"Gak apa-apa sayang, aku tau kok kamu belum bisa sepenuhnya mencintaiku tapi aku mohon tolong beri aku sedikit tempat di hatimu, karena aku tulus mencintaimu dan tidak main-main."
Aku kaget dan benar-benar terperanjat melihat sikapnya yang benar-benar membuatku ternganga. Dari masalah itu aku mulai belajar memberi hati, belajar untuk mencintainya, dan aku memutuskan kontak dengan mantanku karena aku tidak mau kejadian itu terulang kembali. Alhasil, sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama membuatku merasa nyaman dengannya sehingga tumbuh rasa sayang dan cintaku untuknya. Aku juga bisa merasakan bahwa dia semakin sayang dan semakin cinta bahkan terkadang perhatiannya berlebihan tapi dia mengatakan bahwa memang dia benar-benar tulus mencintaiku dan dia juga bilang kalau dia sama sekali tidak main-main.
Selama satu tahun kami menjalin hubungan, kami pun  berencana untuk membawa hubungan kami ke jenjang pernikahan. Sebelum kami resmi menikah kami berkomitmen kelak setelah menikah akan bergereja di gerejaku karena gereja kami tidak sama tapi pemberkatan nikah akan dilangsungkan di gerejanya.
Aku dan dia sama-sama setuju dan berjanji akan memberitahu orang tua masing-masing. Segala sesuatu kami persiapkan dengan baik agar semua berjalan dengan lancar dan semua harapan dan angan-angan dipermudah oleh Tuhan. Kami resmi menikah pada tanggal 01 Mei 2015 aku sangat terharu bahagia di hari pernikahanku, aku bisa melewati masa lajangku dengan penuh kebahagiaan. Begitu juga dengan ibu yang menangis bahagia melihat hari bahagiaku itu.
 Selama setahun kami membina rumah tangga, kami dikaruniai seorang putri, bahagiaku lengkap dengan kehadirannya. Aku merasakan bahagia yang tidak bisa aku gambarkan. Aku tau bahwa setiap ada suka pasti juga ada duka yakni ketika mertuaku mengetahui bahwa kami  tidak ibadah di gereja orang tuanya sehingga membuat ibunya berontak, marah sejadi-jadinya kalau aku itu tidak punya hati, bilang suamiku laki-laki yang takut istri, laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Untuk pertama kalinya aku merasa gagal, merasa bahwa berkeluarga itu tidak semudah yang aku bayangkan.
 Dalam sepi aku termangu seakan tidak punya tujuan, seakan tidak ada tempatku untuk berteduh, tempatku  untuk berbagi keluh kesah, tempatku untuk melampiaskan segala yang pahit di dalam hati. Sering aku bertanya kepada yang Mahakuasa mengapa harus aku yang menjalani semua ini, mengapa bukan orang lain, mengapa setiap aku melihat teman sebayaku yang juga sudah lebih duluan menikah dariku kelihatannya bahagia menjalani kehidupannya, sepertinya tidak ada yang kurang. Dan di setiap saat aku bertanya dan mengeluh hatiku sesak, menangis sejadi-jadinya.
Tapi tidak pernah sekalipun jawaban yang pasti membuat aku bisa bertahan, yang bisa membuat aku kuat dalam menjalani proses hidupku. Yang membuat aku semakin sedih mengapa aku menjadi kambing hitam atas masalah ini seakan-akan belum ada pembicaraan sebelumnya, seakan-akan tidak ada komitmen, seakan-akan tiak ada pemberitahuan kepada orang tua masing-masing kalau setelah menikah akan beribadah di gerejaku. Aku merasa bodoh dan terperangah dengan masalah ini, untungnya ada ibuku yang selalu menguatkanku untuk tetap mendoakan suamiku dan selalu sabar untuk melalui semuanya.
Akhirnya, aku harus mengikuti suami dan mertuaku, tidak ada lagi yang dapat aku lakukan, selain mendoakan yang terbaik agar rumah tangga kami menjadi utuh sedia kala kami pertama membangunnya. Meskipun rasanya berat, namun aku harus menahan dan merasakan kepahitan, mau tidak mau aku harus menghormati suamiku yang telah aku pilih menjadi penolong dan pendamping hidupku untuk selamanya. Tidak ada kata menyesal saat masalah itu datang karena aku harus tetap melanjutkan hidupku.
Sampai detik ini ibuku yang selalu menjadi motivator bagiku, meski hidupku bagaikan badai dan gelombang yang tidak tahu arah. Namun, seperti biasa kata-kata emasnya selalu tergiang di otakku bahwa semua hal ada hikmah dari setiap masalah yang aku hadapi. Segala niat, harapan untuk keluargaku semua kuserahkan kepada sang Pemilik Hidupku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H