Mohon tunggu...
fatih gama
fatih gama Mohon Tunggu... -

hanya orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Jogja Berhenti Nyaman

27 November 2017   13:52 Diperbarui: 27 November 2017   14:02 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Diolah dari BPS, Direktori Hotel dan Akomodasi Lain di DIY, 2011, 2015 2016

Tabel1. Pertumbuhan Jumlah Hotel di Kota Yogyakarta 2011-2016

Sumber: Diolah dari BPS, Direktori Hotel dan Akomodasi Lain di DIY, 2011, 2015 2016
Sumber: Diolah dari BPS, Direktori Hotel dan Akomodasi Lain di DIY, 2011, 2015 2016
Namun jika dicermati lebih, penambahan jumlah hotel di Kota Yogyakarta justru didominasi hotel berbintang yang mengalami kenaikan hampir tiga kali lipat. Pada tahun 2011 jumlah hotel berbintang di Kota Yogyakarta baru mencapai 24 hotel, namun pada tahun 2016 mencapai 62 buah hotel atau bertambah 38 hotel dalam kurun lima tahun.  Sementara hotel melati hanya sedikit bertumbuh 14 buah unit hotel dalam kurun yang sama yaitu dari 344 pada tahun 2011 menjadi 358 pada tahun 2016. 

Fakta tersebut menunjukkan bahwa arah perkembangan industri pariwisata di Yogyakarta lebih berpihak pada pelaku industri wisata besar atau investor, ketimbang mendorong  sebagai sektor ekonomi yang lebih inklusif terhadap ekonomi rakyat. Data yang ada menunjukkan bahwa hotel melati dengan jumlah 362 hanya memiliki 6446 kamar, sementara hotel berbintang yang hanya berjumlah 57 buah memiliki 5.286 kamar. Begitu pula untuk serapan tenaga kerja, hotel berbintang menyerap hampir 60 % tenaga kerja di sektor ini sebagaimana tersaji dalam tabel 2. Fakta tersebut menunjukkan adanya pola pemusatan sumber daya yang lebih melayani kepentingan investor besar di sektor ini. 

Tabel2. Jumlah Hotel, Kamar, Tempat Tidur, dan Tenaga Kerja menurut Kelas Hotel Bintang dan Kelompok Kamar Hotel Non-Bintang di Kota Yogyakarta Tahun 2014

Sumber: BPS, Indikator Ekonomi Kota Yogyakarta, 2015
Sumber: BPS, Indikator Ekonomi Kota Yogyakarta, 2015
Menjamurnya hotel juga dipersoalkan secara ekologis oleh sejumlah warga dan pegiat urban di Kota Yogyakarta. Kasus-kasus ini mencuat, setelah sejumlah pegiat urban dan warga terdampak mengkampanyekan isu "Jogja Asat".  Ada sejumlah wilayah di Kota Yogyakarta mengalami surutnya air tanah karena disedot secara massif hotel-hotel baru yang ada di Kota Yogyakarta. 

Kasus-kasus eksploitasi air tanah oleh pelaku usaha hotel tersebut berdampak pada hilangnya akses warga terhadap air bersih dalam bentuk keringnya sumur-sumur warga yang menghuni disekitar hotel. Kehadiran  hotel-hotel baru di Kota Yogyakarta juga memunculkan konflik agararia antara warga kampung dengan investor, terutama warga yang tinggal di kampung-kampung sekitar pinggir kali. Terbatasnya lahan di kota Yogyakarta, membuat sejumlah investor mengincar lahan "wedi kengser"yang status kepemilikannya sangat mudah dipersoalkan. Warga pun mempersoalkan perijinan oleh Pemerintah Kota yang dinilai tidak memenuhi AMDAL. Tidak salah jika kemudian, warga pun  serta menduga ada praktik-praktik fraud dalam penerbitan ijin hotel di Kota Yogyakarta.

Depolitisasi Pembangunan, Depolitisasi (Peran) Warga

Paradok pembangunan sebagai konsekuensi dari keterputusan elektoral, memuat nalar depolitisasi terhadap pembangunan (lihat Ferguson, 1994; dan Harriss, 2001).  Depolitisasi ini muncul karena masalah-masalah pembangunan hanya dilihat sebagai masalah teknokrasi-manajerial, sehingga kehilangan watak politisnya. Kesemerawutan soal menata ruang di Yogyakarta misalnya,  dipahami semata perkara teknis ketimbang politis, dimana ruang hanya dimaknai mengikuti hukum besi pasar (supply and demand). 

Dalam nalar politik,  bahwa "hakikat ruang" adalah arena kontestasi. Menata dan mengelola ruang berarti,  soal menata alokasi dan akses  ruang bagi warga kota. Berapa besar alokasi untuk ruang-ruang produksi (ekonomi)? Berapa besar ruang ruang-ruang sosial dialokasikan agar warga  kota agar dapat merajut intimasi untuk membangun kebersamaan, kepedulian, dan kepekaan sosial diantara warganya?  Dan seberapa jauh akses terhadap ruang diberikan pada warganya untuk dapat bertumbuh dan berkembang? Pada titik iniliah nalar politik seharusnya memandu bagaimana kota dikelola. 

Pada saat bersamaan, depolitisasi pembangunan menyingkirkan peran warga dari sirkuit kebijakan dimana arena kebijakan menjadi monopoli oleh negara, pasar dan teknokrat. Hal tersebut menunjukkan watak anti politik pemerintah kota terhadap peran serta warga dalam mengawal kebijakan pembangunan. Pada gilirannya, bekerjanya watak anti politik dalam mengelola pembangunan kota ditangkap oleh warga sebagai bentuk keterputusan elektoral oleh warga, dimana tidak kaitan antara politik elektoral dan paska elektoral.   

Kajian yang dilakukan oleh Jurusan Politik Pemerintah UGM  (2014) tentang Perilaku Pemilih danPolitical Linkagedi Kota Yogyakarta dan Kabupaten Magelangmengafirmasi keterputusan electoral yang terjadi di Kota Yogyakarta. Studi yang didukung The Asia Foundation tersebut  menunjukkan temuan bahwa lebih dari 85% warga menyatakan bahwa mereka tidak pernah menagih janji kampanye politisi setelah mereka terpilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun