Serta terdapat 99 butir telur yang di bungkus membentuk bunga, yang melambangkan 99 nama Allah Swt atau Asmaul husna, karna mayorita masyarakat bima adalah umat muslim sehingga kebudayaanya sangat kental dengan ajaran agama.
Namun ada perbedaan dari kemiripan dua adat ini. yaitu di bima, malam peta kapanca akan bersamaan dengan rangkaian acara Malam kalondo we'i, yang di mana mempelai Wanita akan di iring melewati atau mengelilingi kampung dengan cara di gotong oleh keluarganya bak seperti ratu, biasanya rangkain ini lebih dulu di lakukan setelah ini baru peta kapanca.
Namun sekarang kita akan mengulik alasan mengapa baju adat dan beberapa budaya kedua suku ini memiliki kemiripan yang sangat mencolok.
Jika kita membahas mengenai kemiripan baju adat dan upacara ini maka kita akan membahas mengenai Sejarah kedua Kerajaan  yang berada di Bima dan Makassar, karna alasanya ada di sana. Pembahasan ini mungkin akan sedikit membosankan bagi sebagian orang. Namun, anda tidak akan mengetahui bosan atau tidaknya jika tidak mencoba membaca.
Dikutip dari ntbnews.com, secara garis besar hubungan kedua Kesultanan ini dimulai pada 13 September 1646, Sultan Bima Abil Khair Sirajuddin menikahi saudara Sultan  Hasanuddin yang bernama Karaeng Bonto Je'ne. Sejak itu, Bima dan Makassar diikat oleh persamaan politik, agama, dan darah.
Pada tahun 1660, tepatnya 8 juni 1660 saat perang berkecambuk antara Kerajaan Makassar dan Kerajaan Bima dengan Belanda di benteng somba opu, yang tempatnya berada di ibu kota Makassar kala itu, perang ini menandai babak kerja sama antara dua negara pra-kemerdekaan Indonesia melawan kolonisme Belanda.
Singkatnya, hubungan antara Kerajaan Bima dengan Belanda pada masa kepemimpinan Sultan Abdul khair memanas disebabkan pasal-pasal khusus untuk bima yang termuat dalam perjanjian Bongaya. Dalam perjanjian tersebut beberapa pasalnya menyatakan bahwa, makassar di larang untuk membantu Bima secara langsung maupun tidak langsung.