Mohon tunggu...
fatih gama
fatih gama Mohon Tunggu... -

hanya orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Jogja Berhenti Nyaman

27 November 2017   13:52 Diperbarui: 27 November 2017   14:02 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selanjutnya, kajian tersebut juga menyimpulkan bahwa (JPP UGM, 2014): pertamamasyarakat tak merasa butuh menagih janji dari para politisi dan parpol. Paska elektoral, masyarakat kembali pada urusan mereka untuk memenuhi kesejahteraan mereka sendiri, tanpa perlu mengaitkan dengan apapun yang pernah dijanjikan oleh calon pada saat kampanye; Kedua, mempertegas absennya rakyat dalam proses demokrasi paska pemilu. Masyarakat hanya hadir pada saat hari-H pencoblosan. 

Setelah pelantikan, maka tidak ada kepentingan yang mengikat politisi kepada masyarakat pemilih, dan sebaliknya; ketiga, temuan tersebut memperkuat  absennya pola keterkaitan antara politisi dengan masyarakat (political linkage). Paska terpilih, politisi merasa dapat melakukan apapun dengan pengawasan minim dari masyarakat. Pada saat yang sama, masyarakat merasa mampu menyelesaikan persoalan publik yang mereka hadapi tanpa melibatkan para politisi. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa linkage politik yang terbangun -antara politisi dengan warga -- sangatlah rapuh. Linkagepolitik yang terbentuk belumlah mengarah pada programmatic linkage sebagaimana dinyatakan oleh Kitschelt (2007).

[5] Linkageyang terbentuk bisa jadi dibangun dari pola tautan klientistik atau  ataupun kharismatik.

Gerakan Masyarakat Sipil yang Terserak: Tantangan Mengkonsolidasikan Agenda Publik

Sesungguhnya di Yogyakarta bukan tidak muncul kelompok masyarakat sipil yang kuat sebagai pengimbang negara. Tidak kurang gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta, - dimotori komunitas-komunitas warga, pekerja seni, aktivis NGO, kalangan akademisi  dan cendekiawan publik, -  melancarkan kritik begitu keras atas kebijakan pembangunan kota yang tidak terkendali dalam lima tahun terakhir. Berbagai gerakan pun diluncurkan seperti Jogja Ora Didol (Jogja Tidak Dijual), Warga Berdaya, dan sebagainya. Hal ini tidak mengherankan karena gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta memiliki akar historis yang panjang. Dikenal sebagai sentrum kebudayaan dan pendidikan, menjadikan Yogyakarta sebagai arena pertukaran gagasan tentang demokrasi, sebagai simpul utama gerakan sosial, sekaligus menyediakan atmosfer yang sehat bagi tumbuhnya aksi-aksi kolektif warga.

Kondisi tersebut tersebut sejalan dengan temuan riset tentang Power, Welfare and Democracy tahun 2013 (PWD 2013) yang diselenggarakan JPP UGM tentang kuatnya peran masyarakat sipil di Yogyakarta dalam pelembagaan demokrasi (Lihat Hendra  dalam Paskarina & Dkk, 2015).  Dalam riset tersebut dinyatakan bahwa kemampuan civil societymenunjukan hasil yang baik. Bahkan, hasil riset menyatakan Yogyakarta menempati posisi keempat secara nasional dalam hal kebebasan dan kesempatan yang setara untuk mengakses wacana publik, budaya dan akademik. Hal ini disebabkan, selain karena adanya banyaknya institusi pendidikan (kampus), tetapi juga karena daerah ini terdapat banyak Non-Government Organization (NGO), yang setidaknya berandil banyak dalam mengorganisir masyarakat (Hendra, Ibid).  

Namun gerakan masyarakat  sipil tersebut seolah berhadapan dengan tembok tebal yang bergeming atas berbagai tuntutan perubahan tersebut. Masih dalam riset yang sama, kualitas tatakelola pemerintahan (governance) di Yogyakarta mendapat penilaian yang paling buruk. Survei PWD 2013 menempatkan Yogyakarta pada peringkat ke-9 sebagai daerah yang paling tidak transparan, imparsial, dan akuntabel di Indonesia. Hal itu dibentuk dari indikator indepedensi pemerintah dalam membuat keputusan, Yogyakarta menempati urutan ke-25 dari 30 daerah yang disurvei. Buruknya kualitas indepedensi pemerintah dalam pembuatan keputusan disebabkan oleh kuatnya pengaruh rezim aristokrasi dalam pengambilan kebijakan (Hendra, ibid). Narasi tersebut memberikan gambaran paradoksal tentang pelembagaan demokrasi lokal paska desentralisasi. Liberalisasi politik yang digaungkan sejak era reformasi tahun 1998, pada satu sisi menghasilkan masifnya partisipasi public di level masyarakat, namun pada saat yang sama tidak diikuti dengan perubahan tata kelola pemerintahan yang baik.

Mengapa hal itu dapat terjadi?  Dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan Komunitas Warga Berdaya beberapa waktu lalu, muncul sebuah perspektif menarik yang menyatakan bahwa: persoalan tidak terkawalnya agenda-agenda publik di Kota Yogyakarta bisa jadi karena tidak solidnya gerakan masyarakat sipil.  Ini artinya, gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta sesungguhnya juga tengah menghadapi tantangan yang tak kalah seriusnya di dalam dirinya sendiri. Gerakan masyarakat sipil dan kewargaan yang memiliki akar historis yang panjang, dan bertumbuh cepat dalam sepuluh tahun terakhir ini, tidak diimbangi dengan kapasitas konsolidasi gerakan yang memadai karena berbagai hal.

Lemahnya konsolidasi gerakan masyarakat sipil ini, seperti mengulang apa yang disampaikan Inggrid Silitonga (2015) disebabkan:  pertama, pengorganisasiaan sejauh ini masih berdasarkan kesamaan isu yang temporer yang membuat ikatan masyarakat sipil sangat renggang dan menghadirkan kecenderungan untuk kembali kepada kepentingan organisasi masing-masing setelah tuntutan isu bersama berhasil dicapai; Kedua, pola konsolidasi masih mengandalkan figur dan organisasi pemrakarsa yang dapat membuka celah bagi munculnya fragmentasi dan kecenderungan oportunistik dari figur-figur kuat. Hal ini beresiko memicu persaingan antar aktor-aktor dalam masyarakat  sipil dalam perebutan sumber daya ekonomi politik.

Dalam mengawal agenda-agenda publik , kehadiran masyarakat sipil yang terkonsolidasi menjadi prasyarat penting. Oleh karena itu, menjadi agenda strategis mendatang, apabila setiap elemen masyarakat sipil di Yogyakarta mau duduk kembali untuk mendiskusikan untuk menggagas format gerakan yang disepakati bersama. Formulasi format gerakan tersebut  setidaknya memuat syarat bahwa format tersebut relatif dapat diterima oleh semua elemen  namun juga realistis untuk ditempuh secara bersama-sama. Dalam konteks tersebut dibutuhkan suatu konsensus seluruh elemen masyarakat sipil agar tak lagi terserak dalam mengawal agenda-agenda publik: demi  menghadirkan kembali Yogya Berhati Nyaman  bagi warganya. Salam. 

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun