Rapat tersebut menjadi sorotan karena salah satu hal yang dibahas dalam rapat tersebut adalah tentang syarat dan aturan pencalonan kepala daerah dalam Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada November 2024 mendatang.
Banyak pihak menilai rapat tersebut dilakukan secara terburu-buru usai usai Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan tentang syarat pencalonan kepada daerah dalam UU Pilkada pada Selasa (20/8).
Melalui putusan nomor 60/PUU-XII/2024, MK mengubah ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
MK menyatakan, partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon untuk maju dalam Pilkada. Penghitungan syarat pengusulan pasangan calon melalui partai politik hanya didasarkan pada perolehan suara sah dalam pemilu di daerah yang bersangkutan.
"Amar putusan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo dalam amar putusan untuk perkara tersebut pada Selasa, dilansir dari Antara.
Putusan tersebut dianggap akan mengubah peta politik dalam Pilkada 2024 mendatang. Perubahan tersebut, misalnya, dapat terjadi dalam Pilkada Jakarta 2024.
Di Jakarta, sejumlah partai seperti PDIP dapat mencalonkan pasangan cagub-cawagub tanpa berkoalisi dengan partai lainnya.
Adanya calon yang diusung PDIP dalam Pilkada Jakarta 2024 disebut akan mengubah peta politik yang sejauh ini relatif dikuasai oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang mengusung pasangan Ridwan Kamil-Suswono.
Sehari setelah putusan MK tersebut, pada Rabu siang, Baleg DPR melakukan rapat untuk membahas putusan MK nomor 60 tentang ambang batas pencalonan Pilkada.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Golkar, Dave Laksono, menyatakan jika rapat Revisi RUU Pilkada yang digelar Rabu siang tersebut bertujuan untuk merespons putusan MK nomor 60.
"Kan harus ada kejelasannya kan. Maka itulah dari Baleg itu mempelajari lagi untuk menegaskan supaya tidak ada multitafsir lah atas putusan tersebut," katanya pada Rabu, dikutip dari Kompascom.