Hamemayu Hayuning Bawono
Rahayuning Bawono Kapurbo Waskithaning Manungso
           Ngayogyakarta Hadiningrat dikenal sebagai sebuah provinsi dengan nuansa kebudayaan Jawa yang sangat kental, setiap interaksi sosial, ekonomi, dan budaya tidak pernah lepas dari adat-adat yang sudah terbangun sejak provinsi ini masih berbentuk dan masuk dalam wilayah Kerajaan Mataram. Budaya Jawa yang ada hingga kini bertransformasi menjadi sebuah kearifan lokal yang dipergunakan masyarakat Yogyakarta untuk saling berinteraksi, baik dengan sesama manusia, dengan Tuhan, dan dengan alam.
Salah satu filosofi dasar masyarakat Jawa utamanya bagi Kesultanan Yogyakarta dan visi bagi setiap kegiatan pemerintahan dan utamanya kegiatan pembangunan di Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawono yang memiliki arti mempercantik alam yang sudah cantik. Hamemayu Hayuning Bawono tidak bisa terwujud begitu saja tanpa adanya Rahayuning Bawono Kapurbo Waskithaning Manungso atau kelestarian alam tidak akan terwujud tanpa adanya kewaspadaan manusia. Kewaspadan yang dimaksud adalah kewaspadaan terhadap degradasi lingkungan yang akan terjadi apabila manusia mulai serakah. Sehingga dengan adanya falsafah tersebut, diharapkan masyarakat Yogyakarta tidak menjadi masyarakat yang serakah dalam mengelola kekayaan alam yang ada.
           Filosofi Jawa yang dipakai oleh Yogyakarta sebagai pedoman kegiatan pemerintahan tentunya mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai. Tujuan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah keinginan dari para pendahulu agar Yogyakarta menjadi sebuah daerah yang maju dalam pembangunan namun senantiasa menjaga lingkungan hidupnya. Pengelolaan lingkungan hidup yang bijaksana sesungguhnya menjadi konsern dari pembangunan yang ada di Yogyakarta terbesit dari filosofi-filosofi yang digunakan tersebut. Penggunaan filosofi Jawa tersebut menciptakan kekhasan dan keunikan tersendiri bagi pembangunan lingkungan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Salah satu hal nyata yang duhulu diterapkan oleh Pangeran Mangkubumi melalui filofosi Hamemayu Hayuning Bawono adalah konsep tata ruang yang dikenal dengan konsep sumbu nyegara gunung. Di lapangan, konsep sumbu nyegara gunung ini diterapkan dengan membuat garis imajiner lurus yang menghubungkan Samudra Indonesia, tanda gardu pandang Gedong Krapyak, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi. Poros-poros tersebut didapat dari akulturasi faham Hindu dan Islam yang memiliki maksud jalan lurus menuju akhirat. Gunung Merapi ditempatkan disebelah Utara atau bagian atas yang berarti disakralkan karena Gunung Merapi merupakan wilayah yang penting bagi wiayah-wilayah di bawahnya, sekaligus menjadi pemasok utama sumber daya alam bagi wilayah sekitarnya.
Wilayah tengah diisi oleh pusat-pusat pemerintahan, ekonomi, agama, sosial, budaya yang disimbolkan dengan adanya Keraton, Masjid Agung, Pasar Beringharjo, dan Kepatihan. Ruang terbuka hijau dan ruang publik diwakili oleh Alun-Alun Selatan dan Alun-Alun Utara yang digunakan sebagai tempat berkumpulnya warga Yogyakarta. Wilayah pemukiman diwujudkan dengan perumahan para pangeran dan pejabat tinggi Keraton (Suhardjo, 2004). Samudra Hindia dalam falsafah Jawa dijadikan sebagai dasar berdirinya suatu wilayah atau dinamakan jalandhi atau palemahan yang harus dilindungi dan dijaga keasriannya oleh Keraton.
           Tata ruang Yogyakarta dibuat sedemikian rupa dengan menggunakan nilai-nilai kearifan lokal dari falsafah Jawa yang dimilikinya dengan maksud untuk selalu menjaga dan memanfaatkan kesemuanya dengan baik serta tidak berlebih. Namun yang terjadi sekarang adalah penataan ruang yang telah diatur sedemikian rupa dengan mengadopsi kearifan lokal berubah menjadi penataan ruang yang semena-mena yang lebih mengejar keuntungan ekonomi semata. Gaung dari Hamemayu Hayuning Bawono dalam era pembangunan Yogyakarta dewasa ini semakin tak terdengar.
Hamemayu Hayuning Bawono kini hanya sebatas wejangan dari para leluhur tanpa diadopsi betul-betul oleh para pemangku kepentingan dalam menjalankan pembangunan di Yogyakarta. Lihatlah bagaimana pembangunan Yogyakarta yang tak pernah lepas dari berbagai masalah, mulai dari Jogja asat, penolakan pembangunan apartemen di Kabupaten Sleman, hingga munculnya penolakan pembangunan bandara di Kulon Progo karena dapat merusak lahan pertanian. Kesemuanya merupakan contoh nyata jika saat ini filosofi Hamemayu Hayuning Bawono dalam pembangunan mulai hilang, dan juga Rahayuning Bawono Kapurbo Waskithaning Manungso kini sudah tidak dihiraukan lagi. Akibatnya tentulah terjadi degradasi lingkungan di wilayah Yogyakara.
           Yogyakarta yang rencana pembangunannya menekankan pada sektor pariwisata, industri, dan pendidikan menjadi kurang waspada dalam mengelola sumber daya yang ada. Disektor pariwisata sendiri, demi menopang sarana dan prasarana pariwisata, pembangunan hotel untuk tempat penginapan menjadi tidak terkendali. Investor bisa dengan mudah membangun hotel di lahan yang terbatas. Selain itu, pemenuhan kebutuhan pangan bagi wisatawan juga membuat menjamurnya restoran dan tempat-tempat makan.
Akibatnya akhir-akhir ini muncul gerakan Jogja Asat dari berbagai pemuda Yogyakarta seperti yang dilansir dari situs website detik.com. Para pemuda Yogyakarta merasa prihatin dan gelisah melihat makin banyaknya hotel-hotel di Yogyakarta. Asat yang dalam bahasa Indonesia berarti kering mempunyai makna jika Yogyakarta utamanya daerah Kota Jogja telah mengalami kekeringan air yang tidak lain disebabkan oleh banyaknya bangunan-bangunan hotel yang memanfaatkan air tanah, sehingga air tanah yang berada di lingkungan perumahan para warga menjadi habis dan menyebabkan sumur kering. Hal itu jika lama kelamaan dibiarkan maka akan berdampak degradasi sumberdaya air dalam skala yang lebih luas.