Mohon tunggu...
Fatima Hutabarat
Fatima Hutabarat Mohon Tunggu... Guru - Mengajar di sebuah sekolah daerak DKI Jakarta Utara

Jangan takut bermimpi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dilema

31 Mei 2023   12:49 Diperbarui: 31 Mei 2023   13:33 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dilema

Kring … kring … kring

Nada handphoneku kembali berbunyi.

Dengan terpaksa aku pun mengangkatnya.

 “Mungkin aku yang terlalu sayang atau apakah gaya pacaranmu selalu seperti ini?      Celetuknya dengan nada marah. 

“Hah maksud kamu apa sih, kamu maunya apa?” balasku dengan acuh tak acuh.

“Kamu maunya hubungan kita ini tujuannya kemana?” jawabnya dengan nada             memelas.”

“Aku maunya … kita … sampai disini saja.” Kataku dengan terbata-bata.

“Oh jadi kamu sudah punya yang lain di sana?”

Tut-tut-tut

Aku langsung mematikan handphone karena tidak sabar menghadapinya lagi. Entah untuk ke berapa perdebatan itu terjadi mungkin seperti mengonsumsi obat tiga kali dalam sehari.

Sesungguhnya batinku bertentangan setelah bertemu batang hidungnya. Sebelum Sang Pemilik Hidup mempertemukanku dengannya ada jutaan rasa rindu yang tidak bisa kubendung lewat kata-kata dan setelah dipertemukan ada perbedaan yang aku sendiri pun tidak memahaminya rasanya seperti tidak bisa berdamai dengan batin dan pikiranku. Aku bahkan selalu berpikir apakah ini sebuah rencana dari Sang Pemilik Hidup yang seyogianya aku selalu berdoa dipertemukan dengan seseorang yang seiman, seseorang yang lebih mencintai penciptanya daripada aku?

Aku tidak bisa menjawab semua pertanyaan yang selalu saja datang mengganggu pikiranku. Aku dilema antara mau melanjutkan atau mengakhiri!

Kalau aku melanjutkan hubungan ini, sampai detik ini pun aku belum bisa berdamai dengannya, jangankan dengannya bahkan batinku saja pun selalu bergejolak. Apakah hubungan ini pantas untuk dipertahankan atau kalau hubungan ini diakhiri aku harus melakukan apa?

Perkenalanku dengannya cukup rumit dan penuh liku. Aku mengenalnya lewat sosial media yang seyogianya aku pernah berjanji tidak mau mengenal laki-laki dari sosil media, tapi benar kata orang-orang kalau kita semakin bilang ‘gak mau’ pasti hal yang tidak kita mau jadi kenyataan istilah lain termakan omongan sendiri.

Kami berkenalan tepat pada tahun 2014 dia mengirimkan aku pesan lewat media sosial,

“Hai, boleh kenalan gak?”

 “Hai juga, boleh”.

 “Kamu tinggal di mana?”

Setelah chat beberapa bulan di media sosial komunikasi  berlanjut sampai-sampai dia sering menghubungiku lewat telepon. Pada saat berkomunikasi dengannya aku merasa nyaman, merasa dihargai, merasa diperhatikan, dan menurutku semua hal yang baik bisa kutemukan dalam dirinya.

Setelah setahun menjalin komunikasi, dia pun berjanji untuk menemuiku, maklum ribuan kilometer memisahkan. Aku sangat senang mendenganya,  bahkan aku tidak sabar ingin langsung bertemu dengannya. Aku merasa seperti wanita yang spesial, aku bahkan tidak sabar menantikan hari yang spesial itu. Namun baru saja merasa diperlakukan spesial selang beberapa hari tanpa sengaja aku melihatnya memosting foto perempuan. Aku langsung berspekulasi bahwa dia pasti memiliki hubungan dengan perempuan itu.

Waktu itu, aku merasa tidak percaya dan tidak terima, aku merasa diduakan, aku merasa ini tidak adil padahal pada saat itu juga aku belum pernah melihat batang hidungnya dan anehnya dia juga belum pernah mengatakan bahwa dia memiliki rasa yang lebih.  Emang perempuan penyakitnya seperti itu diberikan perhatian lebih oleh lawan jenis langsung memberikan hati sepenuhnya.

Komunikasi dan perhatian yang lebih dari seorang teman laki-laki belum bisa menjadi bukti bahwa dia benar-benar suka sama kita, itulah yang aku pikirkan saat itu. Aku juga berpikir mungkin aku yang terlalu percaya, terlalu berharap, atau aku yang terlalu berlebihan.

Mulai kejadian itu aku menghapus semua pertemananku di akun sosial media, aku berjanji kepada diriki sendiri tidak mau menjalin komunikasi dengannya, aku gak mau berurusan lagi dengannya, aku gak mau angkat teleponnya, tanpa aku memberikan waktu baginya untuk menjelaskan sesuatu, karena ku pikir tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Rasa-rasanya komunikasi yang telah terjalin setahun lebih tidak ada manfaatnya, aku seperti membuang waktuku untuk bercerita tentang hari-hari yang aku lalui, dan setahun lebih itu juga aku merasa sudah nyaman walau aku belum melihat wajahnya. Aku bahkan tidak tahu mengapa rasa itu ada apakah wajar menyukai seseorang yang belum dikenal batang hidungnya? Tapi rasa nyaman itu mengalahkan semuanya walau belum bertemu aku menyukainya meski sebatas mendengar suara dan melihat fotonya.

Setelah pengalaman berharga ini, aku belajar untuk berdamai dengan diriku sendiri, menata diri, aku mendekatkan diri kepada sutradaku karena aku tahu hanyalah sebagi aktor biasa. Aku menenangkan hatiku bahwa semua yang telah terjadi membuatku belajar untuk tidak terlalu mudah percaya dengan orang yang belum kita tahu wujudnya, aku juga menyadari bahwa orang yang kita kenal sekalipun belum tentu bisa menjadi orang yang dapat kita percaya. Aku menyudahi komunikasi dengannya dan berjanji tidak mau tau lagi dan berjanji tidak mau percaya lagi dengan laki-laki lewat sosial media.  

Setahun tidak ada lagi komunikasi, gak tahu apa yang membuat hatinya tergerak menghubungiku kembali, aku mengangkat telepon karena kebetulan nomornya baru aku berpikir kali aja ada yang penting dan ternyata dia yang dulu membuat aku sakit hati kembali menanyakan kabarku.

“Kamu apa kabar?”

“Ini siapa?” kataku

“Ini aku yang pernah komunikasi denganmu selama satu tahun lebih, kamu udah lupa yah, kamu hapus aku kan dari BBM?”

“Hah, maksudnya? Aku gak tahu kamu siapa, udah yah kalau gak mau ngasitau aku tutup telponnya.”

“Loh kok gitu? Kamu serius udah lupa samaku, aku yang salah kok, aku minta maaf yah udah membuat kamu sakit hati, itu foto yang kamu lihat di BBM, itu temanku, aku ga ada hubungan apa-apa kok sama dia, aku boleh gak komunikasi lagi sama kamu?

“Ooh, gak..aku ngapain marah, aku gak punya hak untuk marah, mungkin aku yang bodoh terlalu berharap sama orang yang tidak mengharapkanku.” Kataku pada saat itu.

Mungkin rasa suka masih membekas di hatiku, aku tetap saja membangun kembali komunikasi dengannya walau aku sudah pernah berjanji tidak mau mengulang kesalahan yang sama, tapi kenapa begitu gampang menerima maaf darinya aku tidak mengerti mau hatiku yang sebenarnya. Apakah ini hanya untuk mengisi kekosongan hatiku atau hanya untuk status ataukah hanya sebagai penghibur entahlah sulit aku merumuskannya. Aku sendiri tidak bisa mendefinisikan maksud dan maunya hatiku apa.    

Setelah kembali komunikasi tepat genap enam bulan, dia berjanji akan datang menemuiku, dan aku pada saat itu tidak mau ambil pusing “Yah, kalau mau datang silakan saja, tidak ada yang melarang,” batinku saat itu.

Dia menepati janjinya, dia datang tepat pada tanggal 27 September 2016, aku gak tau apakah ini hanya menebus kesalahan atau apakah dia benar-benar menyukaiku? entahlah hanya dia dan Tuhan yang tau.

Lima hari merupakan waktu yang sangat singkat mengingat ribuan kilometer jarak memisahkan, tapi bersyukur kepada Sang Pemilik Hidup yang memberikan kesempatan bagi kami untuk bertemu aku rasa ini bukan hanya kebetulan aku meyakini ini bagian dari rencana Tuhan. Yah dilema masih tetap kata itu yang ada dipikiranku, aku belum bisa menyimpulkan bahwa dialah seseorang yang akan menghabiskan seluruh waktuku bersama selamanya. Aku bersyukur selama lima hari bisa mengenal dan tahu sedikit tentang kepribadiannya.

Jarak kembali memisahkan, dan ya kembali ke dunia nyata, LDR membuat aku paham makanya kata RINDU tercipta. Aku tidak begitu ingat kapan kami meresmikan hubungan yang layaknya disebut pacaran. Yang aku tahu kami sering berselisih paham dimulai masalah sepele sampai hal-hal yang tidak seharusnya dipermasalahkan, lucu memang. Tapi aku tahu itu karena rindu dan yang menjadi solusi satu-satunya bertemu. Karena ego masing-masing, maka tiada hari aku dan dia sering saling menyalahkan satu sama lain. Masing-masing pada pendiriannya tidak ada yang mau mengalah. Dan sering dia marah dan bertanya gaya pacaranku yang tidak dia sukai, karena menurutku dia terlalu posesif dan selalu bertanya setiap saat aku bosan dan malas. Sering dengan nada ketus aku mengatakan, “Kamu harus percaya dan yakin samaku.” Tapi yang ada dia akan marah dan marah sepanjang hari. Selang beberapa lama, akulah yang tidak bisa bertahan bukan karena tidak mau melanjutkan, kalau kata orang bijak insting wanita tidak pernah salah ada saja cara Tuhan untuk tahu bahwa dia menjalin hubungan  dengan wanita lain.

 Aku yang selama ini percaya sepenuhnya dengannya harus kembali menerima kenyataan pahit yang pernah aku alami sebelumnya. Ya, aku tahu dia melakukan ini karena aku tidak bisa menjadi wanita seperti yang dia mau. Dan kembali gagal lagi yang terkadang aku bertanya sama Tuhan, “Tuhan apa aku pantas dicintai oleh laki-laki dengan sepenuh hati?”

Konon, manusia diberikan kesempatan untuk bertemu dan mengenal satu sama lain pasti mempunyai alasan tertentu. Aku paham aku tidak bisa mengubah seseorang seperti yang aku mau, yang bisa kulakukan harus menerima kelebihan dan kekurangan orang lain tapi untuk laki-laki yang mengulang kesalahan yang sama tidak akan pernah kubiarkan hati ini terluka untuk kedua kalinya walau sudah terbiasa terluka.

 Hubungan yang terjalin selama satu setengah tahun kandas dan pastinya akulah yang mengakhiri dan dia tidak mau menerima dan bersikeras akan berubah menjadi lebih baik. Tapi kembali aku mengingat kenangan yang dulu dan ya kesalahan yang sama juga terjadi aku memutuskan untuk menutup hati untuk laki-laki yang tidak menghargai perasaan wanita yang tulus.

Pada akhirnya aku menyadari Tuhan mempertemukan dan memberi kesempatan untuk mengenal seseorang adakalanya untuk dijadikan sebagai pengalaman hidup agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Intinya, jangan pernah memberikan seluruh hati, perasaan dan kepercayaan kepada seseorang yang belum pasti dia melakukan hal yang sama kepada kita. Maka, mencintailah dengan sewajarnya tidak usah berlebihan. Yah, untuk saat ini aku sudah berdamai dengan batinku, hati, dan pikiranku yang pasti aku harus melanjutkan hidupku dan mencoba menjadi wanita yang bijaksana dalam memilih yang pantas dijadikan sebagai pendamping hidupku kelak dan aku tahu bahwa wanita yang baik akan dipertemukan dengan laki-laki yang baik.

IDENTITAS PENULIS

Nama lengkap : Fatima Hutabarat

ID Instagram   : ima_htbarat

Nomor WA      : 081284418861

Email               : imabarat8@gmail.com

Alamat            : Jalan Mahoni No 17, Pulomas, Kayu Putih, Pulo Gadung, Jakarta Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun