Pak Arif menatapnya sejenak, "Sudah, bawa saja tasmu ke ruang guru. Semua siswa akan ikut."
Amir berjalan dengan ragu menuju ruang guru, perasaan cemas semakin menguasai dirinya. Razia seperti ini biasanya dilakukan untuk memeriksa apakah ada siswa yang membawa barang-barang terlarang ke sekolah. Ponsel, meskipun bukan barang terlarang, tetap menjadi hal yang dilarang di sekolah karena bisa mengganggu fokus belajar. Amir sudah mendengar banyak cerita tentang teman-temannya yang pernah dihukum karena kedapatan membawa ponsel.
Sesampainya di ruang guru, terlihat sudah banyak siswa yang duduk dengan gelisah, membawa tas mereka masing-masing. Guru-guru sudah duduk di meja panjang, menunggu dengan ekspresi serius. Pak Arif mempersilakan Amir duduk di salah satu kursi kosong.
"Tenang saja, Amir. Ini hanya pemeriksaan rutin. Semua akan baik-baik saja," Pak Arif mencoba memberi semangat, meskipun Amir tahu bahwa kata-kata itu tidak sepenuhnya menghilangkan rasa takutnya.
Satu per satu, siswa diminta membuka tas mereka untuk diperiksa. Amir merasa tubuhnya mulai keringat dingin. Ia tidak bisa membayangkan jika ponselnya ditemukan. Sepertinya semua orang akan tahu ia melanggar aturan. Dan yang lebih buruk, bisa saja ia akan mendapat teguran keras dari kepala sekolah. Ia menggigit bibir, berusaha menenangkan diri.
Amir menatap meja guru yang semakin ramai dengan barang-barang yang telah dikeluarkan dari tas teman-temannya. Ada buku, pulpen, dompet, dan beberapa benda lainnya. Namun, yang paling membuatnya khawatir adalah ketika melihat teman-temannya yang ketahuan membawa ponsel. Beberapa dari mereka langsung dipanggil oleh kepala sekolah dan diminta untuk menandatangani surat peringatan.
Tiba giliran Amir. Dengan hati berdebar, ia berdiri dan membawa tasnya ke depan. Tangannya gemetar saat ia membuka ritsleting tas, mengambil barang-barang satu per satu. Hatinya terasa semakin panik. Semua barang sudah dikeluarkan, kecuali ponsel yang tersembunyi di dalam kantong kecil. Begitu ia mengeluarkan ponselnya, dunia seakan berhenti sejenak. Semua mata tertuju pada benda itu.
"Amir!" suara Kepala Sekolah, Bu Rina, terdengar keras. "Kenapa kamu membawa ponsel ke sekolah?"
Amir menunduk, tak bisa menjawab. Ia hanya merasa malu dan cemas. "Saya... saya minta maaf, Bu," jawabnya pelan, berusaha menahan air mata yang hampir keluar.
Bu Rina menghela napas panjang, menatap Amir dengan tatapan kecewa. "Kamu tahu kan, peraturan sekolah melarang membawa ponsel ke sini? Apa alasanmu sampai membawa ponsel?"
Amir tak bisa berkata apa-apa. Ia merasa bersalah, menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah pelanggaran yang merugikan dirinya sendiri. "Saya hanya... saya hanya ingin membantu teman menyalin tugas, Bu," ujarnya dengan suara gemetar.