Mohon tunggu...
Fatih Viorel Margian
Fatih Viorel Margian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

International Relations Student

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Implementasi Basel Convention yang Tercermin pada Kebijakan China dalam Mengurangi Aliran Limbah Elektronik Ilegal

29 November 2024   15:06 Diperbarui: 29 November 2024   16:00 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peningkatan Limbah Elektronik dan Basel Convention

Seiring kemajuan teknologi, limbah elektronik telah menjadi salah satu ancaman lingkungan terbesar. Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 70% limbah elektronik dunia berakhir di China. Kota Guiyu di Provinsi Guangdong menjadi lokasi utama pembuangan limbah elektronik dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang.

Konvensi Basel, yang mulai berlaku pada 1992, bertujuan mengendalikan perpindahan limbah berbahaya antarnegara untuk mencegah pencemaran lingkungan dan melindungi kesehatan manusia. Dengan 190 negara anggota, konvensi ini menjadi salah satu instrumen penting dalam kerangka kerja internasional di bawah naungan United Nations Environment Programme (UNEP).

Kondisi di Guiyu menunjukkan dampak nyata dari pengelolaan limbah yang buruk. Jalanan dipenuhi tumpukan perangkat elektronik, sementara buruh menggunakan metode tradisional seperti membakar kabel dan mencuci logam, yang menyebabkan kontaminasi tanah dan air. Polusi ini berdampak langsung pada kesehatan masyarakat, terutama anak-anak yang menderita gangguan pernapasan akibat paparan logam berat.

Penerapan konvensi ini di lapangan pada era modern ini masih menghadapi banyak tantangan. Salah satu contohnya adalah aliran limbah elektronik ilegal dari negara lain seperti yang dialami China. Limbah ini sering kali diangkut secara ilegal meskipun ada larangan yang ditetapkan oleh konvensi.

Kebijakan Responsif: Operation Green Fence dan National Sword

Untuk menghadapi masalah ini, pemerintah China mengadopsi dua kebijakan utama: Operation Green Fence (2013) dan National Sword (2018).

  • Operation Green Fence bertujuan memperketat pemeriksaan impor limbah untuk mengurangi sampah plastik dan limbah lainnya yang masuk ke China. Dalam empat bulan pertama penerapannya, impor limbah plastik turun sebesar 5,5%
  • National Sword melarang impor 24 kategori limbah padat, kemudian diperluas menjadi 32 kategori, termasuk plastik, logam, dan perangkat elektronik. Kebijakan ini berhasil memangkas impor limbah dari 600.000 ton per bulan pada 2016 menjadi hanya 30.000 ton per bulan pada 2018.

Langkah Kebijakan China

Pemerintah China telah merespons permasalahan limbah elektronik dengan mengimplementasikan kerangka ekonomi nasional yang mengintegrasikan kebijakan ekonomi, lingkungan, dan sosial guna mencapai efisiensi sumber daya. Undang-undang Peningkatan Ekonomi Sirkular (Circular Economy Promotion Law/CEPL) mulai diberlakukan di China. Tidak seperti kebijakan serupa di negara lain, kebijakan ini berfokus pada pendekatan ekonomi, bukan lingkungan, dan berada di bawah pengelolaan Komisi Pengembangan dan Reformasi Nasional (National Development and Reform Commission/NDRC), bukan di bawah Lembaga Pengendalian Lingkungan Negara (State Environmental Protection Administration/SEPA). Undang-undang ini mempertimbangkan dampak ekonomi dan lingkungan dari seluruh siklus produk, mulai dari penggunaan bahan baku dalam proses produksi, distribusi, konsumsi produk, hingga potensi penggunaan kembali, daur ulang, dan pembuangan limbah.

CEPL juga mengadopsi konsep Perluasan Tanggung Jawab Produser (Extended Producer Responsibility/EPR) untuk mengurangi dampak lingkungan akibat penggunaan dan pembuangan limbah elektronik. Meski demikian, seperti yang terlihat dari pengalaman negara-negara Uni Eropa, diperlukan studi lebih lanjut terkait konsep ini, yang melibatkan tanggung jawab produsen, konsumen, dan pemerintah. CEPL merupakan hasil dari proses panjang pemerintah yang mengganti pendekatan pengendalian pencemaran di akhir siklus produk dengan pengelolaan menyeluruh sepanjang siklus hidup produk.

Berdasarkan isi kebijakan (Content of Policy), implementasi Konvensi Internasional Basel dalam menangani impor sampah di China bertujuan untuk memastikan keamanan dan kualitas lingkungan hidup dengan menghentikan impor sampah dari negara-negara eksportir. Tujuan ini diwujudkan melalui kebijakan Operasi Pagar Hijau (Green Fence) dan Kebijakan National Sword. Kedua kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor utama, yaitu:

  • Peningkatan jumlah produksi sampah plastik akibat meningkatnya daya beli masyarakat.
  • Ketidakmampuan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) mengolah sampah karena fokus pengelolaan hanya pada sampah impor.
  • Meningkatnya biaya kesehatan yang ditanggung pemerintah.
  • Tingginya tingkat polusi air, udara, dan tanah di China.

Untuk menilai dampak positif implementasi Konvensi Basel di China, dapat dilihat dari keberhasilan kebijakan Operasi Pagar Hijau dan Kebijakan National Sword dalam menurunkan angka impor sampah. Pada 2013, Operasi Pagar Hijau berhasil mengurangi impor sampah plastik sebesar 5,5% dalam empat bulan pertama pelaksanaannya. Setelah Kebijakan National Sword diberlakukan, impor sampah ke China turun dari lebih dari 600.000 ton per bulan pada 2016 menjadi 30.000 ton per bulan pada awal 2018, dan stabil sejak saat itu. Meski demikian, pada 2018, China masih mengimpor sampah dari Indonesia sebesar 7.000 ton per bulan, Malaysia 6.000 ton, Amerika Serikat 5.500 ton, dan Jepang 4.000 ton per bulan.

Penurunan signifikan impor sampah ini telah memberikan dampak positif terhadap kualitas lingkungan di China. Menurut laporan Statista.com (2019), sekitar 25,7% dari total hari di tahun 2018 untuk 338 kota di China dilaporkan memiliki kualitas udara yang sangat baik.

Kesimpulan

Implementasi Konvensi Basel di China menunjukkan hasil yang menjanjikan tetapi belum optimal, namun China dapat menjadi contoh bagaimana sebuah negara dapat mengambil langkah strategis dalam mengelola tantangan lingkungan global melalui kebijakan domestik yang tegas. Namun, keberhasilan jangka panjang memerlukan kolaborasi internasional yang lebih erat, terutama untuk menekan aliran limbah ilegal dan memperkuat komitmen negara-negara maju terhadap Basel Convention. Upaya China menunjukkan bahwa kebijakan lingkungan yang efektif tidak hanya melindungi ekosistem, tetapi juga menciptakan landasan bagi pembangunan yang lebih berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun