Saat itu hari hampir gelap ketika chess/ketinting membawa kami menyusuri sungai sangatta, sungai yang tampak kecoklatan itu semakin tampak hitam ketika mulai memasuki kawasan hutan ditambah keadaan yang memang sudah menjelang magrib, yang terlihat di sisi kanan sungai hanyalah tebing-tebing tinggi dengan ketinggian 2-4 meter dari permukaan air sungai.
Suasana benar-benar mencekam, memasuki kawasan hutan menggunakan transportasi sungai yang konon penuh dengan buaya dan suasana sore menjelang malam yang gelap ditambah suara-suara aneka binatang hutan semakin membuat hening kami yang berada diatas kapal ketinting tersebut.
Tiba-tiba sang pengemudi ketinting berdiri dan berupaya menghindari sesuatu yang awalnya kami kira buaya namun ternyata hanyalah sebuah batang kayu yang hanyut terbawa arus. Celakanya kami sepertinya menabrak batang kayu tersebut, sehingga beberapa rekan yang duduk dibagian depan tampak panik karena ada air yang masuk kedalam kapal, akhirnya semua panik dan perlahan-lahan kapal ketinting itu dipenuhi dengan air.
Beberapa teman termasuk sang pengemudi kapal berlompatan dan berusaha berenang untuk mencari dan mencapai tepi sungai hingga akhirnya tinggal saya sendiri diatas kapal berdiri terpaku, terdiam tidak mengerti harus berbuat apa karena memang saya tidak bisa berenang, yang sempat terfikir dibenak saya bahwa hari itu adalah hari akhir hidup saya. Perlahan-lahan kapal mulai tenggelam, separuh kaki saya hingga lutut sudah berada didalam air namun tetap berada diatas kapal yang karam itu.
Beberapa detik berselang, hati saya tergerak untuk keluar dari kapal yang sudah karam itu dan berusaha berenang, ketika saya keluar dari kapal kaki saya langsung menyentuh tanah meski ketinggian air hampir mencapai leher saya, kemudian saya berjalan ketepi sambil melihat beberapa rekan tampak seperti masih berupaya berenang ketepi padahal didaerah karamnya kapal tersebut ternyata cukup dangkal. Dan ajaibnya ketika keesokan harinya kami melewati lokasi kejadian, merupakan satu-satunya lokasi dimana tidak terdapat tebing tinggi, lokasi itu ternyata sangat landai dan terdapat pasirnya bahkan masih tergambar jejak kaki kami kemarin sore.
Pesan yang ingin saya sampaikan bukan masalah saya tidak bisa berenang, bukan tentang " jika tragedi itu terjadi 1 menit sebelum atau 1 menit sesudahnya" dimana terdapat pusaran air yang deras dan dalam serta bukan mengenai keajaiban tidak ada buaya yang menghampiri kami saat itu. Melainkan pesan mengenai keselamatan perjalanan di laut (air).
Sejak kejadian itu ketika saya naik transportasi laut/sungai, saya selalu mencari posisi dan lokasi dimana jaket/pelampung berada, dimana ban berada, dimana perahu/skoci berada bahkan saya mencari benda-benda yang mungkin mengapung disekitar saya, seperti botol galon, botol air mineral besar dll. Karena saya berasumsi dalam keadaan panik semua akan berebut ke tempat lemari jaket/pelampung berada dan pasti akan terjadi hal-hal yang diluar dugaan, belum lagi mungkin kondisi peralatan keselamatan penumpang yang telah rusak karena tidak terawat.
Oke, selanjutnya saya ingin berbicara mengenai transportasi udara, gambar disamping adalah foto saya dapat sajian kelapa muda utuh dari Air Asia yang saat itu tengah menerbangkan saya dari Balikpapan menuju Kuala Lumpur-Malaysia. Sempat terfikir oleh saya, dimana tukang kelapanya ya ? wah pasti merepotkan sekali membuang kulit dan memotong kelapa tersebut didalam pesawat, hehehe maaf just kidding, karena bukan itu yang ingin saya bahas.
Saya pernah naik dua buah pesawat dengan jenis yang sama dari dua buah maskapai yang berbeda, maskapai pertama Maskapai yang masuk kategori LCC, total jumlah penumpang kedua pesawat tersebut berbeda, terpaut selisih mencapai 15-30 orang (mungkin) setelah saya amati ternyata jarak antara kursi penumpang yang berbeda, pernah saya ukur untuk yang LCC hampir-hampir tidak ada jarak antara lutut saya dengan kursi dibagian depan, sedangkan yang Non-LCC ada jarak sekitar satu jengkal antara dengkul dengan kursi dibagian depan.
Mungkin anda akan mengatakan bahwa namanya juga murah ya wajarlah duduknya sedikit mepet-mepetan. Sebenarnya bukan itu pesan yang ingin saya sampaikan, yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana saat kondisi darurat dan kebetulan anda duduk dibagian tengah atau disisi bagian jendela, pernahkah anda coba untuk menjangkau jaket pelampung (Lifejacket) yang berada dibawah kursi anda dengan kondisi sempit ? Tentu sangat sulit sekali apalagi dalam kondisi darurat dan panik (belum lagi jika ternyata jacket tersebut memang tidak ada ditempatnya)!
Saya pernah mencoba mengambil Jaket Pelampung dalam kondisi normal ternyata masih cukup sulit, malah sering teraba kantung dimana jaket tersebut tergantung dibawah kursi. Disisi lain saya tidak cukup yakin jika dalam kondisi darurat, andaipun saya bisa meraih dan mengambil jaket tersebut, maka jaket tersebut bisa saya pakaikan kebadan saya. Andaipun bisa dipakai, sayapun tidak begitu yakin bagaimana menggunakannya, karena ketika para pramugari melakukan demo penggunaan hanyalah sebuah "demo semu" yang tidak realistik dan faktual. Ketika saya naik maskapai "plat merah" dimana terdapat demo dalam bentuk audio-video, baru saya sedikit lebih memahami prosedurnya. Mungkin saya murid yang susah belajar jika tidak menggunakan audio-visual atau Apa mungkin karena yang saya perhatikan selama ini adalah pramugarinya, bukan demo yang dia lakukan, hehehehe becanda lagi.