Sultan Muhammad Hasanuddin juga didesak oleh Belanda untuk menyerahkan Sultan khair  kepada Belanda dalam tempo 10 hari. Jika ia tidak diserahkan, maka keluarga atau keturunan Sultan khair akan ditawan.
Tekanan dari Belanda berhasil membuat Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian perdamian Bogaya tersebut pada 18 November 1667, namun perjanjian tersebut berdampak buruk bagi kedudukan bangsawan Gowa makassar karna mengalami kemerosotan dari segi ekonomi, sosial dan politik. sementara sultan Khair menolak untuk tunduk pada traktat yang dinilai tunduk pada menguntungkan pemerintahan colonial itu.
Dalam situasi demikian, Sultan Khair pada April 1668 berlayar ke mandar, Sulawesi Selatan. Ia hendak menjalin kerja sama dengan  Raja Balanipa. Sultan Bima dengan Bontomarannu terus menggalang kerja sama guna melawan kolonial Belanda.
Namun perjalanan Sultan Khair tidak berjalan mulus, di sebabkan sikap kakanya yang bertentangan denganya pada saat ditunjuk sebagai pejabat sultan saat sultan khair tidak berada di bima, Saudaranya justru menerima setiap perjanjian yang diajukan oleh Belanda.
Kekecewaan Sultan khair dan Bontomarannu terhadap Rahim di tunjukan dalam Tindakan yang sangat terpaksa, dengan menyerang Desa Bonto kape, Muku, dan Sonco, yang mayoritas penduduknya keturunan Bugis Bone yang mendiami pesisir barat ujung Selatan teluk Bima.
Hilir menjelaskan, setelah bertahun-tahun menghadang dan menyerang kapal-kapal Belanda yang masuk ke perairan Flores, Sultan Khair bergabung dan Bontomarannu bergabung dengan pasukan Pangeran Trunojoyo Madura untuk melawan Raja Mataram Amsngkurat II yang menjalin Kerjasama dengan Belanda.
Kemudian setelah Sultan Khair pulang dari Jawa Barat untuk membantu Sultan Ageng Tritayasa Banten dalam melawan Belanda. Pada 8 Desember 1669 Kerajaan Bima baru menyerah pada Belanda dengan suatu perjanjian yang ditandatangani di Batavia oleh Jeneli Monta, Abdul Wahid dan Jeneli Parado La Ibu atas bana sultan Bima.
Sultan khair adalah putra sultan Abdul kahir I dengan permaisurinya Daeng Sikontu, adik permaisuri Sultan Alauddin Makassar. Ia lahir di lingkungan istana Makassar pada April 1627. Setelah beranjak dewasa, dia diberi nama Abdul Khair Sirajuddin.
Sultan Abdul Khair Sirajuddin adalah Sultan yang tetap menjaga darah Makassar dalam kesultanan Bima. Pada 3 september 1646, ia menikah dengan putri Sultan Taloko Maliki Said (Sultan Makassar II), Karaeng Bonto Jep'ne. Dari pernikahan tersebut, keduanya di karuniai tiga orang putra dan tiga orang putri, yaitu Nuruddin, Mambora Awa Taloko, Jeneli Sape Mambora di mayo, Paduka Tallo, Paduka Dompu, dan Bonto Paja.