Oleh : Fath WS
Suatu hari Parni dengan wajah ditekuk, suara parau menahan tangis yang siap meledak bertanya kepada bapaknya yang tua renta,"Akankah aku bahagia kelak jika bapak telah berpulang?"
"Tak ada yang tidak mungkin anakku, kau tidak boleh pesimis, berfikirlah apapun dapat engkau lakukan dan dapat engkau raih jika engkau punya kemauan dan berusaha meraihnya."
Sayup-sayup terdengar gamelan Kyai Kanjeng mengirimi shalawat Badar, membuat hati Parni bergolak, dia rindu kedamaian, kedamaian yang tak pernah hinggap dalam hidupnya. Sejurus dengan itu, tanpa diminta air matanya secepat kilat mendanau lalu mengalir deras tak terkendali.
"Sudahlah anakku, ikhlaskan apa yang sudah terlepas, itu berarti Gusti Allah tak menghendaki kamu mendekap apa yang pernah kau raih."
Begitu tegarnya kata-kata itu meluncur dari bibir ayah Parni, padahal selesai dia berkata, ayah Parni membalikkan tubuhnya lalu menyeka matanya dengan punggung telapak tangannya yang sudah penuh keriput. Ayah Parni masygul melihat anak semata wayangnya yang tidak bernasib baik dalam perjodohan.
"Aku hanya memohon kepada Gusti Allah pak, aku sudah ikhlas hidup tanpa pendamping, namun tidak bolehkah aku berkawan dengan pilihanku, sekedar berkawan saja pak, berbagi suka dan duka, masak tidak diijinkan to yo."
Parni kian ngguguk, mata ayahnya pun semakin memerah basah.
"Tak ada yang abadi di dunia ini anakku, kecuali Surga dan Neraka"
"Pak, berdosakan jika kita berharap segala sesuatu dapat langgeng setidaknya tidak seumur jagung?"
Keduanya terdiam, bermain dengan pikiran masing-masing. Pikiran Parni mengembara pada perjalanan yang baru saja dilakoninya. Perjalanan yang kembali mencabik-cabik hati dan perasaannya.
Parni ingat betul hari dan tanggal dia menerima inbox berjudul "Lanskap Cinta" yang tak dinyana-nyana itu. Entah karena Parni yang terlalu sensitif atau bagaimana, yang jelas inbox itu mampu menimbulkan getar dawai hati Parni. Lalu dialog pun menjadi agenda rutin Parni, apalagi setelah Parni membalas "Lanskap Cinta" dengan "Menapaki Tangga Ketiga", dialog Parni dengan orang msterius, sebut saja begitu, semakin akrab, yang awalnya selalu menggunakan sapaan takzim, bergeser aku, kau, sliramu dalam bersapa. Guarauan-gurauan hangat pun mengisi hari-hari mereka.
Namun semua itu tak berlangsung lama, canda itu telah sirna, menjauhi hari-hari Parni. Parni sedih luar biasa, tak tahu dimana persahabatan itu akan bermuara.
"Parni, itu kan pinta kita, tapi Allah SWT telah menggariskan sesuai ketentuanNya."
"Iya pak, mungkin ini salahku, belum tahu pertemanan ini mau dibawa kemana, aku sudah terbakar cemburu dulu."
"Sudahlah Parni, pasrahkan semuanya kepada Gusti Allah, ambil hikmahNya saja."
Parni hanya bisa mengiyakan apa yang dikatakan bapaknya itu.
Hari kian panjang bagi Parni dan tak tahu akan seperti apa ending pertemanannya yang seumur jagung itu. Â (end)
Lembah Tidar, 10 Juni 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H