Mohon tunggu...
Fathur Novriantomo
Fathur Novriantomo Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Seringnya menulis soal film.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kisah Pulang ke Bioskop: Penantian Panjang yang Tetap Tidak Pasti

23 Maret 2021   18:30 Diperbarui: 24 Maret 2021   05:34 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pintu teater 1 telah dibuka, para penonton yang telah memiliki karcis, dipersilahkan memasuki ruangan teater”

Setelah satu tahun lamanya, akhirnya saya bisa mendengar pengumuman tersebut kembali berkumandang.

Senang bisa kembali ‘pulang’ ke bioskop pada Senin, 22 Maret 2021, mengingat pemerintah setempat baru memperbolehkan bioskop untuk beroperasi kembali pada Kamis, 18 Maret 2021. 

Agak telat jika dibandingkan dengan kota-kota lain yang telah mengoperasikan jaringan bioskopnya pada November 2020.

Diketahui, pemkot setempat memberikan izin dibukanya kembali bioskop dengan harapan bisa memulihkan sektor perekonomian pada bidang hiburan.

Sejalan dengan harapan pemkot, kembalinya bioskop tentu membuka jalan kebangkitan industri perfilman Indonesia yang sudah babak belur dan terpaksa hiatus cukup lama. 

Selama bioskop ditutup, rumah-rumah produksi film terpaksa berkompromi dengan fenomena ‘digitalisasi sinema’ demi memutar roda pendapatan dan mempertemukan film dengan penontonnya lewat warung streaming.

Walapun pada akhirnya, kompromi tersebut berbuntut pada masalah lain seperti pelanggaran hak cipta dan pembajakan yang semakin mewarnai duka industri perfilman.

Tidak hanya rumah produksi, semua insan yang menggerakan industri film Indonesia tentunya terdampak perekonomiannya, tidak terkecuali para pekerja bioskop.  

Di sisi lain, dibukanya kembali bioskop tidak serta-merta membuat masyarakat langsung ingin mencicipi kembali cinema experience di bioskop. Respon masyarakat di sosial media terhadap pengumuman kembalinya bioskop di kota saya, sungguh beragam. 

Beberapa dari mereka menyambut antusias untuk bisa kembali ke bioskop, sedangkan beberapa lainnya menyepelekan dan memposisikan bioskop sebagai prioritas yang salah untuk kembali dibuka.

Wajar ketika masyarakat memandang kebutuhan hiburan seperti film sebagai kebutuhan tersier. Selayaknya sebuah kebutuhan tersier, pemenuhannya tentu terserah pada pribadi masing-masing. 

Namun jika melihat lebih luas, banyak sekali para pekerja film yang menggantungkan kebutuhan primer dan sekundernya pada industri film.

Tentu adil jika melihat bioskop kembali dibuka untuk memulihkan perekonomian para pekerjanya, layaknya kantor-kantor, restoran, swalayan dan tempat layanan publik lainnya.

Alasan lainnya adalah masyarakat masih banyak yang takut kembali ke bioskop walaupun sudah menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Mengetahui alasan tersebut tentu kita semua sepakat, urusan kesehatan dan keselamatan selalu menjadi prioritas setiap orang. 

Sejak kedatangan virus corona di Indonesia, masyarakat menyimpan keraguan terhadap keamanan kesehatan mereka dan ketidakpastian turut mewarnai penanganan virus brengsek yang telah satu tahun menetap. 

Kemudian timbul pertanyaan, apakah protokol kesehatan di bioskop telah diimplementasikan secara disiplin oleh pihak bioskop dan para penonton?

Sebenarnya, penerapan protokol kesehatan tidak mengganggu atau mengurangi cinema experience ketika menonton di bioskop. Namun sayangnya, ketika saya ‘pulang’ ke bioskop, pengalaman menonton saya justru terganggu akibat penonton lain yang melanggar protokol kesehatan di dalam studio teater. 

Selama di luar studio teater, protokol kesehatan seperti pengecekkan suhu tubuh, pengisian formulir tracing, penyediaan transaksi non-tunai, dan pembatasan jarak cukup disiplin diterapkan.

Namun, ketika memasuki studio teater, terlihat beberapa orang masih leluasa membuka masker, makan dan minum, bahkan duduk berdempetan pada seat yang ditandai “X” sebagai penanda jarak antar seat penonton. 

Tentu pelanggaran seperti itu akibat dari betapa dungunya si oknum penonton dan kurangnya pengawasan dari pihak bioskop di dalam studio teater.

Bukan tanpa tindakan, tentu saya langsung melaporkan kejadian tersebut kepada petugas bioskop dengan harapan pengawasan dalam studio teater bisa ditingkatkan.

Bentuk pelanggaran tersebut membuat saya kembali mempertanyakan kepastian dari upaya preventif protokol kesehatan yang diterapkan di bioskop.

Tentu sebagai penikmat film, saya sangat amat mendukung kampanye kembali ke bioskop demi bangkitnya industri perfilman Indonesia. Wacana penerapan protokol kesehatan yang ketat turut digaungkan pada kampanye kembali ke bioskop, dengan tujuan agar membuat masyarakat merasa aman untuk kembali ke bioskop. 

Namun, jika penerapan protokol kesehatan dari pihak bioskop dan dari masyarakat tidak maksimal, maka itu semua tetap berujung pada ketidakpastian.

Jika terus dibiarkan, akan sangat menakutkan bila terdapat kasus penularan dalam gedung bioskop yang diakibatkan kelalaian dua belah pihak, mengingat protokol kesehatan bukanlah hal yang baru dalam penerapannya.

Tentu akan menjadi mimpi buruk berkepanjangan bagi industri film Indonesia bilamana bioskop harus ditutup kembali.

Tanpa bermaksud menggeneralisasi, tentu tidak semua bioskop blunder dalam penerapan protokol kesehatannya. Bisa jadi hanya bioskop yang saya kunjungi, bisa jadi bioskop lainnya tidak, dan bisa jadi pula banyak bioskop lain yang blunder juga, eh?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun