Bila tiga kriteria ini sudah terhimpun dalam diri seseorang, maka ia lebih diutamakan dipilih dalam rangka mengambil ilmu darinya. Barang siapa yang ada satu sifat tersebut yang kurang darinya, maka kadar pengambilan darinya pun berkurang.
Maka tidak seyogianya kalau seorang yang telah punya sifat sempurna dipersaingkan dengan orang yang belum lagi sampai pada sifat sempurna (diakhirkan dalam mengambil ilmu daripada yang belum sempurna); apalagi dengan orang yang kurang dalam kesempurnaannya.
Barang siapa yang mengambil ilmu dari seorang alim, sedangkan di negeri tersebut ada orang lain yang lebih alim daripadanya, lalu ia pun tidak mengambil ilmu darinya, maka ia orang yang teledor dalam meniti jalan lurus terkait mengambil ilmu.
Yang lebih mengenaskan lagi adalah orang yang mengambil ilmu dari seorang pendakwa ilmu (mengklaim ahli ilmu padahal bukan); meninggalkan orang-orang yang dikenal punya ilmu di negerinya. Maka, seorang penuntut ilmu seyogianya bersungguh-sungguh merapat kepada para guru yang membimbingnya; di mana akan bisa mengambil manfaat dengan mengambil ilmu dari mereka.
Ini adalah kebaikan yang tersembunyi; wal hamdulillah. Sebab ia adalah salah seorang tokoh penting Islam. Agama pun menjadi terjaga. Guru yang memang punya kelayakan untuk diambil ilmunya, mereka ini adalah orang yang telah terkenal ilmunya dengan usianya yang telah berumur; di mana semua orang sama-sama mengetahuinya; baik yang cerdik pandai maupun yang bodoh lamban pahamnya; yang kecil maupun yang tua; pemimpin maupun bawahan. Mereka ini dalam hal pengambilan ilmu, lebih didahulukan daripada lainnya.
Bila di suatu negeri ada orang berilmu yang tingkatnya di bawahnya; di mana ilmunya juga diambil orang untuk dimanfaatkan mereka, maka ia pun juga diambil manfaatnya. Akan tetapi tidak sepatutnya dicukupkan mengambil darinya, untuk kemudian meninggalkan para ulama besar tersebut.
Di antara bentuk mengagungkan guru adalah agar ia tidak berjalan di depannya.
Yaitu tidak mendahuluinya ketika berjalan. Namun, ia berjalan di sebelah kanannya, atau di belakangnya. Sedangkan arah kiri, dibuat untuk keperluan sang guru bila hendak mengeluarkan dahak, meludah, atau lainnya. Berarti ia berada sejajar dengannya di arah kanannya, atau mundur sedikit darinya sebagaimana kalau seseorang ada di belakang imam dalam shalat.
Imam dalam shalat, tentu makmum ada di belakang iman, agar mereka bisa mengikuti imam dalam shalat mereka. Demikian pula penuntut ilmu. Sang murid berada di belakang ustadznya agar murid bisa meneladani dan mengambil tuntunan darinya. Dan ia pun patuh pada bimbingan sang ustadz.
Janganlah duduk di tempat sang ustadz.
Artinya janganlah ia mendahului guru di tempat yang itu dikenal sebagai tempat sang guru. Sebab itu bentuk kurang adab kepada guru, yaitu dalam hal mendahulukan guru dan menghormati hak guru dalam majelis.