Mohon tunggu...
Fathimah Zahroo
Fathimah Zahroo Mohon Tunggu... Relawan - Pembelajar yang suka nulis

Manusia memang tak abadi, namun karyanya akan selalu hidup. #Menulislah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pasca Kapitalisme Menyeruak, di Sini Rakyat Merana, di Sana Tergelak Tawa

28 Juli 2020   08:56 Diperbarui: 28 Juli 2020   08:55 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siapa tak gentar mendengar pekikan suara penuh khidmat, "Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!" ditambah kepalan tangan penuh ambisi, tetesan peluh di dahi, dan emosi yang sedang berapi-api. 

Salam perjuangan yang dengan bangga akan selalu diteriakkan oleh para aktivis mahasiswa. Ibarat di medan pertempuran, rakyat adalah harta yang akan dikawal dan dilindungi sampai kapanpun. 

Bahkan seorang Politikus Amerika, Hubert Humphrey pernah mengatakan "Tidak cukup penjara, tidak cukp polisi, dan tidak cukup pengadilan untuk menegakkan hukum bila tidak didukung oleh rakyat".

Rakyat menjadi aktor yang kemudian memiliki andil yang besar dalam keberjalanan suatu bangsa. Betapa tidak, dengan tangan tangan rakyat kekuasaan bisa runtuh. Dengan suara suara rakyat, elit korporat akan terguncang. Dan dengan hati hati rakyat, para politisi akan dengan mudah luluh. Namun lihatlah sekarang, bagaimana rakyat hidup? Bagaimana mereka diperlakukan?!

Seiring waktu berjalan, muncullah aktor lain yang kemudian ikut mengambil peran dalam kontestasi pengambilan kekuasaan. Mereka para aktor swasta, pihak asing, serta elit kapitalis tak ketinggalan ikut bermain di dalamnya. 

Pemerintah yang dalam hal ini merupakan pembuat kebijakan bak dibayang bayangi oleh mereka yang memberikan iming-iming kerja sama, investasi, ataupun profit lainnya. Rakyat bukan satu-satunya objek yang kemudian dapat diuntungkan. Muncul pihak-pihak lain yang juga menjual kepentingan demi meraup keuntungan.

Ibarat virus yang dalam sepersekian detik mampu menyebar ke mana pun ia pergi, kapitalisme semakin menyeruak dan akan hinggap pada siapa saja yang memiliki karakter kapitalis. 

Tak dapat dipungkiri jika kemudian aktor swasta maupun asing dengan getol terus melirik peluang di setiap sudut wilayah Indonesia. Mereka akan dengan agresif terus menggandeng dan merayu pemerintah untuk kemudian saling bekerja sama. Tak ada yang mereka harapkan kecuali keuntungan yang berlimpah. Para elit kapitalis tak akan membiarkan dirinya rugi atau bangkrut.

Kapitalisme merupakan rangkaian proses di mana di dalamnya terdapat keharusan untuk akumulasi. Akumulasi harus terus berjalan dipraktikan dengan keharusan investasi. Inilah yang kemudian terus memacu mereka untuk mencari setiap peluang, termasuk dalam proyek-proyek yang dicanangkan oleh pemerintah. 

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa dalam praktik public policy terdapat 3 aktor di mana ketiganya adalah Pemerintah, Masyarakat, dan pihak swasta. Pemerintah juga tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan swasta, tapi yang kemudian membahayakan adalah jika porsi yang diberikan ternyata terlalu besar dan merugikan rakyat dan negara. Siapa yang akan bertanggung jawab?

Hal tersebutlah yang kini kemudian rakyat rasakan. Praktik akumulasi seperti penjarahan secara kolonial, privatisasi dan komodifikasi atas tanah. Akumulasi kapital merupakan salah satu tahap fundamental bagi ekspansinya kapitalisme. 

Awal mula, tanah diambil alih entah melalui perampasan, pengusiran para petani, pemindahan suku-suku, maupun melalui otoritas negara yang merancang regulasi untuk mengeluarkan massa rakyat dari lahan produktif. 

Lahan-lahan milik masyarakat lambat laun terkena dampak privatisasi perusahaan perusahaan besar. Termasuk kasus yang terjadi di NTT, Kalimantan, dan Maluku. Nampaknya lambat laun kekayaan alam, tanah, dan SDA lainnya akan terkena dampak kapitalisme ini, tinggal menunggu waktu dan giliran saja.

Mirisnya adalah, seringkali keberpihakan pemerintah atau pejabat setempat yang condong kepada aktor swasta atau kaum elit itu sendiri. Misalnya, "membatasi otonomi desa dengan mengalihkan wewenang membuka hutan di tanah terlantar dari kepala desa ke pejabat pemerintah" (Furnivall, 2009: 193). 

Di bawah pengawasan ordonansi ini, penduduk tidak bisa lagi membuka lahan-lahan garapan sembarangan. Peraturan ini menjadi salah satu tonggak penting penciptaan proletariat. 

Bagaimanapun, tanpa lahan, kaum tani tidak bisa lagi menjadi petani. Para petani kemudian hanya bisa menjadi pekerja upahan. Lahan yang sudah diambil oleh pemerintah kemudian akan dengan mudah mereka manfaatkan untuk kepentingan lain yang rakyat pun tidak tau menau apalagi mereka yang notabennya adalah kalangan bawah.

Kemudian, kita juga bisa melihat bagaimana sempat trandingnya hastag #JogjaOradiDol di twitter beberapa waktu lalu. Hal tersebut menjadi keprihatinan warga jogja terhadap merebaknya pembangunan hotel dan mall di sana. Lahan yang tadinya digunakan bersama oleh warga, disulap menjadi kawasan perhotelan dan Mall. Kondisi tersebut yang kemudian menjadikan Warga Jogja seperti hidup tidak nyaman dan bukan di negeri sendiri. Semua dirampas oleh kepentingan kapitalis.

Hal serupa juga terjadi di ibu kota Jakarta. Permasalahan banjir dari tahun ke tahun yang menjadi fokus pemprov Jakarta tak kunjung usai. Hal pokok yang menjadi salah satu akar permasalahan adalah dimana minimnya daerah resapan. 

Kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan justru dibangun dengan Mall dan gedung pencakar langit. Namun apa yang terjadi? Rakyat-rakyat miskin di belantaran sungai di gusur paksa guna pencegahan banjir. 

Padahal, pembangunan gedung serta perhotelan nan tinggi juga yang harus ikut bertanggung jawab. Namun siapa peduli? Mereka para elit kapitalis yang dengan mudah dapat berbuat semau mereka agar kepentingannya dapat berjalan mulus.

Perampasan tanah dan penggusuran rakyat menjadi hal yang nampak lumrah di era ini. Banyak kasus yang terjadi selain hal-hal yang sudah disebutkan di atas. 

Kapitalisme bagai monster yang siap memangsa siapa saja yang ada di depannya. Rakyat miskin dan kalangan bawah hanya melongo dibuatnya. Mereka tak dapat melakukan apapun kecuali dengan suara suara mereka. 

Tentu hal ini tidak bisa kita diamkan saja. Sesuai dengan cita-cita Pancasila, kesejahteraan dan keadilan adalah milik setiap jiwa yang hidup di bumi pertiwi ini. Jangan sampai mereka yang tinggal bagai hidup di negeri orang. Di rampas hak nya sana sini dan di gusur kemudian.

Hanya dengan menonton, tidak akan ada yang berubah. Luka yang kecil jika tidak diobati maka akan bernanah. Kondisi seperti ini tak bisa kita diamkan. Sebagai kaum intelek mari kita bersama-sama untuk aktif dalam mengkawal kebijakan pemerintah. 

Mari bersama untuk mengedukasi kalangan bawah untuk aktif dalam menanggapi keputusan pemerintah. Penindasan ala kolonial tidak dibenarkan dan harus kita lawan. 

Hak-hak rakyat tetaplah milik rakyat dan harus dijaga. Para elemen masyarakat harus saling bahu membahu untuk mencapai keadilan. Jika bukan kita, Siapa lagi?

"Keadilan bukanlah sekedar masalah dan hukuman. Keadilan adalah lapisan humus dari ladang sebuah kebersamaan", Goenawan Mohamad.

Sumber Referensi
Amalia,ayu dan Sani Suprayogi, Mohammad. 2016. "Masalah Sosial Tanda Tentang Media Sosial: Studi Kasus Topik Trening Media Sosial Yang Menyatakan Masalah Perkotaan Di Yogyakarta Pada Twitter". International Conference on Social Politics

Mulyanto, Dede. 2008. "Konsep Proletarisasi dan Akumulasi Primitif dalam Teori Kependudukan Marxis". Jurnal Kependudukan Padjadjaran, Vol. 10, No. 2, Juli 2008 : 81 -- 99

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun