Mohon tunggu...
Fathurrahman Helmi
Fathurrahman Helmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Sepakbola

Jika Menulis Bisa Membuatmu Abadi, Kenapa Masih Berdiam Diri. Ambil Penamu dan Goreskan di Kertas Putih Itu. | Kontak: Fathur99mbo@gmail.com fathurhelmi (Instagram) @fathoerhelmi (twitter)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tatapanmu di Malam itu

8 Juli 2015   23:48 Diperbarui: 8 Juli 2015   23:48 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by: Ilham Hidayatullah (ig: @sejutaaksara )
In Frame: Fathurrahman Helmi

Saya jarang membuat cerpen, bahkan cerpen saya tidak sampai 10. Tapi kemaren nyoba lagi buat nulis dan rasanya ini cerpen paling unik yang pernah saya buat. Selamat membaca dan saya tunggu komen dari kamu, hanya kamu :)

Tatapanmu di Malam itu

Semakin lama semakin aku sadar akan heningnya dikau malam ini. Jangan-jangan pelukan di malam itu hanya sekedar pemanis saja untuk perjumpaan kita di kala malam hinggap di jendela mobil. Jam berdenting hingga kusadari kau dan aku telah berdiri selama 10 menit dan hanya saling menatap. Tapi, tatapan mu laksana Elang mengejar sang mangsa. Tak tahu kapan berhenti sampai nanti aku mengaduh pertanda sobekan pertama dari tatapanmu.

Kembali kuingat kala senja minggu lalu sudah di ambang batas menutup rindu. Saat aku memberanikan diri mengantar Dila sebelum menuju ke tempat yang sudah kita janjikan bertemu. Hingga kau tahu aku mengantarkan perempuan yang pernah aku resapi dalam batin ini menuju tempat les musik nya yang beberapa blok dari tempat perjumpaan kita.

Haruskah aku mengulang kata maaf untuk beberapa kalinya? Jikapun aku salah, tak pantaskah rasa mengalahku dapat dihapuskan oleh ketulusan hatimu untuk memberi senyum padaku? Sampai kapan aku harus berteriak jika aku hanya sekedar menolong bukan untuk memberikan jurang pengertian diantara kita.

Tatapan mu semakin tajam akanku. Semakin kurasakan getar di hati bahwa seperti apapun aku meminta maaf. Jika perempuan yang tersakiti hatinya tak kunjung reda memaki takdir. Hingga redup rasa di hati aku tak tahu apa yang terjadi. Kadang aku lebih suka ditampar oleh tangan lembutmu daripada tatapan itu.

Terus ku terka apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku memang jago untuk menerka apapun yang akan disampaikan oleh partner komedi ku saat kita berada di atas panggung komedi improvisasi dan dengan sigap untuk membalasnya kadang tanpa berpikir. Tapi, bagaimana bisa aku seperti itu? Aku tidak pernah berlatih untuk menghadapi gelombang kekalutan hubungan kita. Sampai nantipun aku hanyalah seorang manusia yang tak tahu kemana melangkah dan hanya bisa meraba.

Kau akhirnya bicara, Tentang bagaimana rasanya melihat dia dan aku saling tersenyum dalam rimbanya dunia.

“Tahukah kamu wahai kekasih? Rasa sakit bukanlah kemauan kita semua. Bahkan kaupun pernah berkisah tentang betapa resah hati seorang kekasih melihat sang pujangga masih saja menyimpan potret dengan masa lalunya. Entah bagaimana aku harus berujar. Mungkin aku salah terlalu dalam cemburu akan itu. Tapi, bukankah ada ruang bagi kita bercerita sebelum ada dia diantara ladang cinta kita?”

Aku tersontak. Bagaikan karang yang dihempas gelombang laut. Hatiku kalut. Aku tahu dia pencemburu, hingga aku menjaga jarak antara masa lalu dan hidupku kini. Jarak antara duka berbalut suka dengan cinta bertabur renjana. Kadang aku terlalu naïf untuk jujur akan rasa yang bergelora. Manusia setiap detiknya berubah. Tapi, apakah niatku hanya mengantarkan sang cinta lama berasal dari jiwa yang tak kunjung reda akan wajahnya. Ah mungkinkah aku adalah sebait sajak yang frasa awalnya tak beraturan. Hingga kucari dan bertemu pada Dila?

Tiba-tiba saja tanah tertumpah oleh air yang turun dari mata indah. Iya, kamu menangis. Tidak terisak. Tapi aku tahu hatimu tersedak akan laku ku. Bagaimana mungkin hati tak teriris tanpa ada belati menyayat. Kucoba memelukmu tapi kau menghindar. Apakah kau tidak merindukan peluk ku lagi? Atau apa? Apa yang bisa membuatmu kembali tersenyum dan mengecup kening ku seraya berujar kau dan aku laksana palung di samudera luas yang dalamnya tak kunjung berujung selayaknya hati kita.

Engkaupun menyeka air mata mu dan berbalik arah. Seakan kau tahu dimana jalan pulang menuju damai. Iya jalannya bukan ke arahku. Kemanapun itu kau yang tahu. Bisa jadi sendiri membatu atau bersama dia yang mencinta tanpa berbuat gila.

“Aku cinta padamu Randy, hingga batas waktu yang tak menentu. Kicauan burungpun sering menghiasi kisah cinta kita. Bagaimana mungkin aku melupakan itu. Hatiku laksana tentara Tuhan yang menyerbu tanah gersang dan langit kegelapan. Ia tahu kau dan aku bagaikan anak-anak yang Cuma tahu memiliki bukan membenci. Aku tidak ingin melupakanmu tapi mungkin aku yang serasa terhempas darimu. Biarkan aku melangkah berjalan menuju Tuhan ku. Yang lebih bisa ku cinta daripada pujangga seribu bahasa.”

Fani melangkah menjauh. Aku hanya bisa melepas dirinya dari pandangan. Entah dia mengatakan akhir dari kisah kita atau hanya sekedar menepi saja. Aku terpaku hingga dia hilang dari pandangan diantara para pejalan kehidupan. Sampai akhirnya aku tersadar. Dila ! iya aku harus menjemput dia sebelum dinginnya malam menyergap tubuh harumnya yang tak bersalah.

Ah, aku terlalu mudah jatuh ke dalam kubangan cinta!

(2015)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun