Dari hasil mini riset yang telah penulis lakukan, kebanyakan dari masyarakat mendefinisikan tunarungu adalah orang yang memiliki kekurangan pada indera pendengarannya, sehingga membutuhkan alat bantu untuk pendengarannya seperti menggunakan bahasa isyarat. Menurut mereka, tunarungu berbeda dengan orang normal lainnya, namun tidak menjadi hambatan bagi mereka saat berinteraksi dengan tunarungu.
Saat berinteraksi dengan penyandang tunarungu mereka merasa bahwa kekurangan tersebut bukan sesuatu yang istimewa, walaupun ada sedikit rasa empati, namun bukan berarti kekurangan tersebut jadi harus diperlakukan secara beda. Mereka berkomunikasi dengan penyandang tunarungu menggunakan bahasa isyarat walaupun belum sepenuhnya mengerti, akan tetapi para penyandang tuna rungu mengerti apa yang orang-orang normal maksud ketika menggerak-gerakkan tangan dan mereka senang dapat berkomunikasi dengan orang normal lainnya.
Melihat hal ini, islam memandang disabilitas bukan suatu kekurangan. Seperti dalam Al-Qur’an telah disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
لَّيۡسَ عَلَى ٱلۡأَعۡمَىٰ حَرَجٞ وَلَا عَلَى ٱلۡأَعۡرَجِ حَرَجٞ وَلَا عَلَى ٱلۡمَرِيضِ حَرَجٞ وَلَا عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ أَن تَأۡكُلُواْ مِنۢ بُيُوتِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ ءَابَآئِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ أُمَّهَٰتِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ إِخۡوَٰنِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ أَخَوَٰتِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ أَعۡمَٰمِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ عَمَّٰتِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ أَخۡوَٰلِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ خَٰلَٰتِكُمۡ أَوۡ مَا مَلَكۡتُم مَّفَاتِحَهُۥٓ أَوۡ صَدِيقِكُمۡۚ لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَأۡكُلُواْ جَمِيعًا أَوۡ أَشۡتَاتٗاۚ فَإِذَا دَخَلۡتُم بُيُوتٗا فَسَلِّمُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ تَحِيَّةٗ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ مُبَٰرَكَةٗ طَيِّبَةٗۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ
“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salah kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya (Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.” (QS. An-Nur: 61)
Dari ayat tersebut jelas bahwa orang-orang yang memiliki kekurangan tersebut tidak memiliki halangan untuk makan di rumah-rumah anak kalian, mereka tidak berdosa untuk ikut berkumpul pada orang-orang normal lainnya. Allah memandang manusia sebagai makhluk paling sempurna, apapun kekurangan yang ada dalam diri manusia, kondisi fisik dalam bentuk apapun telah menjadi pemberian paling sempurna yang telah Allah berikan. Seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat At-Tin ayat 4:
لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”
Selain itu juga, disebutkan dalam hadits, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuhmu, rupamu, akan tetapi Allah melihat hatimu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari dalil-dalil di atas dapat disimpulkan bahwa islam memandang manusia secara positif, kekurangan yang dimiliki tidak menjadi hambatan dalam melakukan kehidupan sehari-hari. Semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama, tidak ada yang dibeda-bedakan apapun latar belakang, pendidikan, sosial, atau keadaan fisik manusia. Yang membedakannya hanyalah isi hati manusia, tauhid, ketakwaan dan keimanan yang ada dalam diri manusia. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: