Kita mampu meyakini bahwa banyak pernyataan terkait keluh kesah akan problem demokrasi elektoral yang memicu biaya politik yang tinggi. Pada akhirnya para politisi mengundang atau melibatkan para 'pemodal' untuk membantu dalam mendapatkan kekuasaan dengan bantuan material.Â
Namun bagaimanapun, pada saat yang sama mereka menyadari hal tersebut sebagai sebuah keharusan dalam mendapatkan jabatan politik. Logis dengan menyatakan 'tidak ada pilihan lain' untuk menangguhkan nasibnya pada para pemodal. Pandangan ini bukanlah hal yang baru, namun sepenuhnya bisa dianggap benar.Â
Beberapa pengamat melihat keterlibatan oligark dilatarbelakangi oleh biaya politik yang tinggi, terlebih beberapa partai politik selalu menuntut harga yang sangat tinggi dengan menjanjikan suara yang menguntungkan bagi bakal-calon.Â
Akan tetapi pengamat lain berpandangan bahwa para oligark yang mencari perlindungan dalam mempertahankan kekayaan material dengan membangun relasi dengan politisi. Karena hal tersebut regulasi antara oligark dan politisi menjadi sebuah keharusan yang berujung pada hubungan timbal balik.Â
Politisi membutuhkan para oligark untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan, begitupun sebaliknya para oligark membutuhkan politisi atau pemerintah (eksekutif / legislatif) untuk meloloskan hukum yang melindungi harta mereka. Pertama-tama kita harus membedah fenomena dominasi yang dilakukan para oligark dan secara lebih mendalam dimulai dari beragam penjelasan terkait hal tersebut.
Oligarki yang dimaknai sebagai sebuah sistem politik dengan basis teoritis neo-Marxism yang strukturalis dan juga terdapat dalam tipologi Aristoteles "kukuasaan sekelompok kecil" (rule of the few) bukanlah oligarki yang dimaksud dalam tulisan ini.
Oligarki yang dimaksud merujuk pada aspek sosiologis (basis pemikiran Weberian) memberi pemahaman bahwa ada distribusi dan redistribusi kekuasaan yang dilakukan oligark untuk mendominasi pemerintah yang bersumber pada kekayaan material. Dengan menyesuaikan teori sumber daya politik, oligark didefinisikan secara konsisten di berbagai konteks politik dan periode sejarah.Â
Oligark (oligarch) adalah pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya.Â
Hanya oligark yang mampu menggunakan kekayaan untuk mempertahankan kekayaan. Sepanjang sejarah, harta dan pendapatan para oligark telah mendatangkan berbagai ancaman, termasuk terhadap hak milik pribadi sebagai konsep atau lembaga.Â
Dalam lintas zaman, dinamika politik utama oligarki berkisar seputar sifat-sifat ancaman-ancaman itu dan bagaimana oligarki mempertahankan kekayaan dari ancaman-ancaman itu.Â
Pertahanan kekayaan untuk oligark memiliki dua komponen mendasar-pertahanan harta (property defense, mengamankan klaim dasar atas kekayaan dan hak milik) dan pertahanan pendapatan (incume defense, menjaga sebanyak mungkin pendapatan laba dari kekayaan di dalam kondisi hak milik yang aman).Â
Oligarki tidak bisa lenyap hanya karena tidak memerintah atau terlibat langsung dalam pemaksaan untuk mempertahankan hartanya. Sebaliknya, semakin tidak memusarkan perhatian pada pengamanan harta keterlibatan oligark menjadi lebih tak langsung.Â
Akan tetapi, keterlibatan politik mereka menjadi langsung lagi ketika pelaku luar atau lembaga gagal mempertahankan hak milik dengan baik. Satu-satunya ancaman yang tersisa bagi oligark adalah negara yang mendistribusikan kekayaan melalui pajak pendapatan.
Di negara atau komunitas politik yang penegakan hukum dan klaim hak miliknya lemah, sumber daya material bisa digunakan untuk membeli kekuatan pengamanan (milisi atau pasukan yang lebih kecil); untuk memelihara jejaring pejabat; menyuap polisi, jaksa, dan hakim; hingga mendanai massa untuk berdemonstrasi di jalan seolah-olah mobilisasi  politik benar-benar terlahir dari bawah.Â
Maka dari itu, tidak mengheranka ketika klaim 'tunggang-menunggangi' selalu melekat pada setiap aksi demonstran dan mengenyampingkan hal-hal yang bersifat substansial.Â
Para oligark di Indonesia bisa benar-benar menghitung berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan hal-hal seperti mengumpulkan ratusan ribu orang selama beberapa minggu guna menggoyang pemerintah atau membuat badan legislatif meloloskan hukum yang melindungi harta oligarki. Inilah suatu bentuk dan skala kekuasaan politik yang tak terbayangkan bagi semua kecuali perilaku dalam masyarakat sepanjang sejarah.Â
Para elite dengan kekuasaan mobilisasi tinggi, misalnya, basis massa yang dibangun lewat gerakan sosial intensif dan setuju dengan mereka agar bisa mengerahkan massa itu ke jalan untuk aksi politik langsung. Â
Terutama dalam periode krisis saat ini, kekuasaan oligarki semakin rentan terhadap peningkatan kekuasaan jenis lain, terutama mobilisasi massa yang tidak mereka danai dan kendalikan.Â
Tak ada pelaku atau kelompok lain yang memiliki kepentingan atau kemampuan terfokus, tanpa terlebih dahulu berada dalam keadaan termobilisasi tinggi dan terus-menerus, yang dapat mengimbangi atau melawan kekuasaan oligarki.
Blomley (2003) menyatakan bahwa hak milik (property) bersifat inheren, sehinnga "ditengakkan terhadap yang lain (held against other)." Para ahli ekonomi memandang hak milik bersifat eksklusif, dalam arti bisa dipegang oleh satu individu atau lembaga dengan menyangkal klaim pihak lain. Namun, sifat ekskulisf juga dapat menjadikan hak milik rawan terkena tantangan, yang disebut para ahli ekonomi sebagai biaya penegakan hak (enforcement cost).Â
Ancaman-ancaman dari tantangan semacam itu semakin meningkat selagi kelangkaan harta pada masyarakat ikut meningkat. Klaim tandingan, eksklusi, dan ketidaksetaraan menjelaskan mengapa harta tak bisa dipertahankan tanpa adanya sarana penegasan hak.Â
Pertahanan kekayaan di dalam sistem negara modern tidak lagi membuat oligark mempersenjatai diri dan bertarung membela klaim harta, atau menggunakan sumber daya material untuk membeli jasa kemampuan pemaksaan pihak lain.Â
Sementara itu, pertahanan pendapatan melibatkan penyewaan jasa kemampuan yang berbeda untuk mencegah sumber daya berharha diambil. Pergulatan oligark bergeser, menjadi mengarahkan sumber daya material bagi profesional spesialis (pengacara, akuntan, konsultan penghindaran pajak pelobi) untuk tetap menjaga sebanyak-banyaknya harta dan pendapatan mereka agar tidak jatuh ke tangan negara, sehingga melimpahkan beban negara dan bahkan pertahanan kekayaan kepada para pelaku yang lebih miskin dalam sistem.
Titik awal untuk menganalisis oligark dan oligarki di Indonesia modern, terletak pada konsentrasi kekayaan ekstem di tangan beberapa individu. Itu belum pernah terjadi di Indonesia hingga tahun 1970-an. Sebelum transformasi itu, Indonesia didominasi segala macam elite---politik, militer, agama, dan intelektual---tapi tak pernah oleh oligark.Â
Para oligark Indonesia justru merupakan ciptaan kediktatoran Suharto yang memegang kekuasaan dua dasawarsa sesudah kemerdekaan. Efek keterlambatan itu serta perubahan konteks politik-hukum selama tiga dasawarsa pertama kemerdekaan bakal membentuk oligarki dan ekonomi Indonesia hingga abad keduapuluh satu.Â
Rezim Orde Baru Suharto menyempurnakan prinsip-prinsip dasar akumulasi kekayaan lewat perampokan dan pengisapan di dalam konteks pemaksaan pembagian antar oligark. Satu kunci panjangnya umur kekuasaan Suharto adalah bahwa sejak awal dia membuat oligarki Indonesia bergotong-royong, kadang sukarela, kadang dipaksa.Â
Jika pasal-pasal dalam kitab hukum dipakai secara selektif, menciptakan kesan adanya sistem hukum yang bisa menjerat oligark. Namun, sebenarnya hukum di Indonesia beroperasi bukan untuk menjinakkan para oligark secara umum, melainkan menegakkan aturan pembagian kekayaan antar oligark melalui "bagi-bagi".Â
Para oligark yang tercipta pada awal periode Suharto mula-mula merupakan perpanjangan tangan rezim untuk penarikn dan pemindahan kekayaan, dan fungsi penting pertahanan kekayaan disediakan secara pribadi oleh Suharto. Lengsernya Suharto memiliki efek ganda dengan konsekuensi saling bertentangan. Hasilnya adalah transisi menuju oligarki penguasa kolektif yang sulit untuk dijinakan. Keadaan itu membuka jalan bagi hidup kembainya bentuk dan prosedur demokrasi institusional.Â
Bukannya dilaksanakan oleh masyarakat madani, yang terlalu berantakan dan lemah untuk berperan demikian di Indonesia, demokrasi segera ditangkap dan didominasi oleh para oligark. Demokrasi elektoral tak memberi batas inheren bagi oligark.Â
Sebaliknya, di Indonesia demokrasi elektoral memberikan cara baru untuk mengusahakan kepentingan oligarkis individu maupun kolektif. Lembaga-lembaga demokrasi malah memberdayakan, bukan mengekang, para oligark Indonesia sejak 1998. Lembaga-lembaga itu telah menyediakan arena untuk maraknya kerja sama dan persaingan antar-oligark.
Dalam konteks ini lembaga hukum harus dibahas terpisah. Pembangkitan kembali lembaga-lembaga hukum tidak mesti memiliki korelasi dengan demokrasi elektoral dan melibatkan dinamika kekuasaan yang berbeda.Â
Lembaga pemerintahan dan penegak hukum yang efektif, terutama jika diberdayakan dengan cara tidak-pribadi, akan menjadi lebih kuat daripada individu-individu terkuat dalam sistem. Perlu dicatat bahwa lembaga-lembaga itu tidak menghilangkan oligarki---itu perkara material. Namun, lembaga-lembaga hukum dapat membatasi tindakan oligark, sehingga tidak bisa merebut atau mendominasi.Â
Transisi ganda 1998---demokratis dan oligarkis---menyajikan kesempatan dan tantangan baru kepada para oligark Indonesia. Lembaga hukum yang rusak terbukti bukan tandingan lapisan oligark yang memiliki kekuasaan material.Â
Kegagalan hukum dan penegakannya menjelaskan mengapa keberhasilan kelembagaan yang menyertai transisi demokratis tidak mendorong Indonesia ke jalur menuju oligarki sipil. Indonesia justru bergerak ke arah oligarki penguasa kolektif yang tidak berfungsi dengan baik, yang terorganisasi sebagai suatu demokrasi elektoral, di mana pelaku yang bisa mendominasi panggung politik hanyalah oligark yang memiliki kekayaan pribadi yang besar, dan elite yang mampu menarik atau mengambil sumber daya negara cukup besar. Hasilnya adalah demokrasi kriminal di mana para oligark yang tidak terjinakkan bersaing dalam politik melalui pemilihan umum.
Bagi para oligark, kekuasaan bukanlah tujuan utama. Tidak penting bagi mereka siapa yang berkuasa---berasal dari partai mana, yang lebih mendasar adalah bagaimana kekuasaan dapat melindungi dan mempertahankan aset dan kekayaan. Instrumen demokrasi (pemilu) tidak luput dari belenggu oligark.Â
Relasi langsung dan kuat terjalin antara oligark dan kandidat (legislatif / eksekutif), sedangkan masyarakat sebagai pemilih tidak memiliki hubungan yang kuat dengan para kandidat yang nantinya akan masuk pada lembaga publik. Sehingga kuantitas partisipasi tidak berbanding lurus dengan kualitas partisipasinya.Â
Masyarakat dapat memilih bakal calon Presiden, Gubernur, Bupati, DPR, DPRD; akan tetapi tidak mempunyai kontrol atas sikap politik yang akan diambil oleh para kandidat. Setelah menguasai lembaga publik, mereka akan menyebrang untuk mengendalikan ruang publik, hal ini dirasa mudah bagi oligark karena biasanya mereka memiliki akses-akses informasi yang lebih luas.Â
Berbagai upaya dilakukan untuk mendistorsi dan memanipulasi ruang dan suara publik, basis argumentasi pro-kontra yang seharusnya dapat menyehatkan ruang publik justru terpolarisasi sehingga semuanya dianggap sebagai kegiatan elektoral. Hal ini sangat ampuh untuk dilakukan karena ekosistem sosial-politik Indonesia sudah tercemar oleh polarisasi semacam ini.Â
"The opportunity to use our voice for the voiceless"Â -Joaquin Phoenix
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H