Hal lain yang semakin membuat Kota Jogja menjadi langka sumber daya air tanah adalah maraknya pembangunan mall-mall besar yang juga merambah ke daerah Kabupaten Sleman. Menurut situs berita kompas.com, hingga Desember 2014 terdapat 6 pusat perbelanjaaan yang beroperasi dan pada tahun 2015 ini akan ada 6 mall baru lagi yang salah satunya adalah yang terbesar di Jawa Tengah dan DIY. Banyaknya mall yang beroperasi di Yogyakarta selain menyebabkan kerusakan lingkungan juga merusak tatanan sosial dan ekonomi masyarakat Yogyakarta yang selama ini berpegangan kepada nilai-nilai budaya Jawa.
Pasar-pasar tradisional serta warung-warung kecil milik warga kini kehilangan eksistensinya karena masyarakat lebih memilih mall sebagai tempat berbelanja mereka. Pudarnya eksistensi pasar tradisional dan warung-warung kecil membuat pudar pula komunikasi yang terjadi antar masyarakat Yogyakarta, nilai-nilai kemasyarakatn yang ada dalam pasar tradisional juga akan menghilang. Proses tawar menawar di pasar tradisional sebagai contohnya, mengandung nilai-nilai budaya yang sangat istimewa dan luhur, melalui tawar-menawar masyarakat saling berkomunikasi dan saling mengenal satu sama lain.
Para pembeli yang sudah berlangganan dengan sang penjual juga menciptakan sebuah tali silaturahmi yang unik. Dan lagi pasar tradisional bisa dijadikan sebagai ruang publik dimana hampir sebagian masyarakat dari kalangan manapun dapat bertemu dan berinteraksi. Banyaknya mall juga menyebabkan tingkat konsimerisme masyarakat Yogyakarta meningkat yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat Yogyakarta kebanyakan. Mall hanya bisa dimasuki oleh kalangan tertentu seperti kalangan menengah ke atas.
Masalah pembangunan yang lain adalah mulai banyaknya pembangunan apartemen di Yogyakarta yang juga akan mengganggu lingkungan. Pembangunan apartemen dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal bagi masyarakat yang penglaju atau mahasiswa yang berasal dari luar Yogyakarta. Semakin terbatasnya lahan di Yogyakarta yang tidak sepadan dengan peningkatan jumlah penduduk akibat urbanisasi membuat penyediaan permukiman kurang memungkinkan dilakukan secara horizontal seperti pada pemukiman pada umumnya. Alternatif yang dipakai adalah penyediaan permukiman atau hunian secara vertikal dengan membangun apartemen.
Apartemen yang ada nantinya tidak akan mungkin dihuni oleh masyarakat Yogyakarta, namun akan dihuni oleh para pendatang yang artinya masyarakat lokal tidak akan merasakan hasil dari pembangunan yang ada, padahal pembangunan yang baik adalah pembangunan yang berdampak positif dan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. Hunian vertikal seperti apartemen juga belum sesuai diterapkan di Yogyakarta yang masyarakatnya masing berbudaya njawani.
Hunian vertikal membuat interaksi sosial masyarakat akan cenderung menjadi interaksi bersifat patembayan atau hanya karena keuntungan semata, tidak mendasarkan pada ikatan kekeluargaan. Berbeda dengan permukiman biasa yang masyarkatnya bisa leluasa saling menyapa, berkomunikasi, mengenal tetangga-tetangganya yang bahkan rumahnya saling berjuhan satu sama lain. Kehidupan hunian vertikal kurang memberikan keleluasaan berinteraksi bagi para penghuninya, mereka yang tinggal ditempat-tempat tersebut cenderung bertemu saat pergi dan pulang bekerja atau kuliah.
Contoh-contoh di atas menunjukan bagaimana pembangunan Yogyakarta kini dijalankan. Bangunan tinggi serta crane menjadi penghias langit-langit Yogyakarta yang membuat kesan keramahan dari provinsi ini menjadi hilang. Masyarakat asli Yogyakarta sendiri saat ini mulai tergusur di tanah mereka akibat lahan-lahan yang ada lebih dimanfatkan untuk bangunan komersil seperti hotel dan mall. Lambat laun Yogyakarta akan kehilangan keistimewaannya apabila pembangunan yang ada tidak diseimbangkan antara sektor ekonomi, sosial, dan budaya.
Pembangunan seharusnya tidak hanya dilihat dari aspek keuntungan semata, namun perlu memperhatikan Hamemayu Hayuning Bawono, dimana manusia haruslah mempercantik alam yang sudah cantik. Manusia sebagai khalifah di bumi sudah seharusnya Memayu Hayuning Bawono sebab bumi dan alam ini diciptakan dengan segala keindahan dan manusia hanya diutus untuk menjaga keindahannya bukan justru merusak keindahan yang sudah ada. Budaya dan kearifan lokal yang ada harus tetap dijunjung seberapa pun majunya sebuah peradaban, karena sebuah peradaban terbentuk dari budaya-budaya masyarakatnya. Para leluhur Yogyakarta sudah memberikan contoh bagaimana cara yang baik dalam menata wilayah yang didasarkan pada falsafah hidup mereka. Kita saat ini hanya diminta untuk meneruskan apa yang sudah para pendahulu ciptakan.
Hendaknya semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah mulai sadar jika pembangunan yang ada tidak masih tetap seperti saat ini tanpa didasari oleh waskithaning manungso, maka Yogyakarta akan berubah menjadi JogJakarta tanpa ada keistimewaan lagi di dalamnya sebab keistimewaan Yogyakarta tidak hanya terletak dari bentuk pemerintahannya, namun keistimewaan Yogyakarta juga berasal dari geoekologisnya dan juga dari nilai-nilai luhur masyarakat yang harus senantiasa dijaga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI