Oleh : Fathia 'Ilma Nafi'a
Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta
Pentingnya Adab Dalam Meraih Keberkahan Ilmu
Rasulullah bersabda:
Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim, sebagaimana hadits berikut ini:
"Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim" (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir no. 3913).
Syarah hadis:
Namun, isnad hadis ini dha'if. Hadis ini diriwayatkan dari berbagai jalur. Meski datang dari berbagai jalur, namun tidak punya kompetensi untuk menguatkan hadis yang dha'if tersebut. Derajat hadis ini adalah seperti yang dikatakan Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal dan sejawatnya, yaitu Ishaq bin Rahuyah, "Dalam bab masalah ini, tidak ada sesuatu hadis pun yang sahih."
Dari kalangan ulama muta'akkhirin, ada yang menilai hadis ini hasan karena jalur periwayatannya yang banyak. Yang terdepan di antara muta'akkhirin tersebut adalah As-Suyuthi. As-Suyuth menyusun risalah yang lengkap menelusuri jalur-jalur periwayatan hadis tersebut, Hati saya lebih condong pada pendapat Ahmad dan Ishaq. Meski banyak jalur periwayatannya, namun disertal dengan kerapuhannya, tidak memungkinkan bisa menguatkan hadis tersebut.
Masih ada yang perlu diketahui bahwa lafal terakhir yang disebutkan penyusun, yaitu kata wa muslimatin itu tidak ada asalnya, Kata ini tidak ada diriwayatkan secara bersanad sama sekali. Ini seperti halnya dengan apa yang disebut dengan mulshaq (yang ditempelkan).
Ketahuilah bahwa yang diwajibkan atas setiap muslim bukanlah setiap cabang ilmu, tetapi mencari ilmu yang disebut dengan ilmu haal. Ini sebagaimana dikatakan "ilmu yang paling utama adalah ilmu haal (ilmu yang diperlukan saat itu) sedangkan amal yang paling utama adalah hifdzul haal (menjaga amal yang dituntut saat itu)".
Maksud mulshaq adalah lafal-lafal yang disebutkan dalam hadis Nabi, yang sama sekali tidak pernah diriwayatkan sama sekali.
Kata wa muslimatin, ini sama sekali tidak pernah ada dalam riwayat. Dengan demikian, bisa dibedakan antara mulshaq dengan yang disebut dengan ziyadatu tsiqah dan mudraj. Karena dua jenis tersebut diriwayatkan dengan sanad. Adapun mulshaq tidak pernah ada riwayatnya.
Akan tetapi, ia menyusup ke dalam lafal-lafal hadis Nabi, sedangkan tidak ada asalnya dari ucapan Nabi. Hadis yang disebutkan tersebut adalah di antara contoh mulshaq yang paling masyhur.
Tambahan kata wa muslimatin (dan wajib atas muslimah) tidak ada asalnya. Namun, arti kata tersebut menjadi konsekuensi dilihat dari segi maknanya. Karena ucapan tersebut  "atas setiap Muslim" mencakup kaum lelaki dan perempuan, sama antara keduanya.
Karena pada prinsip dasarnya, dalam khithab syariah (nash syariat yang ditujukan kepada umat) adalah ditujukan untuk dua jenis ini secara sama, lelaki dan perempuan. Kecuali bila ada dalil yang mengkhususkan salah satunya tanpa yang lainnya. Maka, mungkin saja ada khithab yang ditujukan untuk lelaki, tidak untuk wanita, atau datang khusus untuk perempuan tanpa lelaki.
Adapun memilih guru, maka sepatutnya ia memilih guru yang paling alim, paling wara, dan berumur.
la memilih orang yang telah berhasil meraih sifat kesempurnaan. Sifat sempurna yang paling agung adalah yang disebutkan dalam ucapan penyusun: yang paling alim, paling warak dan berumur. Dan sifat yang menghimpun kesempurnaan.
Bagi seorang guru seperti yang disebutkan penyusun ada tiga hal:
1. Sempurna dalam ilmu.
2. Sempurna dalam sifat wara'
3. Telah berumur
Bila tiga kriteria ini sudah terhimpun dalam diri seseorang, maka ia lebih diutamakan dipilih dalam rangka mengambil ilmu darinya. Barang siapa yang ada satu sifat tersebut yang kurang darinya, maka kadar pengambilan darinya pun berkurang.
Maka tidak seyogianya kalau seorang yang telah punya sifat sempurna dipersaingkan dengan orang yang belum lagi sampai pada sifat sempurna (diakhirkan dalam mengambil ilmu daripada yang belum sempurna); apalagi dengan orang yang kurang dalam kesempurnaannya.
Barang siapa yang mengambil ilmu dari seorang alim, sedangkan di negeri tersebut ada orang lain yang lebih alim daripadanya, lalu ia pun tidak mengambil ilmu darinya, maka ia orang yang teledor dalam meniti jalan lurus terkait mengambil ilmu.
Yang lebih mengenaskan lagi adalah orang yang mengambil ilmu dari seorang pendakwa ilmu (mengklaim ahli ilmu padahal bukan); meninggalkan orang-orang yang dikenal punya ilmu di negerinya. Maka, seorang penuntut ilmu seyogianya bersungguh-sungguh merapat kepada para guru yang membimbingnya; di mana akan bisa mengambil manfaat dengan mengambil ilmu dari mereka.
Ini adalah kebaikan yang tersembunyi; wal hamdulillah. Sebab ia adalah salah seorang tokoh penting Islam. Agama pun menjadi terjaga. Guru yang memang punya kelayakan untuk diambil ilmunya, mereka ini adalah orang yang telah terkenal ilmunya dengan usianya yang telah berumur; di mana semua orang sama-sama mengetahuinya; baik yang cerdik pandai maupun yang bodoh lamban pahamnya; yang kecil maupun yang tua; pemimpin maupun bawahan. Mereka ini dalam hal pengambilan ilmu, lebih didahulukan daripada lainnya.
Bila di suatu negeri ada orang berilmu yang tingkatnya di bawahnya; di mana ilmunya juga diambil orang untuk dimanfaatkan mereka, maka ia pun juga diambil manfaatnya. Akan tetapi tidak sepatutnya dicukupkan mengambil darinya, untuk kemudian meninggalkan para ulama besar tersebut.
Di antara bentuk mengagungkan guru adalah agar ia tidak berjalan di depannya.
Yaitu tidak mendahuluinya ketika berjalan. Namun, ia berjalan di sebelah kanannya, atau di belakangnya. Sedangkan arah kiri, dibuat untuk keperluan sang guru bila hendak mengeluarkan dahak, meludah, atau lainnya. Berarti ia berada sejajar dengannya di arah kanannya, atau mundur sedikit darinya sebagaimana kalau seseorang ada di belakang imam dalam shalat.
Imam dalam shalat, tentu makmum ada di belakang iman, agar mereka bisa mengikuti imam dalam shalat mereka. Demikian pula penuntut ilmu. Sang murid berada di belakang ustadznya agar murid bisa meneladani dan mengambil tuntunan darinya. Dan ia pun patuh pada bimbingan sang ustadz.
Janganlah duduk di tempat sang ustadz.
Artinya janganlah ia mendahului guru di tempat yang itu dikenal sebagai tempat sang guru. Sebab itu bentuk kurang adab kepada guru, yaitu dalam hal mendahulukan guru dan menghormati hak guru dalam majelis.
Tidak memulai berbicara di sisi guru melainkan seizinnya artinya tidak bersegera berkata-kata di hadapannya, kecuali bila sang syaikh mengizinkannya. Karena penutut ilmu itu bagaikan anak baginya. Sehingga ia tidak berbicara di hadapan syaikhnya sampai syaikh mengizinkannya ,atau ketika murid tahu sang syaikh ridha dengan apa yang hendak disampaikan murid.
Dan tidak banyak berbicara di sisinya.
Di antara adab majelis adalah bahwa pembicaraan itu menjadi hak dari pemimpin majelis, dan ia adalah guru dan syaikh. lalah yang seharusnya berbicara, sedangkan yang lain menyimak dan mengambil manfaat dari ucapannya.
Adapun ikut turut berbicara di saat majelis sang guru dan banyak berbicara di hadapan guru, maka ini adalah di antara tanda sang murid tidak mendapatkan kejayaaan.
Sufyan Ats-Tsauri berkata,"Bila engkau lihat seorang pemuda berbicara di hadapan para syaikh, ketahuilah bahwa ia tidak akan berjaya." Artinya bila engkau melihat seseorang berlaku keterlaluan, berlebihan, dan frekuensinya begitu banyak dalam hal tersebut,maka itu adalah tanda ia tidak akan berhasil.
Menurut kebiasaan yang berlaku, bahwa orang yang seperti itu, biasanya ia orang yang terpedaya mengandalkan dan menganggap dirinya sendiri; ia melihat ahli ilmu yang ada di hadapannya belum lagi punya apa-apa, bila penjelasan tentang yang dibahas dipaparkan dengan lisannya si murid. Sehingga ia menyangka bahwa berpanjang-panjang dalam berbicara adalah tanda luasnya ilmu. Ini adalah tanda-tanda kebodohan.
Diantara bentuk mengagungkannya adalah mengagungkan guru (menghormati anak-anaknya, dan semua yang terkait dengannya).
Yaitu menjaga hak-hak anak-anak guru dan para murid-murid yang mengambil ilmu darinya; dan yang terkait dengannya selain mereka, seperti kerabat, baik secara nasab maupun karena kerabat dari hubungan pernikahan; atau lainnya. la harus menghormati mereka, dalam rangka menjaga hak sang guru.
Barang siapa yang sang guru merasa tersakiti karenanya, maka ja akan terhalang dari berkahnya ilmu, dan ilmunya tidak bisa diambil manfaatnya kecuali hanya sedikit.
Artinya orang yang dengan sangat antusias sekali dalam mendapatkan ilmu dari gurunya; hingga sampai hal tersebut membuatnya menyakiti ustadznya, baik dengan ucapan,perbuatan, maupun lainnya; maka berkah ilmu akan hilang darinya.
Al-lraqi telah menyebutkan dalam At-Taqyid wal lidhaah bahwa sebagian rekannya, termasuk orang yang menyulitkan atas sebagian syaikh yang memperdengarkan pelajarannya.la meminta dengan sangat kepada syaikh tersebut agar ia membacakan Umdatul Ahkam untuk mereka hingga sang syaikh memperdengarkannya kepada mereka.
Syaikh tersebut mendoakan buruk atas orang tersebut;yaitu agar barakah ilmu tidak dapat ia dapatkan. Lalu orang tersebut meninggal sebelum ia mengadakan majelis untuk memperdengarkannya. Sehingga ia pun tidak bisa merasa senang dengan apa yang telah ia peroleh dari gurunya tersebut, syaikh yang telah diberi umur panjang di mana orang tersebut meninggal sebelum syaikh berumur ini.
Syaikh ini masih hidup dengan umur panjang, yang masih ada setelah kematian orang tersebut.
Referensi: Ta'limul Muta'alim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H