Mohon tunggu...
fathul geograf
fathul geograf Mohon Tunggu... Editor - Suka Menulis

Agar saya tetap dapat berkarya dan memperbaiki karya saya, maka mohon komentarnya dan like.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jejak Karbon Pemilu: Menghadapi Tantangan Menuju Proses Pemilu Ramah Lingkungan Melalui Pendekatan Ekologis

2 September 2024   12:37 Diperbarui: 2 September 2024   12:39 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fathul Bari, M.Pd

 

Pendahuluan

Pemilu atau pemilihan umum menjadi salah satu pilar penting dalam demokrasi yang memungkinkan warga negara memilih pemimpin mereka. Namun, pelaksanaan pemilu juga membawa dampak lingkungan yang signifikan. Salah satunya penggunaan kertas dalam jumlah besar untuk surat suara hingga energi yang dikonsumsi untuk kampanye dan logistik, proses pemilu menghasilkan jejak karbon yang besar. Pada konteks perubahan iklim yang semakin mendesak, penting untuk mempertimbangkan bagaimana pemilu dapat dilaksanakan dengan lebih ramah lingkungan.

Pada era krisis iklim yang semakin kritis, pemilu konvensional yang mengandalkan proses fisik seperti kertas surat suara, poster kampanye dan perjalanan untuk kampanye fisik berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon. Bayangkan saja jutaan surat suara yang dicetak, distribusi logistik yang melibatkan bahan bakar fosil, hingga rapat-rapat akbar yang menambah polusi. Semua ini tentu saja bisa menambah beban lingkungan. Inovasi dalam digitalisasi pemilu seperti pemungutan suara elektronik, kampanye digital dan pengurangan limbah cetak dapat menjadi solusi untuk meminimalisir jejak karbon. Namun, tantangan utamanya adalah bagaimana menjaga integritas dan keamanan proses pemilu sambil tetap memastikan bahwa infrastruktur digital yang digunakan juga berkelanjutan, tidak justru menciptakan bentuk baru dari jejak lingkungan, seperti dari penggunaan energi server besar-besaran yang tidak ramah lingkungan.

Pada saat pelaksanaan pemilu baik itu pemilihan umum daerah maupun pemilihan Presiden seringkali mengabaikan jejak karbon. Pemilu di Indonesia seringkali menggunakan peralatan kampanye yang tidak dapat di daur ulang seperti kertas surat sura harusnya dilakukan upaya ekonomi sirkular dalam penanggulangan sampah. Selain itu pemakuan iklan calon kandidat yang dilakukan oleh tim sukses pada pohon, akibatnya daya serang pohon terhadap karbon menjadi tidak maksimal.  Artikel ini akan membahas tantangan dalam mengurangi jejak karbon pemilu dan pendekatan ekologis yang dapat diadopsi untuk menciptakan proses pemilu yang lebih berkelanjutan.

Jejak Karbon dalam Proses Pemilu

Jejak karbon pemilu, yang mencakup total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari berbagai aktivitas terkait pemilihan, adalah masalah lingkungan yang kian mendesak. Produksi material pemilu seperti surat suara, poster, dan spanduk memerlukan kertas dan plastik dalam jumlah besar, yang pada gilirannya memicu emisi karbon signifikan. Studi oleh Smith et al. (2021) menunjukkan bahwa pembuatan alat peraga kampanye serta distribusi logistik pemilu adalah salah satu kontributor terbesar emisi ini. Kegiatan kampanye yang tidak dikelola dengan baik, ditambah dengan iklan yang boros sumber daya, hanya memperburuk masalah ini, menambah beban lingkungan yang semakin berat.

Selain itu, transportasi berbahan bakar fosil yang digunakan untuk memobilisasi pemilih dan petugas pemilu serta distribusi logistik memperparah jejak karbon yang dihasilkan. Penggunaan energi di tempat pemungutan suara, kantor pemilu dan selama kampanye yang sebagian besar masih mengandalkan sumber energi tidak terbarukan juga berkontribusi besar terhadap emisi karbon. Semua ini menunjukkan bahwa tanpa pengelolaan yang efektif, pemilu dapat menjadi sumber pencemaran lingkungan yang serius dan upaya pengurangan jejak karbon dalam proses demokrasi ini harus segera diprioritaskan.

Tantangan dalam Mengurangi Jejak Karbon Pemilu

Mengurangi jejak karbon dalam pemilu menghadapi tantangan signifikan, terutama karena ketergantungan yang masih tinggi pada material fisik seperti kertas dan plastik untuk surat suara dan alat kampanye. Meskipun digitalisasi telah mulai diterapkan, banyak negara belum sepenuhnya beralih dari penggunaan material yang memicu emisi karbon tinggi. Selain itu, mobilitas dan transportasi yang masih didominasi oleh bahan bakar fosil menambah beban lingkungan, terutama karena infrastruktur ramah lingkungan belum merata. Rendahnya kesadaran akan dampak lingkungan dari pemilu serta minimnya kebijakan yang mendorong praktik ramah lingkungan semakin memperparah tantangan ini.

Tantangan-tantangan ini menggarisbawahi perlunya reformasi mendalam dalam pelaksanaan pemilu, yang harus dimulai dari pengurangan ketergantungan pada material fisik menuju pemanfaatan teknologi digital yang lebih luas. Perubahan kebijakan yang tegas diperlukan untuk mendorong adopsi praktik ramah lingkungan, mulai dari transportasi hijau hingga pengelolaan energi terbarukan selama proses pemilu. Tanpa upaya ini, pemilu akan terus menjadi sumber signifikan dari kerusakan lingkungan, yang ironisnya justru merusak fondasi keberlanjutan yang seharusnya diperjuangkan oleh demokrasi itu sendiri.

 

Pendekatan Ekologis untuk Pemilu Ramah Lingkungan

Untuk mengatasi tantangan dalam mengurangi jejak karbon pemilu, pendekatan ekologis harus diintegrasikan ke dalam seluruh tahapan pemilu. Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah digitalisasi proses pemilu, seperti yang berhasil dilakukan di Estonia dengan e-voting sejak tahun 2005, yang terbukti mengurangi penggunaan material fisik dan emisi karbon (Turoff et al., 2019). Selain itu, penggunaan material ramah lingkungan seperti kertas daur ulang atau bahan biodegradable untuk surat suara dan alat kampanye dapat membantu mengurangi dampak lingkungan. Tidak hanya itu, tinta yang ramah lingkungan juga perlu dipertimbangkan untuk mengurangi potensi polusi.

Selanjutnya, transportasi berkelanjutan dan energi terbarukan juga harus menjadi prioritas. Mendorong penggunaan transportasi berbasis listrik atau transportasi massal selama pemilu akan signifikan dalam mengurangi emisi karbon. Contoh lainnya adalah dengan menerapkan kebijakan lingkungan yang mewajibkan penggunaan energi terbarukan di kantor pemilu dan tempat pemungutan suara, seperti pemasangan panel surya. Akhirnya, penerapan kebijakan lingkungan yang ketat, yang mengharuskan penyelenggara dan peserta pemilu mempertimbangkan dampak lingkungan dalam setiap tahapan pemilu, menjadi langkah penting untuk mewujudkan pemilu yang lebih ramah lingkungan.

Studi Kasus: Pemilu Ramah Lingkungan di Beberapa Negara

Beberapa negara telah memulai langkah-langkah menuju pemilu yang lebih ramah lingkungan. Contohnya India di dalam pemilu 2019, Komisi Pemilihan India mengadopsi langkah-langkah untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai selama kampanye. Mereka juga mendorong partai politik untuk menggunakan bahan kampanye yang dapat didaur ulang (Sharma, 2020). Estonia juga telah memimpin dalam penggunaan e-voting, yang tidak hanya meningkatkan efisiensi tetapi juga mengurangi jejak karbon yang terkait dengan penggunaan material fisik (Turoff et al, 2019). Selanjutnya, Brasil telah mengimplementasikan sistem pemungutan suara elektronik sejak tahun 1996, yang mengurangi kebutuhan akan kertas dan logistik distribusi surat suara (Santos & Coutinho, 2017).

Jejak karbon kampanye pemilu di Indonesia sangat dipengaruhi oleh bahan dan metode yang digunakan dalam kampanye, terutama melalui penggunaan peralatan dan praktik kampanye. Dampak ini diperparah oleh dinamika politik dan kebijakan lingkungan di negara ini. Peralatan Kampanye memiliki beberapa dampak negatif pada lingkungan yang disebabkan oleh tim sukses kandidat serta tim yang ada di partai. Salah satunya kampanye sering kali bergantung pada bahan fisik seperti spanduk, poster dan barang-barang promosi lainnya, yang berkontribusi terhadap limbah serta emisi selama produksi dan pembuangan. Selain itu, penggunaan jaringan informal melalui tim sukses untuk manajemen kampanye dapat menyebabkan peningkatan konsumsi sumber daya, karena tim-tim ini sering menggunakan kendaraan untuk transportasi, yang selanjutnya menambah emisi karbon (Fossati, 2016).

Insentif politik sering kali berkontribusi pada degradasi lingkungan, karena politisi cenderung memprioritaskan keuntungan jangka pendek daripada praktik berkelanjutan, terutama selama siklus pemilihan (Balboni et al. 2021). Meskipun ada pergeseran menuju kampanye digital melalui media sosial yang berpotensi mengurangi beberapa dampak lingkungan, metode kampanye tradisional masih mendominasi, yang menyebabkan jejak karbon tetap signifikan (Maulana & Kartinah, 2024). Di sisi lain, sementara upaya untuk mengurangi emisi dari sektor lain, seperti bahan bakar memasak, telah menunjukkan hasil yang menjanjikan, proses pemilihan tetap menjadi area kritis yang perlu mendapat perhatian serius dalam upaya meminimalkan dampak lingkungan (Permadi et al, 2017).

Analisis ini menggarisbawahi ketegangan antara kebutuhan politik jangka pendek dan kepentingan lingkungan jangka panjang, di mana insentif politik sering kali mendorong keputusan yang merugikan lingkungan. Meskipun adopsi teknologi digital dalam kampanye dapat mengurangi sebagian jejak karbon, dominasi metode tradisional tetap menimbulkan tantangan besar dalam upaya pelestarian lingkungan. Hal ini memperlihatkan bahwa tanpa adanya kebijakan yang tegas dan komitmen yang kuat dari para pemangku kepentingan untuk memprioritaskan keberlanjutan, proses pemilihan akan terus menjadi sumber signifikan dari kerusakan lingkungan. Lebih jauh, upaya mitigasi di sektor-sektor lain perlu diimbangi dengan perhatian yang setara pada proses pemilihan, agar dampak negatifnya tidak mengikis pencapaian lingkungan di bidang lainnya.

Kesimpulan

Jejak karbon pemilu adalah isu penting yang perlu mendapat perhatian lebih dalam konteks perubahan iklim. Tantangan yang dihadapi dalam mengurangi jejak karbon ini termasuk ketergantungan pada material fisik, mobilitas berbasis bahan bakar fosil, dan rendahnya kesadaran serta kebijakan lingkungan. Namun, dengan pendekatan ekologis yang tepat, pemilu yang lebih ramah lingkungan dapat diwujudkan. Digitalisasi, penggunaan material ramah lingkungan, transportasi berkelanjutan, energi terbarukan, dan kebijakan lingkungan yang kuat adalah langkah-langkah yang dapat diambil untuk mencapai tujuan ini. Keberhasilan beberapa negara dalam mengimplementasikan pemilu ramah lingkungan dapat menjadi inspirasi bagi negara-negara lain untuk mengikuti jejak yang sama, memastikan bahwa proses demokrasi tidak hanya mencerminkan kehendak rakyat tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan.

Daftar Pustaka

Balboni, C., Burgess, R., Heil, A., Old, J., Olken, B, A. (2021). Cycles of Fire? Politics and Forest Burning in Indonesia. 111:415-419. doi: 10.1257/PANDP.20211005

Fossati, D. (2016). Electoral Dynamics in Indonesia: Money Politics, Patronage and Clientelism at the Grassroots. 38:321-323. doi: 10.1355/cs38-2j

Maulana, W, S., & Kartinah, D. (2024). Study on the use of data mining technology for election campaigns in indonesia. Ibn Al-Haitham, doi: 10.56127/ijst.v3i1.1193

Permadi, D, A., Sofyan, A., Oanh, N, T, K. (2017). Assessment of emissions of greenhouse gases and air pollutants in Indonesia and impacts of national policy for elimination of kerosene use in cooking. Atmospheric Environment, 154:82-94. doi: 10.1016/J.ATMOSENV.2017.01.041

Sharma, A. (2020). Environmental sustainability in elections: A case study of India's 2019 general elections. Journal of Environmental Policy & Planning, 22(5), 675-689. https://doi.org/10.1080/1523908X.2020.1785872

Smith, J., Williams, R., & Taylor, P. (2021). Carbon footprints of electoral processes: A comparative analysis. Environmental Pollution, 286, 116792. https://doi.org/10.1016/j.envpol.2021.116792

Santos, M., & Coutinho, P. (2017). The evolution of electronic voting in Brazil and its implications for sustainability. Journal of Sustainable Development, 10(3), 112-123. https://doi.org/10.5539/jsd.v10n3p112

Turoff, M., Hiltz, S. R., & Fjermestad, J. (2019). Digital transformation of electoral processes: Estonia's journey towards a sustainable e-voting system. International Journal of Electronic Governance, 11(1), 45-61. https://doi.org/10.1504/IJEG.2019.096234

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun