Buruknya pengelolaan keuangan negara oleh mereka yang berkuasa ikut menyumbangkan sikap apatis masyarakat terhadap wakil rakyat. Akumulasi kekecewaan rakyat akan memuncak dan mengakibatkan berkurangnya tingkat partisipasi publik dalam Pemilu. Akhirnya, terjadilah krisis legitimasi.
Menggugat demokrasi perwakilan
Pemilu merupakan “ritual politik” modern yang diyakini sebagai cara terbaik untuk melakukan prosesi pergantian kekuasaan. Selain itu, Pemilu juga merupakan proses pertanggungjawaban kekuasaan kepada rakyat. Mereka yang dianggap rakyat tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya dengan baik, harus siap untuk tidak dipilih lagi dalam Pemilu. Rakyat melakukan proses “delegitimasi” dengan tidak memilih lagi seseorang untuk menjadi wakilnya, dan “melegitimasi” seseorang yang lain untuk menjadi wakil rakyat yang baru sebagai penggantinya. Demikianlah secara sederhana, rakyat “memilih untuk tidak memilih” seseorang karena memang hanya disana batas kewenangan rakyat: memilih. Sedang caleg yang akan mereka pilih—atau tidak—telah ditentukan oleh partai.
Pemilu yang di dalamnya mengandung kedaulatan rakyat (baca: demokrasi) hanya akan terselenggara dengan baik bila memiliki beberapa prinsip dasar. Sistem Pemilu harus mampu menjamin kebebasan pemilih untuk menentukan sikap politiknya, menjamin kerahasiaan pemilih, menjunjung tinggi etika politik dan aturan Pemilu, dilaksanakan oleh lembaga netral yang tidak dapat diintervensi oleh politik kekuasaan dan dilandasi oleh hukum yang kuat dan pasti.
Kondisi dan prasyarat Pemilu yang merupakan kondisi ideal tersebut belum terwujud. Pemilu yang telah berlangsung berkali-kali belum mampu melahirkan tujuan dari Pemilu itu sendiri, yaitu demokrasi. Pemilu—apapun tingkatannya—masih diwarnai dengan kecurangan disana-sini. Sebagai sebuah prasyarat demokrasi, Pemilu memang sudah menjadi “agenda tetap”, namun demokrasi yang terbangun adalah “demokrasi semu” yang hanya melahirkan rezim-rezim penguasa baru. Secara makro, kekuasaan yang terbentuk belum dapat mengatasi warisan masalah berupa kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan dan peningkatan taraf hidup rakyat.
Pemilu sejatinya hanyalah sebuah metode, sekedar instrumen untuk menentukan pemimpin (legislatif maupun eksekutif) yang legitimate untuk kemudian melaksanakan amanat rakyat diatas dasar legitimasi tersebut. Fenomena yang terjadi adalah bahwa kekuasaan yang didapat kemudian dipakai untuk memperkaya diri demi melanggengkan kekuasaan pada Pemilu yang akan datang. Bila hal ini yang terjadi, maka energi dan biaya mahal dalam penyelenggaraan Pemilu—yang ditanggung rakyat melalui APBN—akan menjadi percuma.
Rakyat akan menjadi apatis, sehingga tingkat partisipasi politik menjadi rendah. Bila hal ini terjadi, maka kita jangan terlalu berharap banyak dengan kualitas demokrasi yang akan dibangun. Meminjam istilah Faisal Basri, kualitas demokrasi akan sangat bergantung pada permintaan demokrasi (demand side) oleh rakyat terhadap penawaran demokrasi (supply side) oleh partai politik. Dorongan permintaan yang kuat oleh rakyat akan melahirkan demokrasi yang kuat pula. Bila hal ini terjadi, maka cita-cita untuk menciptakan kepemimpinan yang kuat, bersih, akuntabel, transparan dan demokratis telah dekat dengan kenyataan.
Kekuasaan yang didapat melalui mekanisme Pemilu bukanlah sebagai dasar untuk melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan, tapi sebaliknya untuk menjaga kepercayaan rakyat yang telah “menitipkan” kedaulatannya kepada mereka yang terpilih.
Pola pengambilan kebijakan publik masih terjebak pada konsep keterwakilan yang sempit, sehingga mengabaikan prinsip public parcipatory. Akibatnya, kebijakan yang terbentuk kemudian seringkali justru mendapat perlawanan dari rakyat karena rakyat menganggap bahwa wakil rakyat (baca: legislatif) mengabaikan aspirasi rakyat. Terdapat jurang lebar yang memisahkan rakyat dengan elite yang mewakili kepentingannya di parlemen. Kebijakan-kebijakan publik (baca: undang-undang) yang terbentuk tidak dapat dianulir meskipun terkadang merugikan masyarakat.
Mekanisme class action, judicial review memang dikembangkan, namun seringkali menemui jalan buntu. Sebenarnya itu tidak perlu terjadi bila mekanisme aspirasi berjalan dengan semestinya. Mekanisme kontrol masyarakat terhadap anggota legislatif yang melakukan penyimpangan tidak disediakan oleh hukum. Rakyat tidak dapat “menarik mandat” dengan cara apapun kecuali menunggu Pemilu yang akan datang—dengan tidak lagi memilihnya.
Demokrasi perwakilan (demokrasi yang diwakilkan) tanpa menyediakan instrumen pertanggungjawaban anggota legislatif kepada rakyat akan menimbulkan distorsi mandat dan merupakan “petaka” bagi demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi tidaklah cukup diartikan dengan melibatkan rakyat dalam proses rekruitmen politik untuk memilih anggota legislatif. Lebih dari itu, demokrasi perwakilan juga harus menyediakan perangkat/instrumen pertanggungjawaban wakil rakyat kepada rakyat yang telah memberinya mandat. Rakyat juga harus diberi kesempatan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan strategis: melalui mekanisme hearing, jaring asmara (penjaringan aspirasi masyarakat dan sosialisasi.