Di seluruh dunia, manusia tengah menyaksikan suatu masa peralihan, dimana di suatu belahan dunia kita dapat melihat bagaimana orang-orang berpesta menikmati segala bentuk gaya baru penuh kemudahan. Namun nyatanya di belahan dunia yang lain, masih terdapat kelompok orang yang kemudian tak siap dan menolak segala bentuk perubahan.
Kita pasti sepakat bahwa era digitalisasi dan persaingan global yang tengah terjadi adalah suatu hal yang tak kan bisa dielakkan lagi. Sejauh apapun kita pergi dan berlari dari era ini, maka muaranya akan tetap sama bahwa era ini harus kita hadapi.Â
Perjalanan masa depan harus dikuatkan dengan langkah-langkah gagah yang mana salah satu kuncinya adalah tak cemas dan selalu siap dalam menghadapi gelombang disruption yang tengah terjadi.Â
Terlebih sebagai generasi millennial, kita dutuntut untuk mampu adaptif dan responsif di setiap perkembangan zaman. "The Concept of disruption is about competitive response, it is not a theory of growth. it's adjacent to growth. but it is not about growth." --Clayton M. Christensen[1]
 Era ini tentu akan mengajarkan kita mengenai banyak hal termasuk menjadi manusia-manusia adaptif yang selalu siap terhadap perubahan ataupun pergeseran zaman yang tengah terjadi.Â
Pada awal abad ke 20 sendiri, kita dapat melihat bagaimana mobil bertenaga mesin menggantikan kereta kuda, dunia juga menyaksikan bagaimana pudarnya bengkel kereta kayu dan peternakan kuda atau bahkan ladang-ladang perkebunan. Kereta kuda kemudian beralih menjadi kereta besi super canggih bermesin.Â
Pada saat yang bersamaan juga kemudian bengkel-bengkel otomotif canggih, perusahaan-perusahaan jasa asuransi, bahkan perusahaan-perusahaan kasat mata ikut tumbuh dan mengakar.Â
Begitupula dengan sifat-sifat pekerjaan yang kemudian ikut bertransformasi menjadi bentuk-bentuk baru, dari yang sebelumnya sangat dekat dengan alam dan tanpa mesin, tanpa polusi, dan tanpa kursus, maka kemudian berubah menjadi sangat mekanis, polluted, dan berbasis pada keterampilan khusus.
 Persaingan global yang tengah terjadi nampaknya memang berdampak pada setiap aspek kehidupan. Masa-masa peralihan ini kemudian membuat manusia mulai berpikir tentang pentingnya sekolah dan keterampilan juga bagaimana terus meningkatkan dan mengasah potensi diri.Â
Maka dampak dari  era disrupsi dan digitalisasi yang tengah terjadi begitu nampak adanya. Mereka yang kemudian tak mau tergerus terhadap persaiangan global di era ini maka akan terstimulus untuk segera bergerak progresif.
 Maka di tengah 'dunia baru' yang sedang terjadi ini, kemajuan teknologi menjadi salah satu asal muasalnya. Pertama yang kemudian kita perlu ketahui juga adalah bahwa kemudian teknologi mengubah manusia dari peradaban time series menjadi real time.Â
Peradaban time series adalah peradaban yang kemudian membuat manusia menginterpolasi data-data masa lalu untuk memprediksi masa depan melalui statistic time seris atau deret berkala.Â
Sedangkan di masa kini, semua hal terjadi secara real time. Data hari ini, pada detik ini juga kemudian dapat langsung terolah dalam big data dan dengan cepat mampu disimpulkan serta ditindak lanjuti.
 Peradaban time series sendiri sebetulnya lebih menghasilkan tindakan-tindakan yang tidak riil. Kita merasa hebat dan benar tapi kemudian kita bagai hidup di masa lalu karena menggunakan indikator-indikator yang tertinggal dan basis data yang digunakan juga merupakan data di masa lalu yang sudah tertinggal.Â
Sedangkan hari ini yang sedang kita hadapi lebih memacu kita untuk bergeser pada peradaban real time yang kemudian mampu untuk menghasilkan indikator-indikator terkini (current indicator), dimana ketika kita dihadapkan pada sebuah persoalan akan lebih relevan dengan menggunakan indikator tersebut untuk membuat keputusan. Hal ini juga tentu berkat analogi analisis big data. Hal ini menjadi urgent untuk kita dalami karena menyangkut tindak tanduk yang kemudian kita lakukan.[2]
 Aspek yang kemudian sering dilupakan oleh kita juga adalah bagaimana kemudian kita kurang memahami dengan komprehensif apa yang terjadi di era ini. Digitalisasi merupakan pelipatgandaan kecepatan secara eksponensial, yang berarti semakin hari akan semakin cepat. Adanya disruption kemudian menyebabkan efek pergeseran yang semakin cepat.Â
Siapapun yang bermental penumpang dan hanya menunggu maka akan semakin cepat pula ia tergusur. Sayangnya, memang kita seringkali dibesarkan dalam tradisi linear yang membuat kita berpikir dan bertindak tak secepat dengan perubahan yang terjadi.Â
Persoalan terkait perkembangan serta pergeseran era yang terjadi akan menjadi suatu hal yang terus kita hadapi. Hal ini kemudian semakin kompleks terjadi ketika pandemi covid 19 menyerang seluruh penjuru bumi. Manusia bagai sedang dihadapkan dengan persoalan sulit dan dilematis yang mungkin dalam perjalanan hidupnya baru ia temui.
Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial kemudian harus dibatasi dan dialihkan pada 'dunia baru' yang sebelumnya masih asing jika diselami. Namun pandemi kemudian bukan alasan untuk menjadikan kita semua tak mampu bergerak dan berinovasi apalagi tak mampu untuk melanjutkan kehidupan ini sebagai mana mestinya.
 Mungkin kita tidak akan bisa membayangkan jika kemudian kita hidup di kondisi pandemi, namun dalam puluhan tahun yang lalu dimana perkembangan era belum secanggih ini. Teknologi yang digunakan manusia juga belum seperti apa yang kemudian kita temui di dalam era ini.Â
Maka, kemudahan di era digital ini menjadi suatu hal yang harus dimanfaatkan dan dijadikan sebagai peluang baru dalam menghadapi persaingan global ditambah dengan kondisi pandemi covid 19 yang tengah terjadi.
 Dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi ditengah persaingan global dan pandemi, tentu dibutuhkan sebuah strategi. Ibaratnya, jika cara yang kemudian kita coba implementasikan adalah cara kuno, maka peluang adanya kecanggihan digital di era disrupsi ini tidak akan berarti. Dalam hal ini, ada peran-peran strategis yang kemudian harus dimainkan dengan baik.Â
Salah satu peran yang kemudian sangat strategis untuk dimainkan adalah peran para pemimpin. Pemimpin dalam konteks ini adalah semua pemimpin yang kemudian memiliki andil terhadap apa yang sedang dipimpin untuk kemudian mampu mempertahankan lembaga, kelompok, ataupun perusahaan yang sedang dipimpin.
 Pertama yang kemudian dibutuhkan adalah sosok pemimpin yang adaptif. Pemimpin yang siap untuk menerima setiap kondisi dan tantangan zaman yang ada. Termasuk didalamnya pemimpin yang kemudian siap untuk terus belajar dan mampu menyesuaikan diri dengan karakter zaman yang ada sehingga kemudian muncul salah satu istilah 'Pemimpin Millenial'.Â
Istilah millenial ini sudah akrab kita dengar dalam kehidupan sehari-hari dimana generasi yang kemudian sedang dihadapi dalam era ini adalah generasi millenial yang ditandai dengan adanya peningkatan penggunaan dan keakraban dengan media, komunikasi, dan teknologi digital. Oleh karenanya, penting untuk kemudian mencetak pemimpin millenial yang adaptif dengan berbagai kondisi.
 Maka, solusi yang kemudian ditawarkan juga adalah bagaimana kita mampu memperkuat karakter pemimpin. Setelah tadi dipaparkan bagaimana pemimpin millenial dibutuhkan dalam menjawab era disrupsi ini, maka kemudian memperkuat karakter pemimpim adalah salah satu jawaban dalam menghadapi krisis termasuk pandemi covid 19 ini.
 Dalam kondisi darurat pada umumnya, pengalaman merupakan nilai yang paling berharga bagi para pemimpin. Namun, dalam krisis berskala luas yang baru, karakter seorang pemimpin merupakan hal yang lebih penting.Â
Pemimpin yang tanggap krisis harus mampu menyatukan tim untuk mencapai satu tujuan dan merumuskan pertanyaan yang perlu dikaji oleh tim. Pemimpin terbaik dalam krisis akan menunjukkan beberapa karakter.Â
Salah satunya adalah sikap tenang yang diperhitungkan atau "deliberate calm", yaitu kemampuan untuk melepaskan diri dari situasi cemas dan berpikir jernih tentang cara mengendalikan situasi tersebut. Ketenangan yang penuh perhitungan ini sering ditemukan pada individu berpengalaman yang rendah hati namun bukan berarti tidak berdaya.
 Karakter penting lainnya adalah sikap optimisme yang realistis atau "bounded optimism" atau sikap percaya diri yang didasarkan oleh realita. Jika di awal krisis para pemimpin sudah menunjukkan kepercayaan diri berlebihan terhadap keadaan yang benar-benar sulit, mereka dapat kehilangan kredibilitasnya.Â
Akan lebih efektif jika para pemimpin menunjukkan optimisme bahwa organisasi akan menemukan solusi dalam situasi sulit yang dihadapi, dan bahwa mereka menyadari ketidakpastian yang diakibatkan oleh krisis serta upaya menghadapinya dengan mengumpulkan lebih banyak informasi. Ketika krisis telah berlalu, sikap optimis akan lebih bermanfaat dan tidak terbatas[3]
 Dalam sebuah jurnal, dikatakan bahwa hal yang dibutuhkan oleh para pemimpin saat terjadi krisis bukanlah penanganan yang telah terencana sebelumnya, melainkan perilaku dan pola pikir yang dapat mencegah reaksi yang berlebihan terhadap krisis dan bagaimana menghadapi tantangan di masa depan. Maka dalam konteks ini, kunci yang dapat dimainkan adalah bagaimana mindset yang digunakan oleh para pemimpin tersebut.[4]
 Setelah sebelumnya telah dibahas bagaimana menjawab terkait tantangan pemimpin di masa krisis atau pandemic yang sedang dihadapi, maka selanjutnya solusi yang dapat ditawarkan dalam menjawab tantangan di era ini adalah disruptive mindset. "This is not just a question of changing skillset. It is a changing mindset".-Julie Dodd, Penulis New Reality.
 Filsuf Charles Handy pernah mengatakan, Cara berfikir (mindset)  kita dibentuk oleh bagaimana kita melihat ruangan -- ruangan yang ada di rumah. Misalkan anggap saja ada 4 ruangan disana. Dimana diantaranya, ada ruang tamu yang bisa dilihat kita dan orang lain, ada ruang privat yang benar-benar hanya kita yang tahu, kemudian ada ruang misterius yang mungkin baik kita ataupun orang lain tak mampu melihatnya, dan yang terkahir yang berbahaya adalah ketika ada ruangan yang hanya diketahui oleh orang lain dan tidak kita sadari keberadaannya padahal ruang tersebut sangat dekat dengan kita.
 Namun sebetulnya, ruang seperti itu ada dimana -- mana dan merata diberbagai bidang. Hanya saja kemudian sebagian bergerak secara undercover-collaborative, tidak terlihat, dan dengan cara-cara baru yang kemudian tidak kita kenali. Salah satu kesalahan fatal yang seringkali kita lakukan atau bahkan para pemimpin di abad ini adalah dimana memandang dunia yang baru ini dengan menggunakan kaca mata masa lalu. Itulah kemudian yang terjadi di berbagai belahan dunia, ada yang bisa melihat 'ruangannya' ada yang kemudian tak mampu melihat 'ruangannya'.
 Mindset adalah bagaimana manusia berpikir yang ditentukan oleh setting yang kita buat sebelum berpikir dan bertindak. Ini sama seperti ponsel yang kita setting bahasa, fitur-fitur, suara, dan lain-lain sebelum kita pakai. Ada yang setting-nya kiri-kanan, ada yang central, ada yang membuat dirinya sempit di tengah, dan lain sebagainya.
 Maka dalam kaitannya dengan disruptive era tadi adalah dimana kemudian para pemimpin mampu memiliki disruptive mindset. Dimana jika kemudian pemimpin yang kita punya mampu memiliki disruptive  mindset tadi, maka ia kemudian bisa menjadi kreatif, dan tak takut melihat perubahan yang seperti dilakukan oleh anak-anak muda masa kini tanpa adanya beban di masa lalu. Sebaliknya, jika yang ia miliki adalah fixed mindset, maka ia menjadi sangat takut dan tak menghasilkan perubahan. Ia hanya terkurung oleh pengalaman masa lalunya dengan menyangkal realitas baru. Jadi, apakah benar kemudian bahwa pengalaman adalah guru terbaik?
 Mental disruptive ini tidak terikat oleh pengalaman atau aturan baku yang kaku pada masa lalu., melainkan sikap terbuka terhadap masa depan. Terhadap sesuatu yang baru, kita semua khususnya para pemimpin harus berupaya lagi lebih keras dan bersikap terbuka. Dimana dalam menyikapi proses perubahan yang sedang terjadi yang harusnya pemimpin lakukan adalah mampu melihat, kemudian bergerak, dan berupaya untuk menyelesaikan.
 Begitulah kiranya strategi yang kemudian dapat dilakukan oleh pemimpin dalam menghadapi era digital dan persaingan global juga era disrupsi dengan berbagai tantangan yang ada. Hal ini juga semakin nyata ketika pandemi covid 19 ini melanda di seluruh penjuru dunia. Maka untuk tetap bertahan dalam kondisi ini, kita membutuhkan seorang pemimpin millenial yang mampu adaptif terhadap setiap perkembangan zaman yang sedang terjadi, juga yang memiliki karakter yang kuat dalam menghadapi krisis serta yang terakhir adalah mereka yang memiliki disruptive mindset. Sekali lagi, kita membutuhkan disruptive mindset, disruptive leader, disruptive government, disruptive bureaucrat, disruptive marketing, juga disruptive action.
Â
Â
Referensi :
Â
Buku :
 Kasali, R. (2010). Let's Change. Jakarta : Kompas Gramedia
 Kasali, R. (2016). Derita Para Kreator di Negeri Transisi. Jakarta : Kompas.com
 Kasali, R. (2017). Disruption. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
 Jurnal :
 Gemma D'Auria dan Aaron De Smet. 2020.  Kepemimpinan di Masa Krisis : Menghadapi Wabah Virus Corona dan Tantangan di Masa Depan. McKinyes & Company
 Marshall Goldsmith & Laurence S. Lyons. 2005. Coaching for Leadership: The Practice of Leadership Coaching from the World's Greatest Coaches. Pfeiffer
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H