Mohon tunggu...
Fatiha Nadia Salsabila
Fatiha Nadia Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Statistika Universitas Airlangga, Fakultas Sains dan Teknologi

Saya adalah seorang mahasiswa Statistika yang tertarik dengan jurnalistik sejak SMP. Sekarang saya bergabung dengan Airlangga Safe Space sebagai content writer dan aktif menulis konten Instagram serta website.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Digital Civility: Sebuah Pembelajaran dari Netizen +62

14 Juni 2022   01:29 Diperbarui: 14 Juni 2022   01:47 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada perhelatan SEA GAMES 2022 pertengahan Mei lalu, Timnas sepakbola Indonesia berhasil meraih medali perunggu setelah mengalahkan Malaysia lewat adu penalti (Tribunnews.com, 2022). Kemenangan tersebut dianggap sebagai angin segar setelah kekalahan menyakitkan dari Thailand di babak semifinal. 

Bukan karena kalah telak, tetapi karena pada laga tersebut terjadi keributan akibat tindakan Firza Andika yang melakukan professional foul kepada pemain Thailand dan berakhir dengan ganjaran kartu merah oleh wasit. 

Hal tersebut memicu pertengkaran antara kedua tim hingga wasit memberikan dua kartu merah lainnya kepada Rachmat Irianto dan Ricky Kambuaya (CNNIndonesia.com, 2022). Kejadian tersebut menyulut kemarahan netizen Indonesia, hingga menyebabkan hilangnya kedua akun Instagram pemain

 bek Timnas Thailand yang dinilai memprovokasi pertengkaran, Jonathan Khemdee. Hal yang sama juga terjadi pada wasit yang memimpin laga yaitu Yahya Ali Al-Mulla karena dianggap kurang fair selama laga berlangsung, termasuk perihal keputusan tiga kartu merah untuk Timnas Indonesia tersebut (Suara.com, 2022).

Kejadian seperti ini bukan yang pertama kali terjadi. Setahun yang lalu, tim bulutangkis Indonesia dipaksa withdraw dari kejuaraan bulutangkis All England 2021 karena salah satu penumpang di penerbangan yang sama dengan tim Indonesia terkonfirmasi positif COVID-19. Meskipun hal yang sama juga terjadi pada tim dari Denmark, India, dan Thailand, 

tetapi hanya Indonesia yang dipaksa mundur walaupun telah melakukan tes ulang setibanya di hotel. Melihat ketidakadilan tersebut, netizen Indonesia lalu menyerang akun federasi bulutangkis internasional, BWF, 

di Instagram dengan meninggalkan komentar kemarahan dan memunculkan hashtag #BWFMustBeResponsible pada trending topic di Twitter (Kumparan.com, 2021). Akan tetapi, tidak hanya netizen Indonesia yang menyerbu akun BWF terkait All England 2021 ini. 

Berdasarkan berita di laman Kompas.com (2021), keputusan kontroversial BWF untuk mengeluarkan Indonesia juga ditentang netizen luar negeri  lainnya. Hal ini terlihat dari postingan-postingan di Facebook dari petinggi Google, Zaheed Sabur, serta warga India, Taiwan, hingga Malaysia yang mempertanyakan keputusan BWF tersebut.

Tidak hanya menyerang akun media sosial saja, tetapi beberapa waktu lalu netizen Indonesia juga mendapat sorotan setelah meninggalkan komentar-komentar negatif di Google Maps Sungai Aare setelah hilangnya putra Ridwan Kamil, Emmeril Kahn Mumtadz (CNNIndonesia.com, 2022). 

Perilaku-perilaku negatif yang ditunjukkan oleh netizen Indonesia dalam menggunakan internet tersebut ternyata pernah diungkapkan oleh Microsoft dalam survey tahunannya yang berjudul Digital Civilization Index (Indeks Kesopanan Digital). 

Pada laporan Microsoft tahun 2020, Indonesia berada di peringkat 29 dari 32 negara dan mengakibatkan Indonesia menjadi negara dengan tingkat kesopanan terendah di Asia Tenggara. 

Kesopanan yang dimaksud dalam survey ini adalah perilaku bersosial media yang mencakup penyebaran hoax, hate speech, cyberbullying, pelecehan pada etnis tertentu, pencemaran reputasi seseorang, hingga pornografi (VOAIndonesia.com, 2021). Karena disebut tidak sopan, netizen Indonesia lantas menyerang akun Instagram Microsoft dan secara tidak langsung membuktikan survey Microsoft benar adanya.

Penyerangan yang dilakukan netizen Indonesia tidak selalu berkonotasi negatif. Dalam beberapa kasus di atas, menurut saya tindakan yang dilakukan masyarakat Indonesia di media sosial untuk melampiaskan amarah, juga sekaligus menjadi bukti kekompakan dalam menyuarakan pendapat dan membela bangsa. 

Pendapat ini diamini oleh cuitan Twitter akun @Tatisekowati1 yang berbunyi "Microsoft engga tau kalau Indonesia punya sila ke 3 PERSATUAN INDONESIA. Soal serang menyerang pasti netizen +62 akan bersatu". 

Hal ini wajar, karena beberapa contoh penyerangan yang telah saya sebutkan merupakan penyerangan yang dilatar belakangi oleh ketidakadilan, bukan semata-mata penyerangan membabi buta tanpa alasan. 

Di lain sisi, untuk penyerangan berupa hate speech yang beberapa kali dilakukan netizen Indonesia karena hal-hal tidak masuk akal, seperti meninggalkan komentar kebencian di akun medsos artis antagonis, merupakan hal yang sangat kekanak-kanakan dan tidak dibenarkan dari sudut pandang manapun karena hanya berdasarkan perasaan masing-masing individu.

Konformitas juga dipengaruhi oleh dorongan dari dalam diri seseorang untuk mendapatkan pujian, disukai, diterima di kelompoknya, dan berkeinginan untuk merasa paling benar (Wardana, 2021).

Dalam melakukan serangan jenis pertama, seringkali masih banyak netizen yang hanya ikut-ikutan tanpa mengerti substansi dari permasalahan yang terjadi, atau sering disebut dengan konformitas. Menurut pendapat Brehm dan Kassin (dalam Suyanto dkk., 2012), konformitas adalah kecenderungan individu mengubah persepsi, pemikiran, 

hingga perilakunya untuk menyesuaikan dengan norma-norma kelompok yang mereka ikuti. Konformitas juga dipengaruhi oleh dorongan dari dalam diri seseorang untuk mendapatkan pujian, disukai, diterima di kelompoknya, dan berkeinginan untuk merasa paling benar (Wardana, 2021). 

Berdasarkan jenisnya, konformitas dibagi menjadi dua, yaitu compliance (menurut) dan acceptance (menerima). Pada konformitas jenis compliance, seseorang cenderung melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ia sukai 

agar dapat diterima di kelompoknya dengan menyerah, mengalah, dan membuat suatu keinginan berdasarkan keinginan orang lain. Untuk konformitas acceptance, seseorang percaya bahwa keputusan sebagian besar kelompoknya adalah 

hal yang benar karena kurangnya pengalaman yang ia miliki. Hal ini terjadi ketika seseorang meletakkan kepercayaan terhadap kelompok dan terhadap diri sendiri. Semakin ahli dan kompeten anggota kelompok, maka semakin besar pula kepercayaan individu kepada kelompoknya.

Meskipun dengan berbagai alasan, penyerangan di media sosial tetaplah bagian dari penyimpangan norma. Dalam rangka menciptakan lingkungan bersosial media yang aman, perlu ditekankan agar setiap individu, khususnya netizen Indonesia, memiliki attitude dalam beraktivitas di dunia maya, 

sehingga meminimalisir adanya pihak-pihak yang dirugikan. Berdasarkan survey IDC Microsoft 2020, 88% orang menyatakan bahwa edukasi adalah poin utama untuk membuat dunia digital menjadi lebih aman. 

Selain itu, 72% menyatakan bahwa netizen seharusnya tidak menggunakan anonymous agar tidak dengan sengaja dapat bebas melakukan hal-hal buruk di internet tanpa diketahui identitasnya dan terbebas dari tanggung jawab. 

Hal ini juga berkaitan dengan ketidaknyamanan orang-orang untuk berdiskusi secara online yang kadang dipenuhi dengan komentar-komentar kebencian. Besar harapan masyarakat agar perusahaan-perusahaan juga dapat berperan secara langsung dalam membatasi penyebaran ujaran-ujaran kebencian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun