Mohon tunggu...
Fatihah Putri Surya
Fatihah Putri Surya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya mahasiswa pendidikan sosiologi UNJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Flexing pada Remaja Gen Z

23 Oktober 2023   00:06 Diperbarui: 23 Oktober 2023   00:11 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena Flexing Pada Remaja

Flexing Menjadi sesuatu hal yang umum di masa sekarang ini terutama bagi sebagian remaja. Ada banyak sekali pemicu pemicu mengapa para remaja ini melakukan vaksin, diantaranya faktor faktor lingkungan, keinginannya untuk diakui, sebagai ajang untuk berlomba-lomba mendapatkan Penghormatan. 

Acapkali para figur sosial media juga melakukan hal yang sama seolah fenomena flexing ini menjadi hal yang biasa. Flexing membuat diri seseorang menjadi palsu, karena ia melakukan pencitraan terhadap dirinya agar ia bisa mendapatkan penghormatan dari publik. Para remaja melakukan vaksin tersebut biasanya sedang melakukan personal branding, tetapi merujuk pada hal yang negatif. Fenomena flexing yang sedang marak di tengah-tengah masyarakat terutama Gen Z sangat amatlah merugikan. Seseorang jadi tidak memiliki jati dirinya sendiri sehingga harus berpura-pura untuk mendapatkan pencitraan kepada publik.

Setiap orang memiliki hak masing-masing dalam memilih cara menjalani hidup. Orang-orang yang baik adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Orang yang Flexing memiliki cara pandang tersendiri, namun banyak yang mereka tidak ketahui dampak negatif dari segi agama. 

Orang-orang terlalu fokus dengan dampak positif dan lupa dengan dampak negatif yang kerap datang di kemudian hari. Orang-orang sekarang lebih menghargai dunia maya daripada dunia nyata sebagai akibat dari kemajuan teknologi yang semakin canggih dan popularitas media sosial selama era digitalisasi. 

Demi mendapatkan popularitas dan perhatian di media sosial, orang bersiap melakukan berbagai hal. Flexing yang terjadi baik offline maupun online, adalah tindakan memamerkan kekayaan, memanjakan, atau kemewahan seseorang. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjadi lebih dikenal dan menarik perhatian masyarakat. Keinginan untuk menjadi populer mengarah pada fenomena pelenturan, dan pengguna media sosial cenderung terlalu sibuk dengan kepentingan mereka sendiri untuk mempertimbangkan bagaimana tindakan mereka dapat bermanfaat bagi orang lain.

Dampak Negatif Flexing

Dengan tidak langsung dalam seringnya seseorang melakukan flexing di dalam sosial media, akan menimbulkan dampak negatif bagi dirinya.
Berikut ini dampak negatif dari flexing;

1. Perilaku orang tersebut dalam kesehariannya semakin konsumtif dalam kehidupannya mereka hidup agar dapat perhatian dari orang lain baik di sosial media maupun secara langsung agar terlihat seperti orang kaya untuk memenuhi kesan tersebut makan ia akan melakukan berbagai macam cara. Jika konsumtif dapat merugikan seseorang, karena ia akan menjadi lebih boros dalam mengeluarkan uang.

2. Jika seseorang yang melakukan flexing tidak mampu untuk memenuhi gaya hidup seperti orang kaya yang dilakukan dengan berbagai cara di luar kemampuannya seperti berhutang pada orang lain hal itu juga dapat menjadi masalah apabila tidak sanggup membayamya.

3. Dengan seringnya melakukan flexing, ada kemungkinan bahwa rasa empati yang mereka miliki semakin sedikit dikarenakan tidak peduli terhadap orang membutuhkan bantuan setta kekurangan, mereka hanya fokus pada pamer kekayaaan.

Cara Mengurangi Perilaku Flexing

Kita sebagai bagian dari pengguna media sosial perlunya meminimalisir hal-hal yang masuk dalam flexing untuk mengurangi perilaku flexing di sosial media, terdapat beberapa cara-cara mengurangi flexing:
1. Dia gunakannya pengaturan, hidden yang berarti banya beberapa orang terdekat sua yang melihat postingan kita. Ketika kita memposting dalam hal pencapaian prestasi dan yang lainnya, maka tidak di anggap berlebihan justru mereka menghargai dengan apa yang kita capai atau dapatkan.

2. Ketika kita memposting suatu pencapaian bisa juga diberikan penjelasan seperti sikap bangga akan diri kita yang juga merasa senang dengan apa yang kata capai dan melakukannya tidak dengan sewajarnya tidak berlebihan.

3. Dalam memposting dalam hal pencapaian kita, bisa juga menambahkan kalimat yang bisa menginspirasi orang lain serta dengan niat untuk berbagi di sosial media.

Aktualisasi Diri yang Positif terhadap Remaja

Untuk menghindari aktualisasi yang negatif remaja perlu mempertimbangkan hal hal yang mungkin terjadi sebagai akibat dari fenomena flexing. Pertimbangan semacam inilah yang belum terpikirkan oleh para remaja, mereka hanya memikirkan bagaimana caranya supaya mendapat pengakuan, bahkan eksis di dunia maya dengan unggahan di dunia maya tanpa memikirkan resikonya. Tak ayal, mengumbar aib pun kadang dilakukan demi "ngebet" viral di sosial media. Padahal pemikiran seperti ini haruslah dihindari, karena disaat mereka mengunggah sesuatu atau konten yang tidak sepantasnya, respon negatif pasti lah selalu ada. Pada akhirnya respon-respon negatif ini akan membuat mereka menjadi stres bahkan frustasi.

Dengan diadakannya kegiatan sosialsasi ini, penulis mencoba untuk memberikan pengertian bahwa alangkah baiknya untuk menyaring postingan atau konten yang cocok diunggah di sosial media untuk menghindari konotasi negatif dari orang lain. Dan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencapai aktualisasi diri yang positif di antaranya adalah:

1. berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain dengan tidak hanya melihat pada keberhasilan orang lain karena bisa jadi dibalik keberhasilan tersebut mereka harus mengorbankan banyak hal.
2. Kenali dan cintai diri sendiri, orang yang bisa mengaktualisasikan dirinya bukanlah orang yang sempurna melainkan orang yang dapat menerima kelebihan dan kekurangannya dan berusaha untuk terus memperbaiki dirinya.
3. Bertanggung jawablah atas segala tindakan dan milikilah integritas diri yang baik. Ambillah keputusan sesuai hati nurani dan bukan karena paksaan orang lain. Keputusan yang jujur kita buat juga berdampak pada tanggung jawab yang kita ambil dapat terasa lebih ringan dan tanpa beban tekanan dari orang lain.
4. Menerapkan pola pikir positif dan nikmati setiap momen dalam hidup, ketika berada di atas, nikmati dengan cara bersyukur bahwa kita bisa merasakan kesenangan tersebut dan berbagi dengan orang lain.
5. Jangan berhenti karena perjalanan hidup tidak akan pernah berakhir, aktualisasi diri adalah mengetahui bahwa kamu tidak akan pernah berhenti untuk tumbuh dan berkembang sebagai seorang individu.

Adanya flexing ini telah mengikis etika penggunaan media sosial. Secara etimologis, etika adalah ajaran yang diterima secara luas tentang baik dan jahat dalam masalah sikap, tindakan, kewajiban, dan lain-lain. Etika dapat diibaratkan sebagai moralitas atau tingkah laku dalam bahasa latin, berkaitan dengan persoalan moralitas atau kesusilaan. 

Nilai moral pada dasarnya mengacu pada persoalan mengkaitkan nilai moral atau perbuatan moral sebagai baik dan buruk, sehingga hendaknya dimasukkan dalam kerangka nilai-nilai yang berkaitan dengan baik dan buruknya perbuatan manusia.

Ruang lingkup moralitas ada karena manusia adalah makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-harinya berintegrasi atau berinteraksi dengan masyarakat dan berusaha menyenangkan sesama manusia. Perkumpulan yang bertujuan untuk menyenangkan satu sama lain bukanlah hal yang  baik, organisasi yang baik dan harmonis saling membantu dan menyemangati.

Dari sudut pandang etika, flexing bukanlah tindakan yang baik. Flexing lebih berkonotasi negatif,  karena memamerkan kekayaan hanya bertujuan untuk memuaskan ego atau  mendapatkan pengakuan dari orang lain atas kekayaan atau status sosialnya. Faktanya, banyak pelaku flexing yang memamerkan kesehariannya melalui video atau foto di media sosial, padahal sebenarnya tidak seperti yang terlihat di media sosial. Flexing juga digunakan sebagai metode kriminal atau pidana untuk mencari pengikut bahkan konsumen, dengan tujuan mencapai keuntungan pribadi, dengan  menawarkan  pekerjaan, kerja sama bisnis atau berinvestasi.

Referensi
Nur khayati, Dinda Apriliyanti, Victoria Nastacia Sudiana, Aji Setiawan, Didi Pramono, Fenomena Flexing Di Media Sosial Sebagai Ajang Pengakuan Kelas Sosial Dengan Kajian Teori Fungsionalisme Struktural (2022), Vol. 9 No. 2
Ratu Nadya Wahyuningratna, Vinta Sevilla, Mansur Juned, Edukasi Pengembangan Aktualisasi Diri Yang Positif Bagi Remaja Di Sosial Media (2022), Vol. 4 No. 2
Jawade Hafidz, Fenomena Flexing di Media Sosial dalam Aspek Hukum Pidana (2022), Vol. 2 No. 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun