Fathul Bari
Â
Pendahuluan
Para pendiri bangsa ini sejak dahulu telah menanamkan nilai-nilai ekologis. Salah satunya Pangeran Diponegoro memberikan instruksi kepada para ulama dan kiai untuk menanam pohon sawo kecik di pesantren dan masjid sebagai tanda rahasia bagi pasukannya untuk berkumpul dan berlindung dari penjajah Belanda. Tindakan ini bukan hanya strategi perlawanan fisik, tetapi juga sebuah simbol filosofis yang dalam. Pohon sawo kecik melambangkan "sarwa becik" atau "segala yang baik," mengekspresikan nilai keadilan sosial. Makna ini menunjukkan keinginan untuk menciptakan tatanan sosial yang adil dan seimbang, di mana setiap orang dilindungi dari ketidakadilan penjajahan. Pohon ini juga merupakan lambang persatuan dan ketangguhan, di mana komunitas berkumpul untuk memperjuangkan kebebasan bersama.
Nilai keadilan ekologis juga tercermin dalam simbolisme pohon sawo. Penanaman pohon sebagai tanda perlawanan menekankan pentingnya hubungan manusia dengan alam dalam konteks sosial dan politik. Alam bukan hanya sebagai tempat perlindungan fisik tetapi juga sebagai bagian integral dari perjuangan untuk kedaulatan dan kelestarian lingkungan. Pohon sawo berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem dan pelindung bagi manusia, mengajarkan bahwa perjuangan untuk keadilan harus mencakup keharmonisan dengan alam.
Pohon sawo memiliki makna filosofis dalam budaya Jawa, melambangkan "sarwa becik" (segala yang baik) dan juga mengandung pesan persatuan dan ketangguhan. Selain itu, kata "sawo" dikaitkan dengan istilah Arab "sawwu shufuufakum," yang berarti "luruskan barisanmu," menegaskan pentingnya kesatuan dalam perjuangan. Tanaman ini kemudian menyebar di berbagai daerah sebagai simbol perlindungan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Namun Tindakan pemimpin yang demikian saat ini telah jarang, justru yang ada degradasi nilai ekologis serta demikian pula terjadi para pereduksian makna terhadap dasar negara.
Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, telah mengalami pereduksian makna yang signifikan sepanjang sejarahnya. Sejak perumusan awalnya, esensi Pancasila telah sering kali disederhanakan, mulai dari pengertian yang luas menjadi sekadar 'Kebhinekaan' semata. Padahal, kebhinekaan itu sendiri sering kali merujuk pada perbedaan yang menonjol. Ketika kita mengedepankan perbedaan sebagai fokus utama, kita sebenarnya hanya merawat perpecahan, bukan menciptakan persatuan. Proses pereduksian ini mengabaikan kedalaman dan kekayaan makna yang terkandung dalam setiap sila, terutama pada aspek "Bhinneka Tunggal Ika" yang sesungguhnya mengandung dimensi kesatuan dalam keragaman, bukan hanya sekadar keberagaman. Maka dengan memusatkan perhatian pada prinsip ini, kita berpotensi kehilangan makna mendalam dari kesatuan dan tujuan bersama yang sebenarnya merupakan inti dari Pancasila itu sendiri. Â
Frasa dari sesanti dalam Bhinneka Tunggal Ika yang secara utuh yakni :
"Rwaneka datu winuwus wara Buddha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa,"
Konon dikatakan bahwa wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda, namun bagaimana kita mengenali perbedaannya dalam selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua.
Sesanti tersebut menggambarkan esensi mendalam dari "Bhinneka Tunggal Ika" yang sering kali dipandang hanya sebagai prinsip keragaman. Sesanti ini seharusnya tidak hanya dipahami sebagai kebhinekaan, tetapi sebagai kesatuan yang mendalam dalam keragaman, menyiratkan bahwa berbagai perbedaan dalam konteks yang lebih luas tetap bersatu dalam tujuan dan nilai yang sama.
Menekankan kebhinekaan saja tanpa memperhatikan kesatuan yang mendalam dapat memperdalam jurang pemisah antara kelompok-kelompok sosial. Hal ini berpotensi menyebabkan ketidakadilan sosial, dimana beberapa kelompok merasa terpinggirkan atau tidak terwakili dalam kebijaka dan sistem yang ada. Sedangkan di dalam konteks ekologis, fokus semata pada perbedaan juga mengabaikan perlunya pendekatan holistik dan integratif untuk menangani masalah lingkungan. Maka dengan memahami "Bhinneka Tunggal Ika" sebagai kesatuan dalam keragaman, kita mendorong pendekatan yang lebih menyeluruh dan kolaboratif, yang lebih efektif dalam mencapai keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis.
Pereduksian Makna dan Implikasinya
Pada beberapa dekade terakhir, konsep "Bhinneka Tunggal Ika" sering kali tereduksi menjadi sekadar penghargaan terhadap keragaman atau pluralisme. Ini merupakan pandangan yang statis dan terfokus pada perbedaan tanpa menyadari integrasi dan harmoni yang mendalam yang menjadi inti dari sesanti tersebut. Penekanan yang berlebihan pada pluralisme bisa menyebabkan pandangan yang cenderung mengagungkan kebebasan individu tanpa memperhitungkan kebutuhan akan kesatuan dan kerja sama. Padahal, "Bhinneka Tunggal Ika" jauh lebih dinamis daripada sekadar pluralisme. Ia mencerminkan suatu elan romantika kejayaan masa lalu dan semangat dasar persatuan untuk mencapai cita-cita nasional bersama.
Sesanti ini menggambarkan adanya keragaman yang diikat oleh perjuangan bersama. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada berbagai perbedaan, tujuan utama adalah mencapai kesatuan dan harmonisasi yang lebih besar. Pada konteks ini, penting untuk mengingat bahwa makna sesanti "Bhinneka Tunggal Ika" harus dipertahankan secara utuh, yaitu tidak hanya pada aspek kebhinekaan tetapi juga pada aspek kesatuan yang mendasarinya.
Keadilan Sosial dan Ekologis dalam Konteks Bhinneka Tunggal Ika
Pada praktik implementasinya, "Bhinneka Tunggal Ika" harus mencakup prinsip-prinsip keadilan sosial dan ekologis. Keadilan sosial berarti mengatasi ketidakadilan yang ada dalam masyarakat dan memastikan bahwa semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Keadilan ekologis, di sisi lain, melibatkan perlindungan dan pelestarian lingkungan untuk memastikan bahwa sumber daya alam dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Mengintegrasikan kedua prinsip ini dalam kerangka "Bhinneka Tunggal Ika" berarti melihat keragaman bukan hanya sebagai sesuatu yang harus dihargai, tetapi sebagai sesuatu yang harus dipahami dan dikelola dalam konteks kesatuan yang lebih besar.
Keadilan sosial dan ekologis bukan hanya tentang menghargai perbedaan, tetapi tentang menciptakan struktur yang memungkinkan semua individu dan komunitas berfungsi secara optimal dalam konteks lingkungan mereka. Ini melibatkan upaya kolektif untuk mengatasi masalah-masalah seperti ketidaksetaraan ekonomi, kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Kesatuan dalam keragaman, menurut sesanti ini, berarti bahwa semua perbedaan harus dipadukan dalam upaya bersama untuk mencapai kesejahteraan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Implementasi dalam Praktik
Mengatasi pereduksian makna "Bhinneka Tunggal Ika" memerlukan langkah-langkah konkret dalam kebijakan dan praktik sehari-hari. Pertama, penting untuk mengedukasi masyarakat tentang makna sesanti ini secara utuh, termasuk aspek kesatuan yang mendalam dalam keragaman. Pendidikan ini harus mencakup pemahaman tentang bagaimana keragaman dapat diintegrasikan dalam kerangka kesatuan yang produktif.
Kedua, kebijakan harus dirancang untuk mencerminkan integrasi prinsip-prinsip keadilan sosial dan ekologis. Misalnya, kebijakan pembangunan yang inklusif harus memastikan bahwa semua kelompok masyarakat memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan peluang, sementara kebijakan lingkungan harus mempromosikan pelestarian sumber daya alam dan pengurangan dampak lingkungan.
Ketiga, perlu adanya kerja sama antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat sipil dan sektor swasta, untuk menciptakan solusi yang mengintegrasikan keragaman dengan prinsip kesatuan. Ini termasuk kolaborasi dalam proyek-proyek pembangunan berkelanjutan dan inisiatif sosial yang bertujuan untuk mengatasi ketidakadilan dan kerusakan lingkungan.
Kesimpulan
Makna asli dari "Bhinneka Tunggal Ika" harus dipertahankan sebagai prinsip yang mencakup baik keragaman maupun kesatuan. Pereduksian makna hanya pada kebhinekaan tanpa mempertimbangkan aspek kesatuan dapat mengarah pada pemahaman yang sempit dan kurang produktif. Maka hanya dengan cara mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan sosial dan ekologis dalam praktik sehari-hari, kita dapat memastikan bahwa "Bhinneka Tunggal Ika" tidak hanya menjadi slogan, tetapi sebuah pedoman yang hidup dan dinamis dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan. Kita sudah selesai dengan kerangka pemahaman tentang perbedaan. Saat ini yang kita perlukan sekarang adalah mengarahkan potensi perbedaan tersebut menuju kesatuan gerak lahir batin untuk melangkah, bekerja dan berjuang bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H