KONTROVERSI DI BALIK UNDANG-UNDANG HARMONISASI
 Pajak merupakan salah satu kewajiban sebagai warga negara kepada negara itu sendiri, yang nantinya dari pendapatan pajak ini akan digunakan pemerintah yang berwenang untuk membangun negaranya. Namun, bagaimana jika pajak pada suatu negara membebanani warga negaranya? yang pada akhirnya akan menjadi masalah sehingga mambuat kemerosotan ekonomi yang membuat kemunduran peradaban pada negara tersebut. Relevansi topik ialah dimana undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan yang menjadi cikal bakal kenaikan pajak pertambahan nilai di Indonesia yang mengatur sistematika dan pelaksanaannya. Artikel ini saya buat dengan tujuan sebagai bentuk ketidaksetujuan saya sebagai warga negara Indonesia mengenai kenaikan pajak pertambahan nilai yang akan berlaku tahun depan, dan sebagai pemenuhan tugas course one pionir muda UIN Jakarata batch 9.
 Seperti yang kita tahu, bahwasannya pemerintah melalui kementrian keuangan menaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN. Yang semulanya berada di angka 10% naik menjadi 11% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025, keputusan ini tercantum dalam undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan. Undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan atau UU HPP adalah kaidah hukum yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan di Indonesia dengan tujuan menyatukan dan menyederhanakan berbagai peraturan perpajakan yang ada agar lebih efisien dan efektif dalam pelaksanaannya agar memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Keputusan ini mengundang kontroversi dan berbagai macam reaksi dari masyarakat pasalnya masyarakat menilai bahwa keputusan ini kurang tepat untuk dilakukan tengah kondisi perekonomian Indonesia yang kurang stabil kita dapat berkaca melalui nilai tukar rupiah terhadap dolar yang rendah, setidaknya ada tiga alasan pemerintah mengambil kebijakan ini ;
1.Keputusan ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan fiskal di tengah tantangan ekonomi global
2.Sebagai upaya pemerintah untuk memulihan ekonomi nasional pasca pandemi covid-19
3.Pemerintah menilai bahwa rasio perpajak di Indonesia masih lebih rendah dari pada rasio perpajakan di negara-negara lainnya yang dapat menyentuh di angka 15%
Saya menilai bahwa kenaikan PPN menjadi 12% ini tidak relevan dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dimana kondisi perekonomian kita pada saat ini dapat dikatakan sedang tidak stabil dan dapat berubah-ubah sewaktu-waktu. Di tambah lagi dengan masih banyak nya sektor-sektor perekonomian rakyat yang masih lesu dengan daya jual dan daya beli yang sangat rendah khususnya pada masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, menurut survei yang dilakukan oleh Inventure 2024 tentang Market Outlook. Menunjukan bahwa pada kelas menengah mengalami penurunan daya beli sebesar 49 persen sedangkan 51 persennya lagi merasa tidak menurunkan daya belinya, penurunan daya beli ini terjadi pada sektor kebutuhan pokok, energi, dan transportasi karena malonjaknya harga pada sektor-sektor tersebut, survey ini melibatkan 450 responden yang berasal dari 5 kota besar di Indonesia yang meliputi Semarang, Jabodetabek, Surabaya, Makassar, dan Medan yang dilakukan dengan metode wawancara langsung pada September 2024 kepada kelas menengah milenial dan Gen Z.
Hal ini juga dapat diperburuk dengan angka pengangguran di Indonesia yang masih sangat tinggi, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) angka pengangguran pada Agustus 2024 tercatat sebanyak 7,47 juta penganggur atau setara dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 4,91 persen. Jika digolongkan berdasarkan jenis kelaminnya tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan lebih tingi dibanding laki-laki yang berada di angka 4,92 persen sedangkan laki-laki berada di angka 4,90 persen 4,92 persen. Meskipun angka pengagguran mengalami penurunan pada Agustus 2024 di angka 7,47 juta penganggur di banding Agustus 2023 yang berada di angka 7,8 juta penganggur, tentunya angka ini masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja pada bulan Agustus 2024 yaitu 152,11 juta orang, hal ini dapat terjadi karena tidak sesuainya keterampilan yang dimiliki oleh angkatan kerja dengan kebutuhan industri pada masa kini. Selain itu, pemutusan hubungan kerja juga menjadi penyumbang terbesar dari pengangguran yang terjadi di Indonesia, menurut data dari Kementrian Ketenagakerjaan angka PHK pada tahun 2024 ini telah mencapai 45.762 orang yang didominasi dari kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.
Saya juga menilai bahwa tarif pajak yang dipatok oleh pemerintah ini tidak sebanding dengan kinerja pemerintah terhadap pelayanan publik dan misi kesejahteraan yang dapat berdampak positif bagi masyarakat luas, dapat kita ambil contoh pada bidang kesehatan dalam kasus pelayanan pasien BPJS yang mengalami banyak kontroversi dimana pasien pengguna layanan BPJS mengalami diskriminasi pelayanan terhadap pasien non-BPJS serta tidak dapat mengakses seluruh fasilitas kesehatan yang ada, harusnya negara dapat menjadi pelindung dan penyedia yang menjamin kesehatan dan keberlangsungan hidup bagi warga negaranya agar tercipta generasi yang sehat dan kuat.
Seharusnya, pemerintah dapat memperhitungkannya dengan lebih cermat. Karena menurut saya jika kebijakan ini diterapkan dan yang terjadi malah salah perhitungan hal itu akan menyebabkan masalah ekonomi dan menggerus daya beli dan daya jual masyarakat, bahkan kemungkinan terburuknya dapat terjadi inflasi yang tentunya kita tidak menginginkan hal itu terjadi kembali seperti tahun 1998.
Seperti yang kita tahu, pemasukan utama dari sebuah negara adalah pajak. Pemerintah saat ini sedang melakukan pemaksimalan pemasukan anggaran pendapatan dan belanja negara untuk merealisasikan program-program unggulan presiden terpilih, yaitu Presiden Prabowo Subianto contohnya seperti program makan bergizi gratis, menurut saya ada beberapa langkah alternatif yang dapat di ambil oleh pemerintah jika tidak menaikan tarif pajak, diantaranya :