Mohon tunggu...
Fathi Almirhea
Fathi Almirhea Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Program Studi Pembangunan Wilayah Fakultas Geograafi Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hamemayu Hayuning Bawono, Kearifan Lokal yang Hilang di Tengah Keistimewaan Yogyakarta

8 Desember 2015   15:22 Diperbarui: 8 Desember 2015   15:29 3251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hamemayu Hayuning Bawono

Rahayuning Bawono Kapurbo Waskithaning Manungso

            Ngayogyakarta Hadiningrat dikenal sebagai sebuah provinsi dengan nuansa kebudayaan Jawa yang sangat kental, setiap interaksi sosial, ekonomi, dan budaya tidak pernah lepas dari adat-adat yang sudah terbangun sejak provinsi ini masih berbentuk dan masuk dalam wilayah Kerajaan Mataram. Budaya Jawa yang ada hingga kini bertransformasi menjadi sebuah kearifan lokal yang dipergunakan masyarakat Yogyakarta untuk saling berinteraksi, baik dengan sesama manusia, dengan Tuhan, dan dengan alam.

Salah satu filosofi dasar masyarakat Jawa utamanya bagi Kesultanan Yogyakarta dan visi bagi setiap kegiatan pemerintahan dan utamanya kegiatan pembangunan di Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawono yang memiliki arti mempercantik alam yang sudah cantik. Hamemayu Hayuning Bawono tidak bisa terwujud begitu saja tanpa adanya Rahayuning Bawono Kapurbo Waskithaning Manungso atau kelestarian alam tidak akan terwujud tanpa adanya kewaspadaan manusia. Kewaspadan yang dimaksud adalah kewaspadaan terhadap degradasi lingkungan yang akan terjadi apabila manusia mulai serakah. Sehingga dengan adanya falsafah tersebut, diharapkan masyarakat Yogyakarta tidak menjadi masyarakat yang serakah dalam mengelola kekayaan alam yang ada.

            Filosofi Jawa yang dipakai oleh Yogyakarta sebagai pedoman kegiatan pemerintahan tentunya mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai. Tujuan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah keinginan dari para pendahulu agar Yogyakarta menjadi sebuah daerah yang maju dalam pembangunan namun senantiasa menjaga lingkungan hidupnya. Pengelolaan lingkungan hidup yang bijaksana sesungguhnya menjadi konsern dari pembangunan yang ada di Yogyakarta terbesit dari filosofi-filosofi yang digunakan tersebut. Penggunaan filosofi Jawa tersebut menciptakan kekhasan dan keunikan tersendiri bagi pembangunan lingkungan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Salah satu hal nyata yang duhulu diterapkan oleh Pangeran Mangkubumi melalui filofosi Hamemayu Hayuning Bawono adalah konsep tata ruang yang dikenal dengan konsep sumbu nyegara gunung. Di lapangan, konsep sumbu nyegara gunung ini diterapkan dengan membuat garis imajiner lurus yang menghubungkan Samudra Indonesia, tanda gardu pandang Gedong Krapyak, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi. Poros-poros tersebut didapat dari akulturasi faham Hindu dan Islam yang memiliki maksud jalan lurus menuju akhirat. Gunung Merapi ditempatkan disebelah Utara atau bagian atas yang berarti disakralkan karena Gunung Merapi merupakan wilayah yang penting bagi wiayah-wilayah di bawahnya, sekaligus menjadi pemasok utama sumber  daya alam bagi wilayah sekitarnya.

Wilayah tengah diisi oleh pusat-pusat pemerintahan, ekonomi, agama, sosial, budaya yang disimbolkan dengan adanya Keraton, Masjid Agung, Pasar Beringharjo, dan Kepatihan. Ruang terbuka hijau dan ruang publik diwakili oleh Alun-Alun Selatan dan Alun-Alun Utara yang digunakan sebagai tempat berkumpulnya warga Yogyakarta. Wilayah pemukiman diwujudkan dengan perumahan para pangeran dan pejabat tinggi Keraton (Suhardjo, 2004). Samudra Hindia dalam falsafah Jawa dijadikan sebagai dasar berdirinya suatu wilayah atau dinamakan jalandhi atau palemahan yang harus dilindungi dan dijaga keasriannya oleh Keraton.

            Tata ruang Yogyakarta dibuat sedemikian rupa dengan menggunakan nilai-nilai kearifan lokal dari falsafah Jawa yang dimilikinya dengan maksud untuk selalu menjaga dan memanfaatkan kesemuanya dengan baik serta tidak berlebih. Namun yang terjadi sekarang adalah penataan ruang yang telah diatur sedemikian rupa dengan mengadopsi kearifan lokal berubah menjadi penataan ruang yang semena-mena yang lebih mengejar keuntungan ekonomi semata. Gaung dari Hamemayu Hayuning Bawono dalam era pembangunan Yogyakarta dewasa ini semakin tak terdengar.

Hamemayu Hayuning Bawono kini hanya sebatas wejangan dari para leluhur tanpa diadopsi betul-betul oleh para pemangku kepentingan dalam menjalankan pembangunan di Yogyakarta. Lihatlah bagaimana pembangunan Yogyakarta yang tak pernah lepas dari berbagai masalah, mulai dari Jogja asat, penolakan pembangunan apartemen di Kabupaten Sleman, hingga munculnya penolakan pembangunan bandara di Kulon Progo karena dapat merusak lahan pertanian. Kesemuanya merupakan contoh nyata jika saat ini filosofi Hamemayu Hayuning Bawono dalam pembangunan mulai hilang, dan juga Rahayuning Bawono Kapurbo Waskithaning Manungso kini sudah tidak dihiraukan lagi. Akibatnya tentulah terjadi degradasi lingkungan di wilayah Yogyakara.

            Yogyakarta yang rencana pembangunannya menekankan pada sektor pariwisata, industri, dan pendidikan menjadi kurang waspada dalam mengelola sumber daya yang ada. Disektor pariwisata sendiri, demi menopang sarana dan prasarana pariwisata, pembangunan hotel untuk tempat penginapan menjadi tidak terkendali. Investor bisa dengan mudah membangun hotel di lahan yang terbatas. Selain itu, pemenuhan kebutuhan pangan bagi wisatawan juga membuat menjamurnya restoran dan tempat-tempat makan.

Akibatnya akhir-akhir ini muncul gerakan Jogja Asat dari berbagai pemuda Yogyakarta seperti yang dilansir dari situs website detik.com. Para pemuda Yogyakarta merasa prihatin dan gelisah melihat makin banyaknya hotel-hotel di Yogyakarta. Asat yang dalam bahasa Indonesia berarti kering mempunyai makna jika Yogyakarta utamanya daerah Kota Jogja telah mengalami kekeringan air yang tidak lain disebabkan oleh banyaknya bangunan-bangunan hotel yang memanfaatkan air tanah, sehingga air tanah yang berada di lingkungan perumahan para warga menjadi habis dan menyebabkan sumur kering. Hal itu jika lama kelamaan dibiarkan maka akan berdampak degradasi sumberdaya air dalam skala yang lebih luas.

Hal lain yang semakin membuat Kota Jogja menjadi langka sumber daya air tanah adalah maraknya pembangunan mall-mall besar yang juga merambah ke daerah Kabupaten Sleman. Menurut situs berita kompas.com, hingga Desember 2014 terdapat 6 pusat perbelanjaaan yang beroperasi dan pada tahun 2015 ini akan ada 6 mall baru lagi yang salah satunya adalah yang terbesar di Jawa Tengah dan DIY. Banyaknya mall yang beroperasi di Yogyakarta selain menyebabkan kerusakan lingkungan juga merusak tatanan sosial dan ekonomi masyarakat Yogyakarta yang selama ini berpegangan kepada nilai-nilai budaya Jawa.

Pasar-pasar tradisional serta warung-warung kecil milik warga kini kehilangan eksistensinya karena masyarakat lebih memilih mall sebagai tempat berbelanja mereka. Pudarnya eksistensi pasar tradisional dan warung-warung kecil membuat pudar pula komunikasi yang terjadi antar masyarakat Yogyakarta, nilai-nilai kemasyarakatn yang ada dalam pasar tradisional juga akan menghilang. Proses tawar menawar di pasar tradisional sebagai contohnya, mengandung nilai-nilai budaya yang sangat istimewa dan luhur, melalui tawar-menawar masyarakat saling berkomunikasi dan saling mengenal satu sama lain.

Para pembeli yang sudah berlangganan dengan sang penjual juga menciptakan sebuah tali silaturahmi yang unik. Dan lagi pasar tradisional bisa dijadikan sebagai ruang publik dimana hampir sebagian masyarakat dari kalangan manapun dapat bertemu dan berinteraksi. Banyaknya mall juga menyebabkan tingkat konsimerisme masyarakat Yogyakarta meningkat yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat Yogyakarta kebanyakan. Mall hanya bisa dimasuki oleh kalangan tertentu seperti kalangan menengah ke atas.

Masalah pembangunan yang lain adalah mulai banyaknya pembangunan apartemen di Yogyakarta yang juga akan mengganggu lingkungan. Pembangunan apartemen dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal bagi masyarakat yang penglaju atau mahasiswa yang berasal dari luar Yogyakarta. Semakin terbatasnya lahan di Yogyakarta yang tidak sepadan dengan peningkatan jumlah penduduk akibat urbanisasi membuat penyediaan permukiman kurang memungkinkan dilakukan secara horizontal seperti pada pemukiman pada umumnya. Alternatif yang dipakai adalah penyediaan permukiman atau hunian secara vertikal dengan membangun apartemen.

Apartemen yang ada nantinya tidak akan mungkin dihuni oleh masyarakat Yogyakarta, namun akan dihuni oleh para pendatang yang artinya masyarakat lokal tidak akan merasakan hasil dari pembangunan yang ada, padahal pembangunan yang baik adalah pembangunan yang berdampak positif dan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. Hunian vertikal seperti apartemen juga belum sesuai diterapkan di Yogyakarta yang masyarakatnya masing berbudaya njawani.

Hunian vertikal membuat interaksi sosial masyarakat akan cenderung menjadi interaksi bersifat patembayan atau hanya karena keuntungan semata, tidak mendasarkan pada ikatan kekeluargaan. Berbeda dengan permukiman biasa yang masyarkatnya bisa leluasa saling menyapa, berkomunikasi, mengenal tetangga-tetangganya yang bahkan rumahnya saling berjuhan satu sama lain. Kehidupan hunian vertikal kurang memberikan keleluasaan berinteraksi bagi para penghuninya, mereka yang tinggal ditempat-tempat tersebut cenderung bertemu saat pergi dan pulang bekerja atau kuliah.

Contoh-contoh di atas menunjukan bagaimana pembangunan Yogyakarta kini dijalankan. Bangunan tinggi serta crane menjadi penghias langit-langit Yogyakarta yang membuat kesan keramahan dari provinsi ini menjadi hilang. Masyarakat asli Yogyakarta sendiri saat ini mulai tergusur di tanah mereka akibat lahan-lahan yang ada lebih dimanfatkan untuk bangunan komersil seperti hotel dan mall. Lambat laun Yogyakarta akan kehilangan keistimewaannya apabila pembangunan yang ada tidak diseimbangkan antara sektor ekonomi, sosial, dan budaya.

Pembangunan seharusnya tidak hanya dilihat dari aspek keuntungan semata, namun perlu memperhatikan Hamemayu Hayuning Bawono, dimana manusia haruslah mempercantik alam yang sudah cantik. Manusia sebagai khalifah di bumi sudah seharusnya Memayu Hayuning Bawono sebab bumi dan alam ini diciptakan dengan segala keindahan dan manusia hanya diutus untuk menjaga keindahannya bukan justru merusak keindahan yang sudah ada. Budaya dan kearifan lokal yang ada harus tetap dijunjung seberapa pun majunya sebuah peradaban, karena sebuah peradaban terbentuk dari budaya-budaya masyarakatnya. Para leluhur Yogyakarta sudah memberikan contoh bagaimana cara yang baik dalam menata wilayah yang didasarkan pada falsafah hidup mereka. Kita saat ini hanya diminta untuk meneruskan apa yang sudah para pendahulu ciptakan.

Hendaknya semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah mulai sadar jika pembangunan yang ada tidak masih tetap seperti saat ini tanpa didasari oleh waskithaning manungso, maka Yogyakarta akan berubah menjadi JogJakarta tanpa ada keistimewaan lagi di dalamnya sebab keistimewaan Yogyakarta tidak hanya terletak dari bentuk pemerintahannya, namun keistimewaan Yogyakarta juga berasal dari geoekologisnya dan juga dari nilai-nilai luhur masyarakat yang harus senantiasa dijaga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun