Mohon tunggu...
Fathur Novriantomo
Fathur Novriantomo Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Seringnya menulis soal film.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Istirahatlah Kata-Kata: Mengenang Keberadaan Wiji Thukul di Hari Ulang Tahunnya

23 Agustus 2020   18:08 Diperbarui: 23 Agustus 2020   21:46 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunawan Maryanto berperan sebagai Wiji Thukul dalam film Istirahatlah Kata-Kata (sumber: Rappler.com)

Tanggal 23 Agustus 2020, menginjak 57 tahun usia Wiji Widodo alias Wiji Thukul, sang penyair yang dinyatakan hilang pada 23 Juli 1998. 

Wiji Thukul dikenal sebagai seorang penyair dan aktivis kemanusiaan yang kerap menusuk rezim Soeharto dengan sajak-sajak satir karyanya. Ia dianggap sebagai seorang 'kiri' karena telah berani menyuarakan hak berdemokrasi sebagai bentuk perlawanan kepada rezim Soeharto. 

Bahkan hingga 22 tahun berlalu sejak berita kehilangan tentangnya digaungkan, Wiji belum juga muncul atau ditemukan. Wiji Thukul dinyatakan hilang setelah serangkaian pelarian yang ia lakukan, dari rumah ke rumah, dari kota ke kota, dari provinsi ke provinsi, hingga dari satu identitas ke identitas lainnya. Kisah pelarian Wiji Thukul diangkat ke sebuah film berjudul Istirahatlah Kata-Kata yang dirilis pada tahun 2017

Film Istirahatlah Kata-Kata memotret kisah pelarian Wiji Thukul yang diburu oleh tentara-tentara rezim Orde Baru pasca kerusuhan 27 Juli 1996 (atau dikenal dengan peristiwa KUDATULI) dalam rentang waktu tahun 1996 hingga akhir tahun 1997. 

Pasca peristiwa KUDATULI, Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan semua organisasi yang menjadi satu aliansi dengan PRD dituding sebagai dalang dari peristiwa tersebut. 

Wiji Thukul saat itu menjadi ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), salah satu organisasi yang menjalin hubungan dengan PRD. Dari situ lah perjalanan menggembara dalam pelarian Wiji Thukul dimulai.

"Mas, kenapa nama sampeyan masuk daftar? Apa hanya karena puisi-puisi?"

Sutradara sekaligus penulis skenario untuk film Istirahatlah Kata-Kata, Yosep Anggi Noen memilih masa pelarian dan persembunyian dalam mengangkat kisah sang penyair yang hilang ini. 

Film ini mengambil perspektif Wiji Thukul sebagai seorang penyair dan aktivis yang kemudian menjadi seorang buronan yang dikejar-kejar rezim dan harus bergelut dengan situasi. 

Selain itu, perspektif keluarga Wiji Thukul juga menjadi sorotan penting dalam film ini. Sipon dan kedua anaknya harus rela berpisah dari suami dan ayah mereka. 

Anggi Noen lebih memilih untuk menyorot kisah pelarian Wiji Thukul ketimbang kisah-kisah revolusioner sang penyair,  karena kisah pelariannya merupakan masa-masa krusial seorang Wiji Thukul yang harus memilih lari daripada masuk bui atau bahkan mati, sekaligus penggambaran betapa sintingnya rezim Orde Baru dengan segala kekuatan represifnya.

Film ini di buka dengan kisah pelarian pertama Wiji ke Pontianak, sebulan setelah  peristiwa Kudatuli terjadi. Di Pontianak, ia mengganti identitas sebagai Paul dan berpindah dari rumah satu ke rumah lainnya. 

Dalam kisah pelariannya, kita diajak merasakan keseharian Wiji Thukul yang sangat membosankan dan kesepian. Sepi, bosan, rindu dan takut, adalah perasaan-perasaan yang menyertai Wiji di masa pelariannya. Kesehariannya hanya ditemani oleh beberapa kawan, dan puisi-puisinya, kita bisa mendengar beberapa potongan puisi-puisi Wiji Thukul yang ikut mengiringi penceritaan dalam film ini.  

Selain itu, kita juga diajak merasakan ketakutan Wiji Thukul akan tentara-tentara rezim yang bisa saja main dor-dor ketika mengetahui identitas aslinya. 

Terucap pada adegan ketika Wiji Thukul dan kawannya Martin diserobot oleh seorang tentara yang ingin mencukur rambut, dan adegan saat Wiji Thukul dan Thomas dijegat oleh seorang pria gangguan jiwa yang mengaku-ngaku sebagai tentara.

"Rezim ini kan bangsat. Main dor! Dor! Dor! Tanpa pengadilan."

Dari perspektif keluarga Wiji Thukul, Sipon sang istri terpaksa harus mengurus kedua anaknya, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah seorang diri di rumah. Kondisi rumah mereka pun terasa mencekam karena seakan  'dipelototi' oleh aparat. 

Bahkan di adegan awal film, sudah diperlihatkan para aparat menyita buku-buku milik Fitri pemberian dari Ayahnya dan mengintrogasi mereka di rumah. Sama halnya dengan Wiji, Sipon pun merasa rindu dengan Wiji. Sesekali Sipon harus pergi ke sebuah telepon umum untuk berkomunikasi dengan Wiji di Pontianak. 

Bahkan pada suatu kesempatan, Sipon harus diam-diam pergi ke hotel tempatnya dan Wiji bertemu, hingga ia harus rela digosipkan sebagai 'wanita panggilan' akibat kepergok tetangganya ketika ia pergi ke hotel. Rela menjadi single parent dan dihujani gosip yang tidak-tidak oleh tetangganya harus di rasakan Sipon.

Setelah pertemuan singkat Wiji dan Sipon di rumah mereka, Pada Feruari 1997 Wiji kembali ke Pontianak. Tak lama setelah itu, Ia mengikuti gerakan untuk menggulingkan rezim Soeharto. Anehnya, setelah Soeharto berhasil dilengserkan, keberadaan Wiji Thukul malah menjadi pertanyaan hingga sekarang.

Pendekatan naratif yang digunakan oleh Anggi Noen berhasil membuat film ini terasa dekat dan realis. Pemilihan penuturan sekuen cerita dengan pacing yang lambat.

Retorika kamera yang banyak mengandalkan long take dan still shot, serta banyaknya penggunaan ambience sebagai suara latar adegan sangat mendukung penggambaran bagaimana kehidupan Wiji Thukul yang kesepian dan membosankan. Kita seakan diajak menyaksikan langsung apa yang dilakukan Wiji Thukul di kesehariannya saat masa pelarian. 

Anggi Noen juga piawai dalam menyelipkan metafora-metafora melalui bahasa visual dan pengadeganan. Jajaran pemain yang memerankan para tokoh pun bermain dengan sangat apik, terutama Gunawan Maryanto yang memerankan sosok Wiji Thukul dengan gaya bicara pelo khas Wiji.

"Aku ora pingin kowe lungo, aku yo ra pingin kowe mulih. Aku mung pingin kowe ono" -Sipon

Film ini menjadi pengingat bahwa dulu pernah ada masa dimana demokrasi tidak dibiarkan ada, dan semua yang memperjuangkannya harus bertaruh nyawa. Mereka-mereka yang memperjuangkan hak berdemokrasi banyak yang dibungkam, ditelan rezim, dan hingga hari ini belum jelas kemana mereka ‘dibawa’. Mereka-mereka ini mungkin tidak banyak dikenal oleh masyarakat, bahkan tidak ada di dalam buku pelajaran sejarah, namun kebebasan berdemokrasi saat ini, tentunya tidak terlepas dari perjuangan para aktivis di masa lalu. Sayangnya, kasus-kasus penghilangan paksa para aktivis 98 tidak pernah diusut tuntas hingga hari ini. 

Film Istirahatlah Kata-Kata bisa disaksikan secara legal lewat situs Bioskoponline.com

Selamat ulang tahun Wiji Thukul, sosokmu mungkin tak ada, namun puisi-puisimu takkan pernah binasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun