Setelah pulang dari dhalem Mukidi, hari-hari Markoya berubah drastis. Waktunya lebih banyak dilalui dengan menyendiri. Rupanya wejangan Mukidi cukup membuat batinnya terus berkecamuk. Setiap kata yang keluar dari lisan Mukidi melesat begitu kuat menembus jantung kesadarannya. Kalimat-kalimat itu bak untaian intan berlian yang melumat endapan batu jahiliah di ceruk sanubarinya.
"RASA HAMBAR ITU ADA KARENA KETIADAAN RASA CINTA"
Kalimat itu terus melayang-layang mengitari penjuru langit hatinya. "Bagaimana aku harus memulai belajar mencintai Dzat yang tak kasat mata?" Pertanyaan inilah yang terus bergelayut di awan fikirnya.Â
Ditengah kelinglungannya itulah tiba-tiba Markoya dikejutkan oleh suara ketukan pintu diiringi salam.Â
"Assalamualaikum..."
"Assalamualaikum..."
Markoya bergegas menuju pintu dan membukanya.
"Waalaikumussalam. Alhamdulillah...rupanya guru. Mari masuk, Guru!", jawab Markoya dengan nada gembira
Markoya tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya melihat Mukidi datang. Setelah mempersilahkan duduk, Markoya segera pamit ke dapur untuk membuat kopi kesukaan gurunya.
"Pamit ke dapur dulu, guru"
"Gak usah repot-repot, Mar" tukas Mukidi.
Tidak lebih dari sepuluh menit, Markoya telah siap membawa kopi dengan aroma khas Arab yang sekali teguk saja bisa menghilangkan kantuk hingga subuh.
"Mari diminum, Guru!"
"Terimakasih, Mar. Wah kopi buatanmu benar-benar sempurna. Rupanya kamu jago bikin kopi. Belajar dari mana bikin kopi seenak ini, Mar?"Â
"Biasa aja guru tidak pernah belajar. Ya... mungkin karena pengalaman aja. Saya tidak pernah belajar dan tidak punya trik khusus bikin kopi"
"Tapi kopi buatanmu benar-benar sempurna. Kamu bisa meramu dengan tepat antara kadar kopi dan gulanya. Sehingga karakter masing-masing bagian tidak saling mendominasi. Rasa manisnya gula tidak menghilangkan karakter pahitnya kopi. Pun, sebaliknya".Â
"Begitulah hidup itu, tercapainya kesempurnaan justru terjadi karena keberagaman. Bahkan, Tuhan membangun semesta dengan pola keberagaman. Bukankah sesuatu itu diketahui hakikatnya dari arah sebaliknya? Bisa dibayangkan bagaimana susahnya mendefinisikan atas jika tidak ada bawah. Pun, laki-laki selamanya tidak akan terdefinisikan jika tidak ada perempuan. Jadi, bukan tanpa maksud Tuhan menciptakan keberagaman, agar saling mengenal".
Markoya hanya bisa diam mencerna apa yang diutarakan gurunya. "Sepertinya, guru sengaja memberikan penjelasan yang justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru", batinnya.Â
Tanpa terasa jam sudah menunjukkan angka 04.40 dan kopi pun sudah tinggal ampasnya di dasar cangkir.
"Aku pulang dulu, Mar!" seru Mukidi memecah lamunan Markoya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H