Mohon tunggu...
Fathorrasik
Fathorrasik Mohon Tunggu... Guru - Pengawas Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumenep

MENGALIR SEPERTI SUNGAI YANG MENGARAH PADA SAMUDERA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesempurnaan Dalam Keberagaman

28 Oktober 2021   04:58 Diperbarui: 28 Oktober 2021   05:17 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah pulang dari dhalem Mukidi, hari-hari Markoya berubah drastis. Waktunya lebih banyak dilalui dengan menyendiri. Rupanya wejangan Mukidi cukup membuat batinnya terus berkecamuk. Setiap kata yang keluar dari lisan Mukidi melesat begitu kuat menembus jantung kesadarannya. Kalimat-kalimat itu bak untaian intan berlian yang melumat endapan batu jahiliah di ceruk sanubarinya.

"RASA HAMBAR ITU ADA KARENA KETIADAAN RASA CINTA"

Kalimat itu terus melayang-layang mengitari penjuru langit hatinya. "Bagaimana aku harus memulai belajar mencintai Dzat yang tak kasat mata?" Pertanyaan inilah yang terus bergelayut di awan fikirnya. 

Ditengah kelinglungannya itulah tiba-tiba Markoya dikejutkan oleh suara ketukan pintu diiringi salam. 

"Assalamualaikum..."

"Assalamualaikum..."

Markoya bergegas menuju pintu dan membukanya.

"Waalaikumussalam. Alhamdulillah...rupanya guru. Mari masuk, Guru!", jawab Markoya dengan nada gembira

Markoya tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya melihat Mukidi datang. Setelah mempersilahkan duduk, Markoya segera pamit ke dapur untuk membuat kopi kesukaan gurunya.

"Pamit ke dapur dulu, guru"

"Gak usah repot-repot, Mar" tukas Mukidi.

Tidak lebih dari sepuluh menit, Markoya telah siap membawa kopi dengan aroma khas Arab yang sekali teguk saja bisa menghilangkan kantuk hingga subuh.

"Mari diminum, Guru!"

"Terimakasih, Mar. Wah kopi buatanmu benar-benar sempurna. Rupanya kamu jago bikin kopi. Belajar dari mana bikin kopi seenak ini, Mar?" 

"Biasa aja guru tidak pernah belajar. Ya... mungkin karena pengalaman aja. Saya tidak pernah belajar dan tidak punya trik khusus bikin kopi"

"Tapi kopi buatanmu benar-benar sempurna. Kamu bisa meramu dengan tepat antara kadar kopi dan gulanya. Sehingga karakter masing-masing bagian tidak saling mendominasi. Rasa manisnya gula tidak menghilangkan karakter pahitnya kopi. Pun, sebaliknya". 

"Begitulah hidup itu, tercapainya kesempurnaan justru terjadi karena keberagaman. Bahkan, Tuhan membangun semesta dengan pola keberagaman. Bukankah sesuatu itu diketahui hakikatnya dari arah sebaliknya? Bisa dibayangkan bagaimana susahnya mendefinisikan atas jika tidak ada bawah. Pun, laki-laki selamanya tidak akan terdefinisikan jika tidak ada perempuan. Jadi, bukan tanpa maksud Tuhan menciptakan keberagaman, agar saling mengenal".

Markoya hanya bisa diam mencerna apa yang diutarakan gurunya. "Sepertinya, guru sengaja memberikan penjelasan yang justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru", batinnya. 

Tanpa terasa jam sudah menunjukkan angka 04.40 dan kopi pun sudah tinggal ampasnya di dasar cangkir.

"Aku pulang dulu, Mar!" seru Mukidi memecah lamunan Markoya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun