Mohon tunggu...
fatih gama
fatih gama Mohon Tunggu... -

hanya orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Jogja Berhenti Nyaman

27 November 2017   13:52 Diperbarui: 27 November 2017   14:02 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://bilikberitajogja.blogspot.co.id

: Paradoksal Pembangunan, Depolitisasi Warga dan Gerakan Masyarakat Sipil yang Terserak

Sebagaimana kota-kota besar lainnya, Kota Yogyakarta menghadapi tantangan pertumbuhan kota yang tak terkendali dan mengelola keragaman kebutuhan dan kepentingan warganya. Namun, upaya menjawab tantangan tersebut justru memunculkan paradoksal pembangunan. Secara sinikal bahkan muncul ungkapan Yogya berhenti nyaman!Bagaimana paradoksal ini hendak dijelaskan?

Dengan visi Yogyakarta sebagai kota yang menyediakan  pelayanan berkualitas, berkarakter dan Inklusif yang berbasis budaya  berwawasan lingkungan dan Ekonomi Kerakyatan bagi warganya, justru beberapa masalah tampak menjadi paradoks. Pertama,semangat kewargaan "Segoro Amarto" yang diklaim sebagai kearifan lokal masyarakat Yogyakarta dalam menggerakkan pemberdayaan  masyarakat kota, hanya berhenti sebagai jargon. Klaim sebagai kota toleran dan inklusif, tampaknya paradoks dengan rilis sejumlah lembaga tentang kondisi toleransi dan inklusivitas Kota Yogyakarta. 

Pada tahun 2014 lalu, The Wahid Institute (kini Wahid Foundation) menobatkan Yogyakarta sebagai kota paling tak toleran nomor dua di Indonesia pada 2014. Dari total 154 kasus intoleransi serta pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dicatat Wahid Foundation sepanjang tahun itu, 21 peristiwa terjadi di Yogyakarta. Setahun kemudian, 2015, peringkat Yogya sebagai kota intoleran turun ke nomor empat. Dari 190 pelanggaran yang dicatat Wahid Foundation, 10 terjadi di kota pelajar itu. (Inggrid Kusuma Dewi (2016). Yogyakarta, Kota yang Makin Tak Toleran diunduh dari sini).[1] 

Rilis tersebut sejalan dengan temuan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika mencatat pada 2015 setidaknya terdapat 15 kasus intoleransi terjadi di Yogyakarta. Dari total kasus intoleransi, yang paling banyak adalah pemerintah tidak memberi izin pendirian rumah ibadah. Tidak adanya izin ini terjadi akibat desakan kelompok intoleran (Sinta Maharani (2016), Kasus Intoleransi di Yogyakarta Tinggi, diunduh dari ). [2] 

Sebagai kota inklusif, status Kota Yogyakarta juga mulai mendapat gugatan. Hal ini ditandai  dengan adanya penolakan sebagian warga asli terhadap warga pendatang, khususnya mahasiswa dan pelajar asal Papua yang tengah menempuh studi di Yogyakarta. Gejala umum ini menguat dalam beberapa tahun terakhir ini, dengan adanya peningkatan kasus ketegangan antara warga asli dan pendatang, khususnya yang berasal dari wilayah timur, terus meningkat. 

Namun, pemerintah juga tidak kunjung mempersiapkan rekayasa sosial yang mendorong pembauran antara warga asli dan pendatang. Berbeda dengan situasi tahun-tahun 70-an hingga 90-an, dimana iklim pembauran antara warga Yogya dengan mahasiswa dari berbagai pelosok negeri berjalan dengan sangat baik. Semangat pembauran yang hidup pada masa-masa tersebut sungguh pantas menjadi dasar bagi Kota Yogyakarta untuk menyandang predikat kota inklusif.[3]

Kedua,paradoksal pembangunan juga tampak dari tinggginya angka kemiskinan di Kota Yogyakarta yang pada saat yang sama bersanding dengan tinginya indeks kebahagiaan. Pada tahun 2011 lalu BPS mencatat angka kemiskinan di Kota Yogyakarta mencapai  37.400  penduduk atau sekitar 9,62 % dari total jumlah penduduk. Sedangkan pada tahun 2015 lalu jumlah penduduk miskin di Kota Yogyakarta mencapai 35.241 jiwa atau 8,8 % dari 400.467 penduduk Kota Yogyakarta. 

Paparan diatas menunjukkan percepatan penanggulangan kemiskinan di Yogyakarta bergerak sangat lambat. Selama lima tahun, penurunan persentase angka kemiskinan di Kota Yogyakarta hanya 0,82 % atau kurang dari 1 %. Sementara itu, gambaran angka kemiskinan tampak kontras dengan capaian indeks kebahagiaan warga kota Yogyakarta. Pada Tahun 2015 lalu, DIY dinobatkan oleh BPS sebagai daerah paling bahagia se-Jawa, atau berada pada peringkat ke-7 nasional (Tempo.co, Survei: Orang Riau Terbahagia, Yogya dan Bandung?).[4] Berdasarkan survei indeks kebahagiaan tersebut, diketahui indeks kebahagiaan masyarakat DIY mencapai 70,77 % atau di atas indeks kebahagiaan nasional sebesar 68,28 %.

 Ketiga, arah kebijakan pembangunan sektor ekonomi Kota Yogyakarta yang diorientasikan pada ekonomi kerakyatan, berbasis budaya serta ramah lingkungan ternyata menghadapi fakta yang justru menegasikan nilai-nilai yang hendak dicapai. Secara Faktual,  pembangunan di Kota Yogyakarta justru memberikan karpet merah pada investor, semakin lepas dari akar kebudayaan warganya dan semakin jauh dari visi ekologis. Sebagai kota yang sejak lama menjadi destinasi wisata, sesungguhnya wajar saja apabila industri pariwisata di Yogyakarta digenjot menjadi salah satu andalan penggerak pertumbuhan ekonomi. 

Dalam lima tahun terakhir ini pertumbuhan sektor hospitality ini juga tersebut demikian sangat pesat. Sebagai ilustrasi, hal itu tampak dari fenomena menjamurnya pembangunan hotel, pusat perbelanjaan, super blok, dan apartemen di Yogyakarta dalam lima tahun terakhir ini.  Hingga tahun 2016 lalu jumlah hotel di Kota Yogyakarta mencapai 420 hotel yang terdiri dari 62 hotel berbintang dan 358 hotel melati sebagaimana tersaji dalam tabel 1.

Tabel1. Pertumbuhan Jumlah Hotel di Kota Yogyakarta 2011-2016

Sumber: Diolah dari BPS, Direktori Hotel dan Akomodasi Lain di DIY, 2011, 2015 2016
Sumber: Diolah dari BPS, Direktori Hotel dan Akomodasi Lain di DIY, 2011, 2015 2016
Namun jika dicermati lebih, penambahan jumlah hotel di Kota Yogyakarta justru didominasi hotel berbintang yang mengalami kenaikan hampir tiga kali lipat. Pada tahun 2011 jumlah hotel berbintang di Kota Yogyakarta baru mencapai 24 hotel, namun pada tahun 2016 mencapai 62 buah hotel atau bertambah 38 hotel dalam kurun lima tahun.  Sementara hotel melati hanya sedikit bertumbuh 14 buah unit hotel dalam kurun yang sama yaitu dari 344 pada tahun 2011 menjadi 358 pada tahun 2016. 

Fakta tersebut menunjukkan bahwa arah perkembangan industri pariwisata di Yogyakarta lebih berpihak pada pelaku industri wisata besar atau investor, ketimbang mendorong  sebagai sektor ekonomi yang lebih inklusif terhadap ekonomi rakyat. Data yang ada menunjukkan bahwa hotel melati dengan jumlah 362 hanya memiliki 6446 kamar, sementara hotel berbintang yang hanya berjumlah 57 buah memiliki 5.286 kamar. Begitu pula untuk serapan tenaga kerja, hotel berbintang menyerap hampir 60 % tenaga kerja di sektor ini sebagaimana tersaji dalam tabel 2. Fakta tersebut menunjukkan adanya pola pemusatan sumber daya yang lebih melayani kepentingan investor besar di sektor ini. 

Tabel2. Jumlah Hotel, Kamar, Tempat Tidur, dan Tenaga Kerja menurut Kelas Hotel Bintang dan Kelompok Kamar Hotel Non-Bintang di Kota Yogyakarta Tahun 2014

Sumber: BPS, Indikator Ekonomi Kota Yogyakarta, 2015
Sumber: BPS, Indikator Ekonomi Kota Yogyakarta, 2015
Menjamurnya hotel juga dipersoalkan secara ekologis oleh sejumlah warga dan pegiat urban di Kota Yogyakarta. Kasus-kasus ini mencuat, setelah sejumlah pegiat urban dan warga terdampak mengkampanyekan isu "Jogja Asat".  Ada sejumlah wilayah di Kota Yogyakarta mengalami surutnya air tanah karena disedot secara massif hotel-hotel baru yang ada di Kota Yogyakarta. 

Kasus-kasus eksploitasi air tanah oleh pelaku usaha hotel tersebut berdampak pada hilangnya akses warga terhadap air bersih dalam bentuk keringnya sumur-sumur warga yang menghuni disekitar hotel. Kehadiran  hotel-hotel baru di Kota Yogyakarta juga memunculkan konflik agararia antara warga kampung dengan investor, terutama warga yang tinggal di kampung-kampung sekitar pinggir kali. Terbatasnya lahan di kota Yogyakarta, membuat sejumlah investor mengincar lahan "wedi kengser"yang status kepemilikannya sangat mudah dipersoalkan. Warga pun mempersoalkan perijinan oleh Pemerintah Kota yang dinilai tidak memenuhi AMDAL. Tidak salah jika kemudian, warga pun  serta menduga ada praktik-praktik fraud dalam penerbitan ijin hotel di Kota Yogyakarta.

Depolitisasi Pembangunan, Depolitisasi (Peran) Warga

Paradok pembangunan sebagai konsekuensi dari keterputusan elektoral, memuat nalar depolitisasi terhadap pembangunan (lihat Ferguson, 1994; dan Harriss, 2001).  Depolitisasi ini muncul karena masalah-masalah pembangunan hanya dilihat sebagai masalah teknokrasi-manajerial, sehingga kehilangan watak politisnya. Kesemerawutan soal menata ruang di Yogyakarta misalnya,  dipahami semata perkara teknis ketimbang politis, dimana ruang hanya dimaknai mengikuti hukum besi pasar (supply and demand). 

Dalam nalar politik,  bahwa "hakikat ruang" adalah arena kontestasi. Menata dan mengelola ruang berarti,  soal menata alokasi dan akses  ruang bagi warga kota. Berapa besar alokasi untuk ruang-ruang produksi (ekonomi)? Berapa besar ruang ruang-ruang sosial dialokasikan agar warga  kota agar dapat merajut intimasi untuk membangun kebersamaan, kepedulian, dan kepekaan sosial diantara warganya?  Dan seberapa jauh akses terhadap ruang diberikan pada warganya untuk dapat bertumbuh dan berkembang? Pada titik iniliah nalar politik seharusnya memandu bagaimana kota dikelola. 

Pada saat bersamaan, depolitisasi pembangunan menyingkirkan peran warga dari sirkuit kebijakan dimana arena kebijakan menjadi monopoli oleh negara, pasar dan teknokrat. Hal tersebut menunjukkan watak anti politik pemerintah kota terhadap peran serta warga dalam mengawal kebijakan pembangunan. Pada gilirannya, bekerjanya watak anti politik dalam mengelola pembangunan kota ditangkap oleh warga sebagai bentuk keterputusan elektoral oleh warga, dimana tidak kaitan antara politik elektoral dan paska elektoral.   

Kajian yang dilakukan oleh Jurusan Politik Pemerintah UGM  (2014) tentang Perilaku Pemilih danPolitical Linkagedi Kota Yogyakarta dan Kabupaten Magelangmengafirmasi keterputusan electoral yang terjadi di Kota Yogyakarta. Studi yang didukung The Asia Foundation tersebut  menunjukkan temuan bahwa lebih dari 85% warga menyatakan bahwa mereka tidak pernah menagih janji kampanye politisi setelah mereka terpilih.

Selanjutnya, kajian tersebut juga menyimpulkan bahwa (JPP UGM, 2014): pertamamasyarakat tak merasa butuh menagih janji dari para politisi dan parpol. Paska elektoral, masyarakat kembali pada urusan mereka untuk memenuhi kesejahteraan mereka sendiri, tanpa perlu mengaitkan dengan apapun yang pernah dijanjikan oleh calon pada saat kampanye; Kedua, mempertegas absennya rakyat dalam proses demokrasi paska pemilu. Masyarakat hanya hadir pada saat hari-H pencoblosan. 

Setelah pelantikan, maka tidak ada kepentingan yang mengikat politisi kepada masyarakat pemilih, dan sebaliknya; ketiga, temuan tersebut memperkuat  absennya pola keterkaitan antara politisi dengan masyarakat (political linkage). Paska terpilih, politisi merasa dapat melakukan apapun dengan pengawasan minim dari masyarakat. Pada saat yang sama, masyarakat merasa mampu menyelesaikan persoalan publik yang mereka hadapi tanpa melibatkan para politisi. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa linkage politik yang terbangun -antara politisi dengan warga -- sangatlah rapuh. Linkagepolitik yang terbentuk belumlah mengarah pada programmatic linkage sebagaimana dinyatakan oleh Kitschelt (2007).

[5] Linkageyang terbentuk bisa jadi dibangun dari pola tautan klientistik atau  ataupun kharismatik.

Gerakan Masyarakat Sipil yang Terserak: Tantangan Mengkonsolidasikan Agenda Publik

Sesungguhnya di Yogyakarta bukan tidak muncul kelompok masyarakat sipil yang kuat sebagai pengimbang negara. Tidak kurang gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta, - dimotori komunitas-komunitas warga, pekerja seni, aktivis NGO, kalangan akademisi  dan cendekiawan publik, -  melancarkan kritik begitu keras atas kebijakan pembangunan kota yang tidak terkendali dalam lima tahun terakhir. Berbagai gerakan pun diluncurkan seperti Jogja Ora Didol (Jogja Tidak Dijual), Warga Berdaya, dan sebagainya. Hal ini tidak mengherankan karena gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta memiliki akar historis yang panjang. Dikenal sebagai sentrum kebudayaan dan pendidikan, menjadikan Yogyakarta sebagai arena pertukaran gagasan tentang demokrasi, sebagai simpul utama gerakan sosial, sekaligus menyediakan atmosfer yang sehat bagi tumbuhnya aksi-aksi kolektif warga.

Kondisi tersebut tersebut sejalan dengan temuan riset tentang Power, Welfare and Democracy tahun 2013 (PWD 2013) yang diselenggarakan JPP UGM tentang kuatnya peran masyarakat sipil di Yogyakarta dalam pelembagaan demokrasi (Lihat Hendra  dalam Paskarina & Dkk, 2015).  Dalam riset tersebut dinyatakan bahwa kemampuan civil societymenunjukan hasil yang baik. Bahkan, hasil riset menyatakan Yogyakarta menempati posisi keempat secara nasional dalam hal kebebasan dan kesempatan yang setara untuk mengakses wacana publik, budaya dan akademik. Hal ini disebabkan, selain karena adanya banyaknya institusi pendidikan (kampus), tetapi juga karena daerah ini terdapat banyak Non-Government Organization (NGO), yang setidaknya berandil banyak dalam mengorganisir masyarakat (Hendra, Ibid).  

Namun gerakan masyarakat  sipil tersebut seolah berhadapan dengan tembok tebal yang bergeming atas berbagai tuntutan perubahan tersebut. Masih dalam riset yang sama, kualitas tatakelola pemerintahan (governance) di Yogyakarta mendapat penilaian yang paling buruk. Survei PWD 2013 menempatkan Yogyakarta pada peringkat ke-9 sebagai daerah yang paling tidak transparan, imparsial, dan akuntabel di Indonesia. Hal itu dibentuk dari indikator indepedensi pemerintah dalam membuat keputusan, Yogyakarta menempati urutan ke-25 dari 30 daerah yang disurvei. Buruknya kualitas indepedensi pemerintah dalam pembuatan keputusan disebabkan oleh kuatnya pengaruh rezim aristokrasi dalam pengambilan kebijakan (Hendra, ibid). Narasi tersebut memberikan gambaran paradoksal tentang pelembagaan demokrasi lokal paska desentralisasi. Liberalisasi politik yang digaungkan sejak era reformasi tahun 1998, pada satu sisi menghasilkan masifnya partisipasi public di level masyarakat, namun pada saat yang sama tidak diikuti dengan perubahan tata kelola pemerintahan yang baik.

Mengapa hal itu dapat terjadi?  Dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan Komunitas Warga Berdaya beberapa waktu lalu, muncul sebuah perspektif menarik yang menyatakan bahwa: persoalan tidak terkawalnya agenda-agenda publik di Kota Yogyakarta bisa jadi karena tidak solidnya gerakan masyarakat sipil.  Ini artinya, gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta sesungguhnya juga tengah menghadapi tantangan yang tak kalah seriusnya di dalam dirinya sendiri. Gerakan masyarakat sipil dan kewargaan yang memiliki akar historis yang panjang, dan bertumbuh cepat dalam sepuluh tahun terakhir ini, tidak diimbangi dengan kapasitas konsolidasi gerakan yang memadai karena berbagai hal.

Lemahnya konsolidasi gerakan masyarakat sipil ini, seperti mengulang apa yang disampaikan Inggrid Silitonga (2015) disebabkan:  pertama, pengorganisasiaan sejauh ini masih berdasarkan kesamaan isu yang temporer yang membuat ikatan masyarakat sipil sangat renggang dan menghadirkan kecenderungan untuk kembali kepada kepentingan organisasi masing-masing setelah tuntutan isu bersama berhasil dicapai; Kedua, pola konsolidasi masih mengandalkan figur dan organisasi pemrakarsa yang dapat membuka celah bagi munculnya fragmentasi dan kecenderungan oportunistik dari figur-figur kuat. Hal ini beresiko memicu persaingan antar aktor-aktor dalam masyarakat  sipil dalam perebutan sumber daya ekonomi politik.

Dalam mengawal agenda-agenda publik , kehadiran masyarakat sipil yang terkonsolidasi menjadi prasyarat penting. Oleh karena itu, menjadi agenda strategis mendatang, apabila setiap elemen masyarakat sipil di Yogyakarta mau duduk kembali untuk mendiskusikan untuk menggagas format gerakan yang disepakati bersama. Formulasi format gerakan tersebut  setidaknya memuat syarat bahwa format tersebut relatif dapat diterima oleh semua elemen  namun juga realistis untuk ditempuh secara bersama-sama. Dalam konteks tersebut dibutuhkan suatu konsensus seluruh elemen masyarakat sipil agar tak lagi terserak dalam mengawal agenda-agenda publik: demi  menghadirkan kembali Yogya Berhati Nyaman  bagi warganya. Salam. 

Daftar Pustaka

BPS, Direktori Hotel dan Akomodasi Lain di  DIY, 2011, 2015 2016

BPS, Indikator Ekonomi Kota Yogyakarta, 2015

Ferguson, James (1994) The Anti-Politics Machine: 'Development', Depoliticization, and

Bureaucratic Power in Lesotho, University of Minessota Press.

Hariss, John (2001) Depolitisizing Development: The World Bank and Social Capital, LeftWord Books.

Hendra Try Ardiyanto,  Tantangan Institusionalisasi Demokrasi dalam Setting Rezim Aristokratik, dalam Paskarina & Dkk (eds). (2015). Berebut Kontrol Atas Kesejahteraan :Kasus-Kasus Politisasi Demokrasi di Tingkat Lokal, POLGOV-PCD Press: Yogyakarta.

Inggrid Kusuma Dewi (2016). Yogyakarta, Kota yang Makin Tak Toleran diunduh  pada tanggal 9 Februari 2017, pukul 16.15.

Inggrid Silitonga (2015). Gerakan Masyarakat Sipil: Tantangan Konsolidasi Demokrasi, diunduh pada tanggal 10 Februari 2017, pukul 10.47.

Jurusan Politik Pemerintah UGM -- The Asia Foundation  (2014).  Laporan RisetPerilaku Pemilih danPolitical Linkagedi Kota Yogyakarta dan Kabupaten Magelang.- Tidak diterbitkan. 

Jurusan Politik Pemerintah UGM (2013). Laporan Survey RisetPower, Welfare Demokracy. -- Tidak Diterbitkan

Kitschelt., H, (2000) Linkages Between Citizens And Politicans In Democratic Politics.

Comparative Political Studies 33.

Sinta Maharani (2016), Kasus Intoleransi di Yogyakarta Tinggi, diunduh pada tanggal pada tanggal 9 Februari 2017, pukul 16.22.

Tempo.co (2015). Survei: Orang Riau Terbahagia, Yogya dan Bandung? diunduh  pada tanggal 9 Februari 2017, pukul 16.45.

[1] Rilis Wahid Institute memang merupakan data agregat kasus intoleran di Kabupaten dan kota se- DIY. Namun, yang patut dicatat, data-data tersebut, hanya merekam kasus-kasus yang menarik perhatian public. Kasus-kasus yang tidak tercatat sesungguhnya cukup tinggi.

[2] Bandingkan pula dengan Rilis dari LBH Yogyakarta dan Setara Institute tentang kondisi toleransi di Kota Yogyakarta pada tahun 2015 lalu.

[3] Saat itu Yogyakarta mendapat julukan "Indonesia Mini".  

[4] Di level nasional, posisi indeks tertinggi berada di Kepulauan Riau 72,42, disusul Maluku 72,12, Kalimantan Utara 71,45, Kalimantan Timur 71,45, Jambi 71,1, Sulawesi Utara 70,79, dan Yogyakarta. Yang mengejutkan, indeks kebahagiaan warga Papua Barat termasuk tinggi 70,45, sementara yang menempati posisi terendah adalah Papua 60,97, disusul Nusa Tenggara Timur 66,22 serta Sumatera Barat 66,79.

[5] Kitschelt mengidentifikasi tiga jenis linkage yakni: klientelistik, programmatik dan karismatik. Pertama, linkageklientelistik.  Linkageklientelistik merupakan pola hubungan yang politisi dengan warga yang diwakilinya melalui cara pemberian keuntungan material agar warga yang diwakilinya itu memberikan dukungan terhadapnya. Kedua, linkage programatik.Pola relasi politisi dengan konstituen berdasarkan program kebijakan yang menguntungkan semua warga negara, termasuk mereka yang tidak memilihnya. Ketiga, linkagekarismatik. Pola relasi antara politisi dengan konstituennya dibangun berdasarkan pada kualitas personal politisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun