Selanjutnya kami terpilih mewakili Indonesia dalam kegiatan “Intel Education Visionaries Program and Kick-off” yang dilaksanakan di markas Intel di Santa Clara, California dan San Francisco pada tanggal 11 - 15 Oktober 2015. Kegiatan yang berlangsung selama empat hari tersebut sangat menarik dan interaktif memberikan kesempatan bagi para visioner di seluruh dunia untuk berkolaborasi, belajar sesuatu yang baru dan terinspirasi oleh siswa, pendidik lain dan para pengembang aplikasi di bidang pendidikan.
Menurut Liz Crawford, Lead Educator Advocate Intel® Education, kami terpilih karena dianggap memiliki kemampuan untuk dapat mengubah kelas, sekolah dan dapat mewarnai wajah pendidikan di Indonesia secara lebih luas. Penggunaan dan pemanfaatan teknologi dengan cara-cara baru dan inovatif, melaksanakan ide dan gagasan dalam bentuk kegiatan dan selalu berupaya menempatkan keberhasilan peserta didik sebagai tujuan akhirnya. Termasuk pula mengispirasi para pendidik dan pembuat kebijakan tentang betapa pentingnya penguasaan teknologi dalam pendidikan, berbagi ide dan pengalaman dalam pendidikan dan pembelajaran, membawa ide-ide dan kesempatan untuk guru dan siswa agar dapat memasuki dunia global serta membantu Intel Education untuk membentuk masa depan teknologi pendidikan di Indonesia.
Keberangkatan ke Amerika Serikat (USA) ternyata tidaklah mudah seperti halnya ketika kami mengikuti studi banding ke Malaysia atau Singapura, kendala awal yang kami hadapi adalah saat pengurusan Visa dimana kami harus melakukan dua kali pengajuan Visa baru disetujui. Namun demikian nasib kami sedikit lebih beruntung dibanding rekan kami bapak Made Mahendra dari Bali dimana telah mengajukan Visa sebanyak dua kali dan ditolak kedua-duanya, sehingga dari dua orang perwakilan Indonesia hanya tersisa kami sendiri. Untuk itu kami ucapkan terimakasih kepada Mrs. Liz Crawford (Intel Headquarter California) dan ibu Widyasari Listyowulan (Corporate Affairs Manager - Intel Indonesia) yang telah memberikan rekomendasi khusus ke kedutaan Amerika Serikat untuk pengurusan Visa di Jakarta termasuk bantuan pembiayaan pengurusan Visa tersebut.
Meski sebelumnya saya sudah pernah ke Malaysia dan Singapura, namun pengalaman ke Amerika merupakan pengalaman pertama dan sangat berbeda karena ini kali pertama saya menaiki pesawat Jumbo sejenis Boeing 777-200. Perjalanan sampai tiba di Hotel Hilton - Santa merupakan perjalanan traveling terpanjang yang pernah saya alami, berangkat dari Samarinda tanggal 10 Oktober pukul 07.00 pagi menggunakan mobil carteran dan tiba di Balikpapan pukul 09.30 kemudian boarding pukul 10.20 menggunakan Silk Air menuju Singapura, setelah transit di Singapura selama 4 jam kemudian melanjutkan penerbangan menggunakan Singapore Airline menuju San Francisco dengan terlebih dahulu transit di Hongkong sekitar 1,5 jam.
Sesampainya di San Francisco dan membuat hati sedikit nearvous ketika melewati Imigrasi Amerika, ini kali pertama saya harus lepas sepatu dan ikat pinggang untuk melintasi sebuah negara, benar - benar pengalaman ini saya alami sendiri dan hanya sendiri mulai dari pengurusan Visa hingga kembali ke tanah air. Dari San Francisco saya masih harus menempuh jalur darat ke kota Santa Clara dimana kegiatan akan dibuka. Ketika saya tiba di hotel saya mencoba melihat jam tangan saya dan mencoba menghitung waktu perjalanan yang saya tempuh dari Samarinda ke Santa Clara hampir 31 Jam, namun karena selisih waktu antara Indonesia dengan Amerika sekitar 12 jam lebih lambat maka saya tiba di Amerika saat itu masih ditanggal yang sama yakni 10 Oktober 2015 pukul 23.00.
Sebuah acara Welcome Dinner yang diselenggarakan oleh Intel Education Lead Educator Advocate Liz Crawford dilaksanakan di Hilton Santa Clara Coastal Ballroom pada tanggal 11 Oktober 2015 pukul 18.00 hingga selesai. Para Visioner disambut oleh Intel Education Curriculum Designers dari seluruh dunia dan John Galvin (The General Manager of Intel Education). Jumlah peserta (visionaries/visionary) adalah 40 orang yang berasal dari 33 negara.
Hari pertama dimulai dengan gambaran Intel Education Programs yang disampaikan oleh Intel Education’s General Manager John Galvin. John Galvin memberi penekanan pada Intel’s Education Transformation Model yakni Sukses Peserta Didik, Pembelajaran Profesional, Penelitian dan Evaluasi, Sumberdaya yang mencukupi, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Kurikulum dan Penilaian, Kebijakan serta Kepemimpinan. Model tersebut mencerminkan bukti - praktik terbaik berdasarkan yang muncul dari kolaborasi Intel dengan sekolah dan pemerintah untuk menjalankan Transformasi Pendidikan.
Setelah paparan John Galvin mengenai Intel Education Program, Liz Crawford, Intel Education Visionaries Program Manager, menjadi host dalam diskusi panel dengan tema “Amazing Student Innovators”. Para Student Inovator berbagi mengenai pandangan mereka dalam hal membuat, menciptakan dan berinovasi dengan teknologi. Seorang pelajar menyatakan bahwa 'Setiap siswa di kelas dapat menjadi kreatif', sekolah seharusnya menyediakan lingkungan yang mendukung untuk mengembangkan kreativitas dalam setiap diri peserta didik. Student Inovator juga menantang para pendidik untuk melihat bagaimana mereka menilai prestasi siswa dengan obyektif, banyak siswa yang tidak begitu baik dalam ujian tetapi mereka seorang inovator dan kreatif.
Dalam diskusi student innavator tersebut juga terungkap bahwa disekolah, mereka diajarkan computer science (TIK) mereka menulis program (coding) dan mereka dilatih untuk membuat robot-robot sederhana. Computer Science melatih peserta didik untuk berfikir kritis dan komputasi (computational thinking/CT), berfikir komputasi adalah sebuah pendekatan dalam proses pembelajaran. CT memang memiliki peran penting dalam pengembangan aplikasi komputer (coding), namun CT juga dapat digunakan untuk mendukung pemecahan masalah disemua disiplin ilmu, termasuk humaniora, matematika dan ilmu pengetahuan. Siswa yang belajar dimana CT diterapkan dalam kurikulum (proses pembelajaran) dapat mulai melihat hubungan antara mata pelajaran, serta antara kehidupan di dalam dengan di luar kelas.
Dalam kesempatan tersebut kami sempat bertanya kepada para Student Inovator tersebut, apakah mereka menyukai mata pelajaran Computer Science dan tanggapan mereka jika mata pelajaran Computer Science dihapuskan atau dihilangkan dari kurikulum di sekolah mereka. Dan jawaban mereka cukup kritis, bahwa mereka sangat menyukai Computer Science, Computer Science mengantarkan mereka menjadi Student Innovator, Computer Science juga membantu mereka dalam penguasaan mata pelajaran lainnya. Hampir semua student innovator menyatakan bahwa mereka berharap Computer Science tidak hilang dari kurikulum di sekolah mereka, meski mereka bisa mencari informasi dari banyak sumber yang ada mengenai computer atau technologi, namun jika Computer Science diajarkan tentu akan sangat baik dan lebih mempermudah mereka dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan technologi.
Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mengenai penghapusan Kurikulum 2013 disebabkan karena konten mata pelajaran TIK yang “out of date” mestinya disikapi dengan lebih arif dan bijaksana demi kepentingan nasional kita. Jika karena kontennya yang out of date, mestinya kontennyalah yang diperbaharui. Kontennya bukan hanya Using Technology seperti mengetik atau menggunakan aplikasi, namun lebih dari itu yakni “Membuat Aplikasi” atau making technology, coding dan konten-konten yang mengarah kepada berpikir komputasi, kreatifitas, membuat dan menganalisis.