman pribadi masing-masing, bagaimana di tempat kerja, dan banyak hal lain yang membuat kami sampai lupa waktu dan jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Kami pun beranjak pulang, dia langsung mengantarkanku ke kos dan dia pulang ke rumahnya

Keesokan malam, sepulang kerja dia mampir ke kosku, karena dia pengen ngobrol, bosan di rumah alasannya. Dan anehnya bukan hanya malam itu saja, malah dia terbiasa setiap malamnya mampir  di kosku setelah pulang dari tempat kerja meskipun itu sudah pukul 22.00, terkadang aku bohong bilang aku kerja padahal sebenarnya aku di kosan karena setiap bertemu pasti aku merasa jengkel dan tidak enak hati.

Setelah 3 bulan lebih kami pendekatan, saling mengenal satu sama lain, suatu malam dia menyatakan perasaannya,

"Nes, aku mau bilang sesuatu dan ini sudah lama aku pendam, dan selama aku memendamnya dadaku terasa sesak, setiap aku melihatmu ada rasa getaran yang aku tidak tahu dari mana asalnya dan perasaan ini sudah lama semenjak kita masih kenalan lewat telepon.  Aku sayang sama kamu, kamu mau gak jadi pacarku?"

 "Kasi aku waktu dua minggu untuk  bisa menjawabnya," kataku dengan santai.

 "Ia, aku sabar dan pasti menunggu," jawabnya.

Dia sama sekali gak marah, malah hanya bilang sabar dan selalu menunggu, dalam hati terbesit apakah dia mungkin tulus dan serius? Tapi aku tetap gak mau langsung kasih jawaban pada saat itu. Meskipun perhatian, kasih sayang, dan pengorbanan yang sudah ditunjukkannya kepadaku belum ada sedikit pun tumbuh rasa suka dan sayangku sama dia.

Aku mencoba untuk memikirkan apa jawaban utuk membalas perasaannya. Kalau aku menerima, sampai detik ini pun aku  belum menyukainya, tapi kalau aku menolak sama saja aku tidak menghargai semua perjuangannya. Dan pada akhirnya aku memutuskan untuk menerimanya sebagai pasangan kekasih dengan harapan semoga dengan sering bertemu, menghabiskan waktu bersama tumbuh rasa sayang dan cintaku sama dia.

Dua minggu berlalu, kami pun bertemu, pada saat itu, dia sempat bimbang dan takut mendengarkan jawabanku ketika aku bilang,

"Gak, gak, aku gak mau menolak."

Dan langsung spontan dia memelukku, dari wajahnya terpancar kebahagiaan yang menurut aku  itu tulus dan tidak dibuat-buat. Berbeda dengan laki-laki yang mendekatiku sebelumnya yang hanya memberi janji-janji palsu.

Dua minggu bersama sempat aku dan dia berantam karena selama pacaran aku terlalu cuek dan dia merasa tidak dianggap dan tidak diperhatikan. Aku mengakui semua itu, tapi apa dayaku aku sudah berusaha mencoba tapi aku belum bisa mencintainya dengan sepenuh hati. Ditambah lagi mantanku masih sering menanyakan kabar setiap hari yang sering membuatku susah untuk moveon karena selama aku pacaran dengannya aku terlalu mencintainya tapi apa yang aku dapatkan dia selingkuh dengan wanita lain sehingga membuat hubungan kami kandas. 

Walaupun tidak ada lagi hubungan tapi dia masih sering menghubungi aku dan anehnya aku lebih mencintainya daripada Erri. Betul kata orang bijak bahwa memang jarak tidak menentukan seseorang setia atau tidak namun yang dibutuhkan adalah rasa percaya dan rasa memiliki dengan pasangannya. Aku tidak pernah menceritakan ini kepada Erri yang seharusnya dia tau semuanya tapi pernah suatu kali dia tidak sengaja membuka Hpku dan membaca semua chattinganku dengan mantanku. Dia terdiam dan menangis, melihat itu aku merasa bersalah besar dan aku hanya bisa minta maaf. Tapi jawaban yang aku peroleh dia bilang,

"Gak apa-apa sayang, aku tau kok kamu belum bisa sepenuhnya mencintaiku tapi aku mohon tolong beri aku sedikit tempat di hatimu, karena aku tulus mencintaimu dan tidak main-main."

Aku kaget dan benar-benar terperanjat melihat sikapnya yang benar-benar membuatku ternganga. Dari masalah itu aku mulai belajar memberi hati, belajar untuk mencintainya, dan aku memutuskan kontak dengan mantanku karena aku tidak mau kejadian itu terulang kembali. Alhasil, sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama membuatku merasa nyaman dengannya sehingga tumbuh rasa sayang dan cintaku untuknya. Aku juga bisa merasakan bahwa dia semakin sayang dan semakin cinta bahkan terkadang perhatiannya berlebihan tapi dia mengatakan bahwa memang dia benar-benar tulus mencintaiku dan dia juga bilang kalau dia sama sekali tidak main-main.

Selama satu tahun kami menjalin hubungan, kami pun  berencana untuk membawa hubungan kami ke jenjang pernikahan. Sebelum kami resmi menikah kami berkomitmen kelak setelah menikah akan bergereja di gerejaku karena gereja kami tidak sama tapi pemberkatan nikah akan dilangsungkan di gerejanya.

Aku dan dia sama-sama setuju dan berjanji akan memberitahu orang tua masing-masing. Segala sesuatu kami persiapkan dengan baik agar semua berjalan dengan lancar dan semua harapan dan angan-angan dipermudah oleh Tuhan. Kami resmi menikah pada tanggal 01 Mei 2015 aku sangat terharu bahagia di hari pernikahanku, aku bisa melewati masa lajangku dengan penuh kebahagiaan. Begitu juga dengan ibu yang menangis bahagia melihat hari bahagiaku itu.

 Selama setahun kami membina rumah tangga, kami dikaruniai seorang putri, bahagiaku lengkap dengan kehadirannya. Aku merasakan bahagia yang tidak bisa aku gambarkan. Aku tau bahwa setiap ada suka pasti juga ada duka yakni ketika mertuaku mengetahui bahwa kami  tidak ibadah di gereja orang tuanya sehingga membuat ibunya berontak, marah sejadi-jadinya kalau aku itu tidak punya hati, bilang suamiku laki-laki yang takut istri, laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Untuk pertama kalinya aku merasa gagal, merasa bahwa berkeluarga itu tidak semudah yang aku bayangkan.

 Dalam sepi aku termangu seakan tidak punya tujuan, seakan tidak ada tempatku untuk berteduh, tempatku  untuk berbagi keluh kesah, tempatku untuk melampiaskan segala yang pahit di dalam hati. Sering aku bertanya kepada yang Mahakuasa mengapa harus aku yang menjalani semua ini, mengapa bukan orang lain, mengapa setiap aku melihat teman sebayaku yang juga sudah lebih duluan menikah dariku kelihatannya bahagia menjalani kehidupannya, sepertinya tidak ada yang kurang. Dan di setiap saat aku bertanya dan mengeluh hatiku sesak, menangis sejadi-jadinya.

Tapi tidak pernah sekalipun jawaban yang pasti membuat aku bisa bertahan, yang bisa membuat aku kuat dalam menjalani proses hidupku. Yang membuat aku semakin sedih mengapa aku menjadi kambing hitam atas masalah ini seakan-akan belum ada pembicaraan sebelumnya, seakan-akan tidak ada komitmen, seakan-akan tiak ada pemberitahuan kepada orang tua masing-masing kalau setelah menikah akan beribadah di gerejaku. Aku merasa bodoh dan terperangah dengan masalah ini, untungnya ada ibuku yang selalu menguatkanku untuk tetap mendoakan suamiku dan selalu sabar untuk melalui semuanya.

Akhirnya, aku harus mengikuti suami dan mertuaku, tidak ada lagi yang dapat aku lakukan, selain mendoakan yang terbaik agar rumah tangga kami menjadi utuh sedia kala kami pertama membangunnya. Meskipun rasanya berat, namun aku harus menahan dan merasakan kepahitan, mau tidak mau aku harus menghormati suamiku yang telah aku pilih menjadi penolong dan pendamping hidupku untuk selamanya. Tidak ada kata menyesal saat masalah itu datang karena aku harus tetap melanjutkan hidupku.

Sampai detik ini ibuku yang selalu menjadi motivator bagiku, meski hidupku bagaikan badai dan gelombang yang tidak tahu arah. Namun, seperti biasa kata-kata emasnya selalu tergiang di otakku bahwa semua hal ada hikmah dari setiap masalah yang aku hadapi. Segala niat, harapan untuk keluargaku semua kuserahkan kepada sang Pemilik Hidupku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun