Pemilu Legislatif 2009 baru saja bergulir. Terlepas dari segala kekurangannya, kita harus realistis dan jujur mengakui bahwa Pemilu Legislatif kali ini merupakan “Pemilu rakyat yang sebenar-benarnya”, dimana pemilihan personal anggota legislatif yang semula menjadi otoritas partai, pada Pemilu kali ini rakyatlah yang menentukan pilihan. Apakah dengan demikian sudah berarti rakyat telah diberi kedaulatan penuh? mengapa harus mekanisme Pemilu seperti ini yang kita pilih?
Prinsip keadilan menjadi latar belakang tumbuhnya paham demokrasi di dunia. Sejarah peradaban manusia yang diwarnai dengan kediktatoran menyadarkan masyarakat dunia modern akan pentingnya demokrasi. Rakyat menuntut adanya persamaan hak dengan “borjuasi” dan “priyayi” dalam menentukan pemimpinnya. Demokrasi diartikan sebagai kedaulatan rakyat. Frase “kedaulatan rakyat” yang masih abstrak ini memerlukan definisi dan bentuk operasional dalam pelaksanaannya. Masing-masing negara mempunyai pola dan mekanisme tersendiri dalam menentukan kata akhir dari “kedaulatan rakyat” tersebut. Sangat tidak mungkin seluruh rakyat suatu negara dapat menjalankan demokrasi secara langsung. Oleh karena itu, disepakatilah adanya sistem “Demokrasi Perwakilan” dimana rakyat memilih wakil-wakil personal yang paling mereka percayai untukmewakili kepentinganmereka dalam pemerintahan. Inilah “Demokrasi Perwakilan”.
Rakyat memberikan “mandat” kepada wakilnya untuk menyuarakan aspirasinya melalui mekanisme “parlemen” (dalam tinjauan etimologis, parlemen berarti berbicara, menyuarakan). Di Indonesia, entitas tadi diwakili dalam wadah DPR, DPRD dan DPD dipilih oleh rakyat melalui mekanisme Pemilu sebagai kerangka institusional dalam penyelenggaraan demokrasi.
Kekuasaan—legislatif dan eksekutif—yang dibentuk melalui proses demokrasi belum mengakomodir aspirasi rakyat secara massive. Demokrasi terbuka hanya terjadi dalam tataran rekruitmen politik anggota legislatif. Setelah terpilih, akses penyampaian aspirasi rakyat menjadi “seolah” tertutup kembali. Telah terjadi distorsi kepentingan rakyat, meski masih dalam kerangka demokrasi.
Kata kunci: demokrasi, perwakilan rakyat, pemilu, kepentingan rakyat.
Pendahuluan
Negara merupakan organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Untuk menetapkan tujuan-tujuan bersama itu, maka negara harus dipandang sebagai satu kesatuan utuh secara politis dan sosiologis dengan rakyatnya. Hal inilah yang melahirkan konsep “Negara Demokrasi”.
Demokrasi biasa diartikan dengan “kedaulatan rakyat”, sebuah frasa yang menunjukkan bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana rakyatlah yang memegang kekuasaan negara. Dalam negara demokrasi, kekuasaan tidak berada pada seorang individu seperti halnya monarki absolut ataupun pada sekelompok aristokrat. Negara demokrasi merupakan antonim dari negara totalitarian, otoritarian dan monarki absolut. Kekuasaan—atau kedaulatan—pada negara demokrasi sepenuhnya berada di tangan rakyat. Abraham Lincoln menyebut demokrasi sebagai sebagai kekuasaan rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Demokrasi tidak lain adalah membiarkan orang berbicara sekaligus memiliki kemampuan untuk mendengar.Dari pijakan tadi, kelembagaan kekuasaan negara (baca: eksekutif dan legislatif) dibentuk dengan dan atas nama kekuasaan rakyat tadi melalui sistem Pemilihan Umum (Pemilu) yang demokratik.
Indonesia telah memasuki babak baru dalam berdemokrasi. Proses Pemilu legislatif yang merupakan sarana rekrutmen politik telah berjalan dengan lancar meski tak dapat dipungkiri masih meninggalkan berbagai persoalan. Buruknya sistem pendataan pemilih masih menjadi masalah pokok yang berulang dari Pemilu yang satu ke Pemilu yang lainnya. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap hak pilih rakyat dalam menentukan wakilnya di parlemen. Dari kacamata demokrasi perwakilan, hal ini merupakan masalah yang krusial—sayangnya hal ini terus saja terulang.
Masalah tadi sebenarnya tidak perlu terjadi bila kita memahami bahwa proses Pemilu merupakan sebuah bentuk relasi yang mencerminkan hubungan timbal balik dan saling ketergantungan linier yang berlangsung antara negara dan rakyatnya. Negara disini adalah entitasnya sebagai wadah pemerintahan, sementara rakyat diartikan sebagai warga yang hidup dalam negara itu sendiri. Hubungan ini berjalan dengan berbagai macam variasi: (1) linier—produktif—harmonis, dan (2) paradoksal—kontraproduktif—konflik. Penyebutan yang pertama dimaksudkan sebagai sebuah hubungan ideal dimana hubungan antara negara dan rakyat berjalan “lurus”. Negara mengakomodir kemauan rakyat, rakyat berpartisipasi aktif, sehingga terjadi relasi harmoni antara rakyat dengan negara. Dalam tatanan ini tidak terjadi dominasi negara terhadap rakyat. Variasi yang kedua dipakai penulis untuk mengilustrasikan bahwa terkadang relasi antara negara dan rakyat berjalan saling berlawanan, tidak produktif, bahkan akan menimbulkan konflik. Pada tatanan ini, negara secara sosiologis cenderung lebih dominan daripada rakyat, sehingga rakyat dipandang hanya sebagai objek, bukan subjek dalam pemerintahan.
Perspektif bernegara dimana rakyat ditempatkan sebagai subjek membutuhkan mekanisme yang mapan. Meminjam istilah Gunnar Myrdal tentang “soft state” yang mencitrakan negara yang tidak mempunyai komitmen yang kuat, nampaknya istilah tadi dapat mewakili kondisi Indonesia saat ini. Terlepas dari proses berdemokrasi yang terus bergulir, kita harus jujur mengakui bahwa tahap berdemokrasi kita masih pada tahap ini. Tahap demokrasi kulit yang masih jauh dari fairplay, bahkan cenderung unfair.
Sebagai sebuah pola rekruitmen politik, demokrasi di tiap negara mempunyai format yang berbeda-beda, meski mempunyai esensi yang sama, yaitu rakyat berhak menentukan siapa saja yang akan menjadi wakil mereka melalui proses yang kemudian disebut dengan “Pemilihan Umum”. Sistem Pemilihan Umum tentu saja berbeda di tiap negara. Indonesia menganut “Sistem Demokrasi Perwakilan”, yaitu sistem yang memungkinkan rakyat mewakilkan kekuasaannya kepada individu yang kemudian kita sebut saja “wakil rakyat” untuk duduk dalam masa jabatan tertentu dan bertanggung jawab kepada rakyat melaui mekanisme pertanggungjawaban di akhir masa jabatannya.
Relasi negara dan rakyat
Konsep tentang negara menurut Rousseau sebagai the sovereign adalah bahwa negara memiliki kewenangan untuk mengelola dengan membentuk sebuah regulasi. Apabila regulasi ini tidak searah dengan kontrak sosial, maka regulasi tersebut dapat direvisi atau dibatalkan melalui kesepakatan bersama. Relasi antara negara dan masyarakat ini mengizyaratkan bahwa negara bertugas mengintegrasikan dan mengarahkan kegiatan-kegiatan sosial masyarakatnya untuk mencapai tujuan bersama. Senada yang diungkapkan A.V. Dicey,
If sovereignty theory is accepted in its traditional form, then Parliament must be taken to possess ‘the right to make or unmake any law whatever’, so that ‘no person or body is recognized by the law of England as having a right to override or set aside the legislation of Parliament’?
Untuk menjalankan tugas itu, negara mempunyai fungsi antara lain: pertama, mengendalikan dan mengatur gajala-gejala kekuasaan asosial agar tidak menjadi antagonis dengan kepentingan masyarakat.Kedua, mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-goolongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan keseluruhan masyarakat. Dalam hal ini negara menentukan kegiatan-kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional. Pengendalian ini dilakukan dengan sistem pemerintahan yang kuat (ajeg)dan berpedoman pada hukum yang berkeadilan.
Sistem pemerintahan yang berlangsung di negara ini telah melalui banyak tikungan. Entah ini merupakan tatana yang sudah dirancang dalam “Grand Design” oleh para “Founding Father” atau hanya trial and error, bagaimanapun, semua itu telah tercatat dalam sejarah kenegaraan kita. Dan sejarah demokrasi di Indonesia telah setua usia negara ini. Demokrasi—apapun istilahnya: terpimpin, rakyat, Pancasila—semuanya berada dalam satu konsep “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/ kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Rumusan Sila keempat Pancasila diatas jelas sekali menggambarkan bahwa Indonesia menganut demokrasi perwakilan. Hal ini disadari, namun ada satu hal yang sering terlupakan bahwa keterwakilan rakyat harus dipimpin dalam suasana kebijaksanaan dan mengedepankan musyawarah. Makna kerakyatan tidak boleh direduksi menjadi hanya kepentingan pribadi atau golongan (baca: partai) tertentu saja. Mereka yang “mewakili rakyat” harus mempunyai atmosfer jiwa bijaksana dan hikmat. Soekarno mendefinisikan demokrasi sebagai,
“Tjara pemerintahan ini memberi hak kepada semua rakjat untuk ikut memerintah. Tjara pemerintahan ini sekarang menjadi tjita-tjita semua partai nasionalis Indonesia. Tetapi dalam mentjita-tjitakan faham dan tjara-pemerintahan demokrasi itu, kaum Marhaen toch harus berhati-hati. Artinya: djangan meniru sahaja ’demokrasi-demokrasi’ yang kini dipraktekkan di dunia luaran...."
Dalam hal berlangsungnya relasi negara dan rakyat ini, di Indonesia pernah mengalami berbagai corak demokrasi. Adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tercatat sebagai peristiwa penting dalam ketatanegaraan kita. Sejak itulah Indonesia berada dalam tatanan Demokrasi Terpimpin sampai berakhirnya pemerintahan Orde Lama pada Tahun 1966. Latar belakang terjadinya Dekrit Presiden ini adalah karena Konstituante sebagai perumus Konstitusi Indonesia belum juga menyelesaikan tugasnya untuk membentuk UUD baru untuk Indonesia menggantikan UUD 1945 yang dibentuk secara darurat. Pada masa itu, konstitusi yang berlaku di Indonesia adalah UUDS 1950 yang menganut sistem pemerintahan Demokrasi Liberal dan dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang komunal.
Kegagalan Konstituante ini beranggap fatal karena Indonesia sebagai negara yang merdeka tidak mempunyai pijakan konstitusi yang mapan. Kondisi politik juga semakin kacau dan buruk dengan terjadinya banyak pemberontakan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI. Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya anggota Parlemen dari berbagai partai yang saling berbeda pendapat dan sulit untuk dipertemukan. Kondisi inilah yang menyebabkan Presiden Soekarno gerah dan mengeluarkan Dekrit 5 Juli yang berisi:
1.Pembubaran Konstituante;
2.Tidak berlakunya lagi UUDS 1950 dan berlaku kembali UUD 1645;
3.Pembentukan MPRS dan DPAS
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang didukung oleh rakyat, MA dan militer—khususnya Angkatan Darat—lambat laun tidak lagi berorientasi pada cita-citanya yang awal yaitu untuk—sekedar—mengembalikan stabilitas nasional yang sempat kacau akibat silih bergantinya pemerintahan parlementer yang jatuh bangun. Demokrasi Terpimpin membawa dampak terpusatnya kekuasaan pemerintahan di dalam satu tangan, yaitu di tangan Presiden. Dekrit juga menginisiasi terbentuknya MPR dan keterlibatan militer dalam politik nasional. Sejak saat itu, militer memiliki posisi bergengsi dalam politik—bahkan sampai masa Orde Baru dan Orde Reformasi—saat ini.
Setelah tumbangnya Demokrasi Terpimpin, Orde Baru mendaku dirinya melaksanakan Demokrasi Pancasila yang berusaha menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Di awal perjalanannya, Orde Baru berhasil mengembalikan stabilitas politik dan ekonomi Indonesia sampai pada tahap “tinggal landas”. Indonesia menjadi “kekuatan baru di Asia”. Namun, kemapanan ekonomi yang nampak diatas kertas tidak terbangun dari ekonomi rakyat yang kuat, tapi ditopang oleh utang luar negeri yang semakin menjerat. Tampak sekali bahwa kepentingan rakyat tidak mendapat prioritas pada masa Orde Baru. Konglomerasi terjadi hampir di semua aspek usaha. Kekuasaan yang berlangsung lama mengakibatkan “mabuk kekuasaan”, yang pada akhirnya membawa kejatuhan Orde Baru.
Kepentingan rakyat menjadi terpinggirkan. Sekali lagi, rakyat hanya menjadi penonton. Mekanisme pergantian presiden (suksesi) berjalan dengan proses yang berdarah-darah. Masa Orde Baru tidak lebih baik. Bahkan proses Pemilu yang berlangsung hanya menjadi sarana legitimasi melanggengkan kekuasaan. Orde Lama dan Orde Baru, bagaimanapun telah menafikan relasi antara negara dan rakyat. Sistem demokrasi yang terbangun telah memisahkan secara tegas antara pemerintah (yaitu negara) dengan yang diperintah (rakyat). Relasi seperti ini tentu saja bertentangan dengan prinsip pengakuan HAM warga negara dalam kehidupan bernegara.
Partisipasi politik masyarakat
Sub judul diatas berusaha menggambarkan bagaimana proses penyuaraan pendapat rakyat dan pentingnya jaminan pelaksanaannya dalam negara demokratis. Ciri sebuah negara demokrasi adalah:
1.Adanya sistem pemilihan umum yang Jurdil untuk memilih para wakil rakyat (parlemen) dan kepala pemerintahan (presiden);
2.Kebebasan Pers sebagai media kontrol kekuasaan kebebasan untuk memperoleh informasi dan pengetahuan;
3.Tersedianya sistem asosiasi yang bersifat otonom (Parpol, NGO, Ornop);
4.Hak pilih bagi semua warga negara yang telah dewasa dan hak untuk duduk dalam jabatan-jabatan publik
Untuk menjamin terlaksananya prinsip diatas, tentu saja sistem Pemilu yang dibangun haruslah dengan terlebih dahulu memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Pengabaian terhadap pendidikan politik rakyat hanya akan mengakibatkan partisipasi masyarakat hanya sebatas pada proses pemungutan suara, lain tidak. Lebih lanjut, hal ini akan mengakibatkan kualitas pemerintahan yang buruk karena rakyat (baca: pemilih) tidak dibekali pengetahuan yang cukup tentang wakil rakyat yang akan mereka pilih untuk mewakili kepentingan mereka.
Proses edukasi politik ini mestinya menjadi tugas partai sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan rakyat. Namun, sebagaimana kita ketahui, partai hanya menjadi semacam “kendaraan” bagi mereka yang akan menjadi anggota legislatif. Kaderisasi partai yang mestinya dibangun dan fungsi partai sebagai “rumah pertama” rakyat untuk menyuarakan aspirasinya tidak terbangun. Ungkapan-ungkapan semacam: "Enggak ada uang, buat balik ke Pekalongan. Kalo saya pulang nyontreng, jualan saya gimana?"“....Sekarang bingung, partainya banyak, calonnya banyak. Ngapain pulang, kalo bingung? Mending cari uang," sering kita jumpai. Pernyataan-pernyataan tadi mewakili perantau di Jakarta yang enggan pulang kampung untuk sekedar “nyontreng”.
Terminologi masyarakat mencakup tiga komponen, yaitu: (1) kelompok individu yang hidup dalam satu wilayah tertentu, (2) adanya hubungan antar individu di luar rumah tangga yang bersifat hubungan sosial dan saling membantu, serta (3) adanya kesamaam norma dan nilai sehingga menimbulkan rasa solidaritas dan kegiatan bersama. Konsep masyarakat yang demikian ini menggambarkan jaringan masyarakat dalam wadah lokalitasnya, tidak menunjukkan adanya dinamika dalam masyarakat itu sendiri yang merupakan suatu keniscayaan.
Konsep tentang masyarakat sebagaimana dikemukakan diatas dikembangkan dengan menambahkan indikator dinamika ke dalamnya. Oleh para ahli yang terlibat dalam pengembangan masyarakat, indikator yang ditambahkan itu berupa kemampuan para anggota masyarakat dalam mengorganisasikan kelompok mereka sedemikian rupa, sehingga kelompok tersebut mampu menanggulangi setiap perubahan dan situasi yang mengancam kebersamaan dan stabilitas mereka. Pengorganisasian tersebut mengakibatkan terjadinya stratifikasi dalam masyarakat tersebut dalam pola hubungan tertentu antar anggotamya. Pola tersebut adalah untuk mencegah terjadinya pertentangan antar anggota kelompok dalam upaya pencapaian tujuan bersama.
Visi bersama dan kesamaan persepsi dibangun bukan tanpa proses, penjaminan akan nilai-nilai kebersamaan ini juga dibangun melalui proses rekruitmen politik yang sehat. Proses Pemilu sebagai “hajat politik” terbesar harus terbangun dengan mapan. Demokrasi yang berlangsung di Indonesia: Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Liberal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966) di bawah Soekarno, Demokrasi Pancasila versi Soeharto (1967-1998). Pasca-Soeharto, Indonesia memasuki era demokrasi pascatransisi, entah apa sebutannya: liberal, kerakyatan atau nama lain.
Jatuh bangunnya sistem demokrasi yang dibangun tidaklah menyurutkan semangat demokrasi negara ini. Kita tidak apatis dengan demokrasi.Kehadiran demokrasi di Indonesia bukanlah tidak membawa manfaat. Partisipasi politik yang tinggi adalah buah dari hadirnya sistem demokrasi. Rakyat boleh mengorganisasikan diri untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan.
Partisipasi politik melahirkan lompatan yang besar. Pada sisi lain, rakyat mereguk kembali kebebasan sipil dan politik mereka. Rakyat menikmati kebebasan berpendapat. Rakyat menikmati kebebasan berorganisasi. Secara umum, kebebasan sipil bisa dinikmati meskipun di sisi lain hak fundamental dari sekelompok masyarakat—bias dengan penilaian sesat atau menyimpang—bisa dihilangkan begitu saja oleh kelompok masyarakat lain.
Fareed Zakaria, editor Newsweek International menyatakan bahwa demokrasi menjadi tidak liberal. Kebebasan politik mendapat tempat, tetapi tidak dengan kebebasan sipil (civil liberties). Dalam era demokrasi sekarang, kompetisi politik untuk meraih jabatan publik relatif terbuka. Seorang demagog bisa bersaing dengan seorang politisi atau bahkan negarawan untuk memperebutkan ruang-ruang publik. Demokrasi membuka ruang persaingan antarkelompok rakyat (popular rivalries) ataupun propaganda elite.
Proses seleksi pejabat publik menjadi transparan dan relatif akuntabel meskipun dalam kenyataannya perekrutan pejabat publik membutuhkan biaya yang mahal dan hasilnya pun masih bisa mengundang keraguan publik.
Krisis Legitimasi
Pemilu legislatif yang telah berlangsung pada 9 April lalu merupakan Pemilu terbesar sepanjang sejarah pelaksanaan Pemilu di Indonesia setelah Pemilu 1999. Partai peserta Pemilu 2009 berjumlah 38 partai politik nasional dan 6 parpol lokal khusus untuk Nangroe Aceh Darussalam. Jumlah calon legislatif (caleg) yang harus dipilih juga sangat banyak. Ada 11.219 caleg untuk DPR RI, 32.263 caleg DPRD tingkat provinsi, 246.588 caleg DPRD kabupaten/kota, 1.109 caleg DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Caleg yang demikian banyak tersebut memperebutkan 560 kursi DPR RI, 1.998 kursi DPRD provinsi, 16.270 kursi DPRD kabupaten/kota dan 132 kursi DPD.
Banyaknya calon legislatif yang harus dipilih oleh para pemilih tentu saja mengharuskan pemilih untuk mengetahui siapa pilihannya. Hal ini dilakukan oleh para caleg dengan berbagai macam cara dan strategi. Mulai dari memasang umbul-umbul, poster, stiker, membagi-bagi kaos, sumbangan-sumbangan dadakan, dan sebagainya. Sedikit sekali yang mengemukakan visinya untuk rakyat. Masyarakat pemilih juga menjadi bingung dengan banyaknya pilihan yang tidak dibarengi dengan sosialisasi yang cukup.
Imbas dari kesemua fenomena tersebut adalah maraknya gerakan golongan putih (golput). Masyarakat tidak datang ke TPS, atau ada juga yang datang tapi tidak mencontreng. Tapi, bagaimanapun, banyak yang beranggapan bahwa golput juga pilihan—yaitu dengan tidak memilih siapapun. Ada tiga alasan kenapa seseorang tidak ikut pemilihan atau memilih golput:
1.Alasan administratif, dimana seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi, seperti tidak tahu namanya terdaftar dalam daftar pemilih, belum mendapat kartu pemilih atau kartu undangan.
2.Alasan teknis, dimana seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih, seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan, dan sebagainya atau bisa juga karena malas pergi ke tempat pemungutan suara.
3.Alasan politis, dalam hal ini pemilih memutuskan tidak menggunakan haknya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pilkada dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan, atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya.
Dari tiga alasan tersebut, sebagian besar bisa diidentifikasi karena alasan administrasi (28,6 persen) dan teknis atau individual (39,1 persen), dan hanya 16,5 persen pemilih yang tidak datang ke TPS.
Legitimasi yang didapatkan oleh anggota legislatif melalui mekanisme Pemilu yang berlangsung demikian tentu tidak bisa dikatakan “cacat legitimasi”, namun bila dicermati alasan mengapa masyarakat memilih seorang caleg, maka dapat diasumsikan bahwa kebanyakan masyarakat “hampir” tidak tahu apa (atau siapa) yang mereka pilih. Biasanya mereka memilih hanya karena familiar dengan wajah si caleg, faktor keluarga, atasan dan sebagainya.
Kredibilitas dan kemampuan wakil rakyat menjadi dipertanyakan, mereka yang susah payah mendapatkan dukungan pemilih—bahkan dengan melakukan money politic—tentu akan selalu menyusun strategi untuk mengembalikan “modal” dan “mencari modal” untuk Pemilu mendatang. Akibatnya, legitimasi mereka menjadi lemah. Ketidakberhasilan mereka (baca:wakil rakyat) dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat tentu akan dicatat sebagai suatu kegagalan oleh masyarakat.
Buruknya pengelolaan keuangan negara oleh mereka yang berkuasa ikut menyumbangkan sikap apatis masyarakat terhadap wakil rakyat. Akumulasi kekecewaan rakyat akan memuncak dan mengakibatkan berkurangnya tingkat partisipasi publik dalam Pemilu. Akhirnya, terjadilah krisis legitimasi.
Menggugat demokrasi perwakilan
Pemilu merupakan “ritual politik” modern yang diyakini sebagai cara terbaik untuk melakukan prosesi pergantian kekuasaan. Selain itu, Pemilu juga merupakan proses pertanggungjawaban kekuasaan kepada rakyat. Mereka yang dianggap rakyat tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya dengan baik, harus siap untuk tidak dipilih lagi dalam Pemilu. Rakyat melakukan proses “delegitimasi” dengan tidak memilih lagi seseorang untuk menjadi wakilnya, dan “melegitimasi” seseorang yang lain untuk menjadi wakil rakyat yang baru sebagai penggantinya. Demikianlah secara sederhana, rakyat “memilih untuk tidak memilih” seseorang karena memang hanya disana batas kewenangan rakyat: memilih. Sedang caleg yang akan mereka pilih—atau tidak—telah ditentukan oleh partai.
Pemilu yang di dalamnya mengandung kedaulatan rakyat (baca: demokrasi) hanya akan terselenggara dengan baik bila memiliki beberapa prinsip dasar. Sistem Pemilu harus mampu menjamin kebebasan pemilih untuk menentukan sikap politiknya, menjamin kerahasiaan pemilih, menjunjung tinggi etika politik dan aturan Pemilu, dilaksanakan oleh lembaga netral yang tidak dapat diintervensi oleh politik kekuasaan dan dilandasi oleh hukum yang kuat dan pasti.
Kondisi dan prasyarat Pemilu yang merupakan kondisi ideal tersebut belum terwujud. Pemilu yang telah berlangsung berkali-kali belum mampu melahirkan tujuan dari Pemilu itu sendiri, yaitu demokrasi. Pemilu—apapun tingkatannya—masih diwarnai dengan kecurangan disana-sini. Sebagai sebuah prasyarat demokrasi, Pemilu memang sudah menjadi “agenda tetap”, namun demokrasi yang terbangun adalah “demokrasi semu” yang hanya melahirkan rezim-rezim penguasa baru. Secara makro, kekuasaan yang terbentuk belum dapat mengatasi warisan masalah berupa kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan dan peningkatan taraf hidup rakyat.
Pemilu sejatinya hanyalah sebuah metode, sekedar instrumen untuk menentukan pemimpin (legislatif maupun eksekutif) yang legitimate untuk kemudian melaksanakan amanat rakyat diatas dasar legitimasi tersebut. Fenomena yang terjadi adalah bahwa kekuasaan yang didapat kemudian dipakai untuk memperkaya diri demi melanggengkan kekuasaan pada Pemilu yang akan datang. Bila hal ini yang terjadi, maka energi dan biaya mahal dalam penyelenggaraan Pemilu—yang ditanggung rakyat melalui APBN—akan menjadi percuma.
Rakyat akan menjadi apatis, sehingga tingkat partisipasi politik menjadi rendah. Bila hal ini terjadi, maka kita jangan terlalu berharap banyak dengan kualitas demokrasi yang akan dibangun. Meminjam istilah Faisal Basri, kualitas demokrasi akan sangat bergantung pada permintaan demokrasi (demand side) oleh rakyat terhadap penawaran demokrasi (supply side) oleh partai politik. Dorongan permintaan yang kuat oleh rakyat akan melahirkan demokrasi yang kuat pula. Bila hal ini terjadi, maka cita-cita untuk menciptakan kepemimpinan yang kuat, bersih, akuntabel, transparan dan demokratis telah dekat dengan kenyataan.
Kekuasaan yang didapat melalui mekanisme Pemilu bukanlah sebagai dasar untuk melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan, tapi sebaliknya untuk menjaga kepercayaan rakyat yang telah “menitipkan” kedaulatannya kepada mereka yang terpilih.
Pola pengambilan kebijakan publik masih terjebak pada konsep keterwakilan yang sempit, sehingga mengabaikan prinsip public parcipatory. Akibatnya, kebijakan yang terbentuk kemudian seringkali justru mendapat perlawanan dari rakyat karena rakyat menganggap bahwa wakil rakyat (baca: legislatif) mengabaikan aspirasi rakyat. Terdapat jurang lebar yang memisahkan rakyat dengan elite yang mewakili kepentingannya di parlemen. Kebijakan-kebijakan publik (baca: undang-undang) yang terbentuk tidak dapat dianulir meskipun terkadang merugikan masyarakat.
Mekanisme class action, judicial review memang dikembangkan, namun seringkali menemui jalan buntu. Sebenarnya itu tidak perlu terjadi bila mekanisme aspirasi berjalan dengan semestinya. Mekanisme kontrol masyarakat terhadap anggota legislatif yang melakukan penyimpangan tidak disediakan oleh hukum. Rakyat tidak dapat “menarik mandat” dengan cara apapun kecuali menunggu Pemilu yang akan datang—dengan tidak lagi memilihnya.
Demokrasi perwakilan (demokrasi yang diwakilkan) tanpa menyediakan instrumen pertanggungjawaban anggota legislatif kepada rakyat akan menimbulkan distorsi mandat dan merupakan “petaka” bagi demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi tidaklah cukup diartikan dengan melibatkan rakyat dalam proses rekruitmen politik untuk memilih anggota legislatif. Lebih dari itu, demokrasi perwakilan juga harus menyediakan perangkat/instrumen pertanggungjawaban wakil rakyat kepada rakyat yang telah memberinya mandat. Rakyat juga harus diberi kesempatan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan strategis: melalui mekanisme hearing, jaring asmara (penjaringan aspirasi masyarakat dan sosialisasi.
Penutup
Mekanisme Pemilu sebagai instrumen rekruitmen politik hanya tahap awal dalam mewujudkan. Pemilu hanya alat dan sarana untuk memastikan bahwa mereka yang akan “mewakili” kepentingan rakyat (baca: wakil rakyat) adalah benar-benar representasi rakyat. Pemilu harus dipahami sekedar alat, bukan tujuan dalam mewujudkan demokrasi.
Dalam tatanan masyarakat modern, demokrasi merupakan suatu keniscayaan yang harus dijamin keberlangsungannya. Demokrasi yang berarti kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat tentu memerlukan mekanisme tertentu. Demokrasi perwakilan dipilih hanya karena demokrasi langsung tidak mungkin dilaksanakan. Harus ada mereka yang “duduk” untuk mewakili kepentingan rakyat di parlemen. Wakil rakyat yang akan menyuarakan aspirasi rakyat.
Bila terjadi penyimpangan akan tanggung jawab mandat yang telah diberikan oleh rakyat kepada wakilnya di legislatif, maka harus ada mekanisme pertanggungjawaban tersebut. Lord Acton berpendapat bahwa Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Oleh karena itu, mekanisme pengawasan harus diciptakan sebagai fungsi kontrol bagi wakil rakyat. Dengan demikian demokrasi yang sama-sama kita impikan, yaitu demokrasi yang di dalamya terjamin semua kepentingan masyarakat dapat terwujud.
Daftar Bacaan
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Gramedia, 2008.
Dicey, A. V., An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, London: Macmillan, 10th edn, 1959
Kurniawan, Luthfi J, Negara, Civil Society dan Demokratisasi, Malang: In-Trans Publishing, 2008.
Tanuredjo, Budiman Melongok Demokrasi Indonesia, Harian Kompas, 16 Agustus 2007.
Trubus Rahardiansah, Pelaksanaan Pilpres 2009: Analisis Dinamika Relasi Negara dan Masyarakat, Makalah Seminar Nasional, 25 Juni 2009. Undip Semarang
www.kompas.com edisi 8 April 2009.
www.kompas.com, edisi 9 April 2009
Makalah ini disusun dalam rangka mengikuti Seminar Internasional 10 Tahun 2009 di Kampoeng Percik – Salatiga.
Rumusan yang dikemukakan oleh para sarjana tentang negara sangat beragam. Lebih lanjut, dapat dibaca dalam MiriamBudiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Gramedia, 2008, h. 48.
Pengertian demokrasi di negara modern tentu tidak sama dengan pengertian demokrasi di Yunani Kuno, dimana Negara Kota (Polis) di Yunani saat itu menganut “Demokrasi Langsung”. Seluruh rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri. Demokrasi modern menganut sistem demokrasi perwakilan.
Sampai Juni 2008 daftar pemilih sementara (DPS) pada Pemilihan Umum 2009 mencapai 174.410.453 pemilih yang terdiri dari pemilih dalam negeri sebanyak 172.800.716 orang dan pemilih luar negeri sebanyak 1.609.737 orang.Sesuai data terakhir di Komisi Pemilihan Umum per 7 Maret 2009, jumlah pemilih yang tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 171.265.442 orang.
Kedua bentuk relasi ini penulis gunakan sekedar untuk mengilustrasikan relasi yang dapat dipilih oleh suatu negara dalam menjalankan pemerintahannya. Negara yang benar-benar demokratis menempatkan rakyat sejajar dengan negara karena keberadaan negara adalah wujud dari bersatunya negara—dalam artiannya sebagai suatu wilayah—dan rakyat sebagai penghuninya.
Cara pandang seperti ini cenderung menganggap rakyat sebagai komoditas saja dalam proses pengumpulan suara. Lihat saja fenomena “politik uang” yang mewarnai proses Pemilu Legislatif. Rakyat yang pragmatis tentu makin menyuburkan perilaku ini, tapi rakyat terlalu pintar: “ambil uangnya, soal pilihan, nanti ditentukan di bilik suara”.
A. V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution (London: Macmillan, 10th edn, 1959) h 10.
MiriamBudiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Gramedia, 2008, h. 47-48.
Media mencatat banyak realitas yang paradoksal dengan idealitas ini. Banyak sekali kasus pidana yang justru melibatkan anggota legislatif: korupsi, asusila, adu jotos, dan banyak tindakan memalukan lainnya.
Ir. Soekarno, Di bawah Bendera Revolusi.
Dekrit Presiden dikeluarkan melalui Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1959
Ternyata sejarah telah mencatat tentang perilaku anggota parlemen yang demikian itu telah terjadi sejak di awal kemerdekaan. Mereka lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan diatas kepentingan bangsa dan negara.
Menurut penulis, hal inilah yang menyebabkan persentase Golput menjadi besar pada setiap Pemilu berlangsung. Rakyat tidak mempunyai “kepentingan” untuk ikut menentukan siapa yang akan mewakilinya di parlemen. Jika kita berkaca pada Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) yang telah berlangsung selama 2008 maka potensi angka golput bisa dibilang cukup tinggi. Hal ini tercermin pada pilkada banten dengan tingkat golput tercatat 40 persen, Pilkada Jawa Barat mencatatkan angka golput lebih dari 33 persen, Pilkada DKI Jakarta 35 persen, Pilkada Kepulauan Riau 46 persen, Pilkada Jawa Timur 42 persen dan yang paling fenomenal di Jawa tengah golput mencapai 69 persen.
Pernyataan ini dikutip dari Kompas.com edisi 8 April 2009.
Trubus Rahardiansah, Pelaksanaan Pilpres 2009: Analisis Dinamika Relasi Negara dan Masyarakat, Makalah Seminar Nasional, 25 Juni 2009. Undip Semarang
Tujuan bersama inilah yang menjadi tujuan yang harus diperjuangkan oleh segenap anggota masyarakat (dalam hal ini masyarakat Indonesia). Oleh karena itu, terbangunnya pola hubungan masyarakat yang ajeg dan disepakati bersama harus diwujudkan dan dijaga pelaksanaannya.
Budiman Tanuredjo, Melongok Demokrasi Indonesia, Harian Kompas, 16 Agustus 2007.
www.kompas.com, edisi 9 April 2009
Pada beberapa kasus, hal inilah yang menyebabkan banyak public figure (artis, dsb) yang terpilih menjadi anggota legsilatif hanya karena masyarakat mengenalnya, meski mereka tidak mempunyai latar belakang politik sama sekali—meski tidak semua tentu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI